Minggu, 08 Juli 2012

PENGERTIAN STRATEGI

Kata strategi berasal dari bahasa Yunani "strategia" yang diartikan sebagai "the art of the general" atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau mecapai tujuan. Strategi pada dasarnya merupakan seni dan ilmu menggunakan dan mengembangkan kekuatan (ideologi, politik, ekonomi,sosial-budaya dan hankam) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Berikut ini adalah pengertian dan definisi strategi: # KARL VON CLAUSEWITZ Strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik # A. HALIM Strategi adalah suatu cara dimana organisasi / lembaga akan mencapai tujuannya, sesuai dengan peluang - peluang dan ancaman - ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi, serta sumber daya dan kemampuan internal # KAPLAN & NORTON Strategi adalah seperangkat hipotesis dalam model hubungan cause dan effect, yaitu suatu hubungan yang dapat diekspresikan melalui kaitan antara pernyataan if-then. # STEPHANIE K. MARRUS Strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, diserta penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai # HAMEL & PRAHALAD (1995) Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus - menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggakn di masa depan # SJAHFRIZAL Strategi adalah cara untuk mencapai tujuan berdasarkan analisa terhadap faktor internal dan eksternal # ANONIM Strategi adalah keselarasan strategi dengan kebutuhan dan kemampuan dikaitkan dengan upaya penguatan kemampuan kepemimpinan (leadership), kewirausahaan (enterpreneurship) dan pengelolaan (managerialship) # WEBSTER'S THIRD NEW INTERNATIONAL DICTIONARY Strategi adalah ilmu dan seni tentang penggunaan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, psikologi, dan militer satu bangsa atau kelompok bangsa-bangsa yang memungkinkan dukungan maksimal kepada kebijakan yang telah ditetapkan, baik saat damai maupun saat perang Pengertian Strategi Definisi strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi dan joint venture (David, p.15, 2004). Pengertian strategi adalah Rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi (Glueck dan Jauch, p.9, 1989). Pengertian strategi secara umum dan khusus sebagai berikut: 1. Pengertian Umum Strategi adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. 2. Pengertian khusus Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan. Perumusan Strategi Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang dimaksudkan untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis dan keuangan perusahaan, serta merancang strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value terbaik. Beberapa langkah yang perlu dilakukan perusahaan dalam merumuskan strategi, yaitu: 1. Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh perusahaan di masa depan dan menentukan misi perusahaan untuk mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut. 2. Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan dalam menjalankan misinya. 3. Merumuskan faktor-faktor ukuran keberhasilan (key success factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya. 4. Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi. 5. Memilih strategi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. (Hariadi, 2005). Tingkat-tingkat Strategi Dengan merujuk pada pandangan Dan Schendel dan Charles Hofer, Higgins (1985) menjelaskan adanya empat tingkatan strategi. Keseluruhannya disebut Master Strategy, yaitu: enterprise strategy, corporate strategy, business strategy dan functional strategy. a) Enterprise Strategy Strategi ini berkaitan dengan respons masyarakat. Setiap organisasi mempunyai hubungan dengan masyarakat. Masyarakat adalah kelompok yang berada di luar organisasi yang tidak dapat dikontrol. Di dalam masyarakat yang tidak terkendali itu, ada pemerintah dan berbagai kelompok lain seperti kelompok penekan, kelompok politik dan kelompok sosial lainnya. Jadi dalam strategi enterprise terlihat relasi antara organisasi dan masyarakat luar, sejauh interaksi itu akan dilakukan sehingga dapat menguntungkan organisasi. Strategi itu juga menampakkan bahwa organisasi sungguh-sungguh bekerja dan berusaha untuk memberi pelayanan yang baik terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. b) Corporate Strategy Strategi ini berkaitan dengan misi organisasi, sehingga sering disebut Grand Strategy yang meliputi bidang yang digeluti oleh suatu organisasi. Pertanyaan apa yang menjadi bisnis atau urusan kita dan bagaimana kita mengendalikan bisnis itu, tidak semata- mata untuk dijawab oleh organisasi bisnis, tetapi juga oleh setiap organisasi pemerintahan dan organisasi nonprofit. Apakah misi universitas yang utama? Apakah misi yayasan ini, yayasan itu, apakah misi lembaga ini, lembaga itu? Apakah misi utama direktorat jenderal ini, direktorat jenderal itu? Apakah misi badan ini, badan itu? Begitu seterusnya. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting dan kalau keliru dijawab bisa fatal. Misalnya, kalau jawaban terhadap misi universitas ialah terjun kedalam dunia bisnis agar menjadi kaya maka akibatnya bisa menjadi buruk, baik terhadap anak didiknya, terhadap pemerintah, maupun terhadap bangsa dan negaranya. Bagaimana misi itu dijalankan juga penting. Ini memerlukan keputusan-keputusan stratejik dan perencanaan stratejik yang selayaknya juga disiapkan oleh setiap organisasi. c) Business Strategy Strategi pada tingkat ini menjabarkan bagaimana merebut pasaran di tengah masyarakat. Bagaimana menempatkan organisasi di hati para penguasa, para pengusaha, para donor dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk dapat memperoleh keuntungan-keuntungan stratejik yang sekaligus mampu menunjang berkembangnya organisasi ke tingkat yang lebih baik. d) Functional Strategy Strategi ini merupakan strategi pendukung dan untuk menunjang suksesnya strategi lain. Ada tiga jenis strategi functional yaitu: • Strategi functional ekonomi yaitu mencakup fungsi-fungsi yang memungkinkan organisasi hidup sebagai satu kesatuan ekonomi yang sehat, antara lain yang berkaitan dengan keuangan, pemasaran, sumber daya, penelitian dan pengembangan. • Strategi functional manajemen, mencakup fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, implementating, controlling, staffing, leading, motivating, communicating, decision making, representing, dan integrating. • Strategi isu stratejik, fungsi utamanya ialah mengontrol lingkungan, baik situasi lingkungan yang sudah diketahui maupun situasi yang belum diketahui atau yang selalu berubah (J. Salusu, p 101, 1996). Tingkat-tingkat strategi itu merupakan kesatuan yang bulat dan menjadi isyarat bagi setiap pengambil keputusan tertinggi bahwa mengelola organisasi tidak boleh dilihat dari sudut kerapian administratif semata, tetapi juga hendaknya memperhitungkan soal “kesehatan” organisasi dari sudut ekonomi (J. Salusu, p 104, 1996). Jenis-jenis Strategi Banyak organisasi menjalankan dua strategi atau lebih secara bersamaan, namun strategi kombinasi dapat sangat beresiko jika dijalankan terlalu jauh. Di perusahaan yang besar dan terdiversifikasi, strategi kombinasi biasanya digunakan ketika divisi-divisi yang berlainan menjalankan strategi yang berbeda. Juga, organisasi yang berjuang untuk tetap hidup mungkin menggunakan gabungan dari sejumlah strategi defensif, seperti divestasi, likuidasi, dan rasionalisasi biaya secara bersamaan. Jenis-jenis strategi adalah sebagai berikut: 1. Strategi Integrasi Integrasi ke depan, integrasi ke belakang, integrasi horizontal kadang semuanya disebut sebagai integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal memungkinkan perusahaan dapat mengendalikan para distributor, pemasok, dan / atau pesaing. 2. Strategi Intensif Penetrasi pasar, dan pengembangan produk kadang disebut sebagai strategi intensif karena semuanya memerlukan usaha-usaha intensif jika posisi persaingan perusahaan dengan produk yang ada hendak ditingkatkan. 3. Strategi Diversifikasi Terdapat tiga jenis strategi diversifikasi, yaitu diversifikasi konsentrik, horizontal, dan konglomerat. Menambah produk atau jasa baru, namun masih terkait biasanya disebut diversifikasi konsentrik. Menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait untuk pelanggan yang sudah ada disebut diversifikasi horizontal. Menambah produk atau jasa baru yang tidak disebut diversifikasi konglomerat. 4. Strategi Defensif Disamping strategi integrative, intensif, dan diversifikasi, organisasi juga dapat menjalankan strategi rasionalisasi biaya, divestasi, atau likuidasi. Rasionalisasi Biaya, terjadi ketika suatu organisasi melakukan restrukturisasi melalui penghematan biaya dan aset untuk meningkatkan kembali penjualan dan laba yang sedang menurun. Kadang disebut sebagai strategi berbalik (turnaround) atau reorganisasi, rasionalisasi biaya dirancang untuk memperkuat kompetensi pembeda dasar organisasi. Selama proses rasionalisasi biaya, perencana strategi bekerja dengan sumber daya terbatas dan menghadapi tekanan dari para pemegang saham, karyawan dan media. Divestasi adalah menjual suatu divisi atau bagian dari organisasi. Divestasi sering digunakan untuk meningkatkan modal yang selanjutnya akan digunakan untuk akusisi atau investasi strategis lebih lanjut. Divestasi dapat menjadi bagian dari strategi rasionalisasi biaya menyeluruh untuk melepaskan organisasi dari bisnis yang tidak menguntungkan, yang memerlukan modal terlalu besar, atau tidak cocok dengan aktivitas lainnya dalam perusahaan. Likuidasi adalah menjual semua aset sebuah perusahaan secara bertahap sesuai nilai nyata aset tersebut. Likuidasi merupakan pengakuan kekalahan dan akibatnya bisa merupakan strategi yang secara emosional sulit dilakukan. Namun, barangkali lebih baik berhenti beroperasi daripada terus menderita kerugian dalam jumlah besar. 5. Strategi Umum Michael Porter Menurut Porter, ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menamakan ketiganya strategi umum. Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standar dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen. (David, p.231, 2004)

Definisi Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu). Pengertian politik dari para ilmuwan: Johan Kaspar Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development). Roger F. Soltau dalam bukunya Introduction to Politics: “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warganegaranya serta dengan negara-negara lain.” (Political science is the study of the state, its aims and purposes … the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and other states …). J. Barents dalam bukunya Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara … yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.” Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society). Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.” W.A. Robson dalam buku The University Teaching of Social Sciences: “Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.” (Political science is concerned with the study of power in society … its nature, basis, processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to resist that exercise). Karl W. Duetch dalam buku Politics and Government: How People Decide Their Fate: “Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.” (Politics is the making of decision by public means). David Easton dalam buku The Political System: “Ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan umum.” Menurutnya “Kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang memengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang memengaruhi cara untuk melaksanakan kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk suatu masyarakat.” (Political life concerns all those varieties of activity that influence significantly the kind of authoritative policy adopted for a society and the way it is put into practice. We are said to be participating in political life when our activity relates in some way to the making and execution of policy for a society). Ossip K. Flechtheim dalam buku Fundamentals of Political Science: “Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat memengaruhi negara.” (Political science is that specialized social science that studies the nature and purpose of the state so far as it is a power organization and the nature and purpose of other unofficial power phenomena that are apt to influence the state). Deliar Noer dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik: “Ilmu Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.” Kosasih Djahiri dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang melihat kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai cara memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenarnya setiap individu tidak dapat lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang dapat menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang memengaruhi.” Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa “Sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan.” Idrus Affandi mendefinisikan: “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari kumpulan manusia yang hidup teratur dan memiliki tujuan yang sama dalam ikatan negara.” Masih banyak pengertian tentang politik dan atau ilmu politik yang disampaikan para ahli. Namun dari yang sudah terkutip kiranya dapat dipahami bahwa politik secara teoritis meliputi keseluruhan azas dan ciri khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan yang akan dicapai negara. Sedangkan secara praktis, politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu (negara sebagai lembaga yang dinamis). Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi. Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik ini menyangkut bermacam macam kegiatan yang diantaranya terdiri dari proses penentuan tujuan dari sistem serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Berikut ini adalah pengertian dan definisi politik menurut beberapa ahli: # ROD HAGUE Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya # ANDREW HEYWOOD Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala komflik dan kerjasama # CARL SCHMIDT Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan - keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak. # LITRE Politik didefinisikan sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara # ROBERT Definisi politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia # IBNU AQIL Politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rosulullah S.A.W

PENGERTIAN IDEOLOGI

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme). Definisi Ideologi Definisi memang penting. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar: “ Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep. ” Karena itu menurut beliau, sama pentingnya dengan silogisme (baca : logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat. Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )[dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry al-Mabda’]. Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36] [sunting] Definisi lain Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi: * Gunawan Setiardjo : Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. * Destutt de Tracy: Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu. 2 april 2004 * Descartes: Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia. 5 mei 2004 * Machiavelli: Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. 1 agustus 2006 * Thomas H: Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. 23 oktober 2004 * Francis Bacon: Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. 5 januari 2007 * Karl Marx: Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. 1 mei 2005 * Napoleon: Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya. 22 desember 2003 * Muhammad Ismail: Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya? 24 april 2007 * Dr. Hafidh Shaleh: Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. 12 november 2008 * Taqiyuddin An-Nabhani: Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah. 17 juli 2005 Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya. Sehingga dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab. Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi (mabda’). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia. Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’). Ibnu Sina mengemukakan masalah tentang ideologi dalam Kitab-nya "Najat", dia berkata: "Nabi dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alis mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu sekali." [sunting] Ideologi politik Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekereja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, Demokrasi Islam, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial. Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya

Bung Karno

SUARANYA yang menggelora memang tidak terdengar lagi. Tapi kehadirannya kembali terasa, hampir setengah abad setelah ia meninggal. Dialah proklamator bangsa, sang revolusioner dan sumber inspirasi bangsa Indonesia, yakni Bung Karno. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah)”, itulah penuturan Sang Revolusioner yang masih membekas di jiwa-jiwa para Sukarnois. Itu tak sekedar penuturan belaka, namun memiliki kandungan makna dan energy yang sangat luar biasa. Betapa tidak? ketika mendengar “jas merah” sebagian besar orang tentu mengingat kembali perjuangan Bung Karno dan konsep-konsep revolusinya. Mungkin anda yang membaca opini ini masih ingat. Beberapa hari yang lalu terkuak fakta baru bahwa ternyata, Bung Karno tidak lahir tanggal 6 Juni 1901, di Blitar, melainkan 1 Juni 1901, di Surabaya. Tepatnya di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Ini merupakan angin segar atas pelurusan sejarah bangsa. Beranjak dari hal di atas, kalau kita cermati seputar bulan Juni dalam hari bersejarah Indonesia mulai dari dicetuskannya Pancasila oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan Hari Kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1901 serta Hari Wafatnya pada tanggal 21 Juni 1970 adalah tiga hari sangat bersejarah yang patut diperingati oleh bangsa kita secara selayaknya. Tiga hari bersejarah ini membuat tiap bulan Juni sebagai “Bulan Bung Karno”, yang dapat digunakan oleh berbagai golongan rakyat untuk mengenang kembali keagungan satu-satunya pemimpin besar bangsa yang telah berjuang dengan konsekuen selama seluruh hidupnya demi kepentingan rakyat. Mengenang kembali Bung Karno berarti juga mengingat kembali berbagai ajaran-ajaran revolusionernya, yang sekarang ini terasa sekali urgensitasnya oleh banyak golongan sebagai pedoman atau sumber inspirasi untuk mengadakan perubahan-perubahan besar dari keadaan serba bejat akibat sistem pemerintahan Orde Baru dan politik pro-neoliberalisme yang dijalankan oleh pemerintahan-pemerintahan pasca-Suharto sampai sekarang. Sudah lama banyak orang melihat — serta merasakan sendiri — bahwa bangsa dan negara kita sedang menghadapi kevakuman pedoman besar dan pimpinan nasional yang kuat dan dicintai rakyat dan berwibawa seperti Bung Karno, sejak Suharto memerintah dengan Orde Barunya,bahkan SBY dewasa ini dianggap masih vacuum. Keagungan Ajaran-ajaran Revolusioner Bung Karno Kita semua ingat bahwa kalau Bung Karno telah berjasa dengan banyak sumbangan-sumbangan besarnya untuk negara dan bangsa yang berupa berbagai ajaran-ajaran revolusionernya, maka dari Suharto beserta para jenderalnya – atau tokoh-tokoh sipil pendukungnya — hampir tidak ada (kalau tidak mau disebut tidak ada) pedoman atau ajaran yang berharga yang bisa jadi panutan bangsa. Kalau kita perhatikan bersama, maka nyatalah bahwa selama Suharto bersama Orde Barunya berkuasa (bahkan juga sesudahnya) tidak ada dokuman atau karya yang mengandung pemikiran-pemikiran besar serta cemerlang yang sudah disajikan kepada bangsa, yang setingkat dengan kebesaran ajaran-ajaran Bung Karno, seperti, antara lain : Indonesia Menggugat, Lahirnya Pancasila, Manifesto Politik, Trisakti, Berdikari, pidato di Konferensi Bandung, Panca Azimat Revolusi, pidato di PBB dll. Dari pengamatan sesudah Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto beserta para jenderalnya, maka di Indonesia hanya terdapat sosok-sosok yang kerdil, atau tokoh-tokoh politik yang “Kerdil”, yang jauh sekali perbedaannya dengan kebesaran sosok atau keagungan ketokohan revolusioner Bung Karno. Sampai sekarang ! Sosok-sosok yang Kerdil Padahal, seperti yang kita saksikan bersama dewasa ini, negara dan bangsa kita sedang menghadapi banyak persoalan-persoalan besar, yang berupa kerusakan moral yang sudah parah sekali, dan kebejatan akhlak atau pembusukan mental yang disebabkan oleh korupsi, dan situasi ekonomi dan sosial yang buruk akibat sistem politik yang busuk oleh kalangan-kalangan atas yang bersikap dekaden, dan berkolaborasi dengan kekuatan neoliberalisme. Sebagian kecil dari kerusakan-kerusakan parah itu tercermin dalam kegaduhan sekitar peristiwa Bank Century, persoalan Bibit Chandra , kasus Gayus Tambunan, kasus pajak perusahaan-perusahaan Aburizal Bakri, hiruk-pikuk usul dana aspirasi Rp 15 miliar untuk tiap anggota DPR setahun, dan tersangkutnya para pembesar Polri, Kejaksaan, dan pengadilan dalam soal korupsi, kisruh PSSI, kasus Nazaruddin dan berbagai kejahatan dll . Di tengah kerusakan-kerusakan berat dan parah di bidang moral dan politik itu semualah, sebagian dari masyarakat kita memperingati Hari Wafatnya Bung Karno tanggal 21 Juni. Dan kita semua tahu bahwa segala yang rusak parah yang sedang terjadi dewasa ini, adalah hasil atau kelanjutan dari produk yang dibikin oleh sistem politik dan praktek-praktek rezim Orde Barunya Suharto beserta para jenderal pendukungnya. Dengan mengingat hal-hal itu semualah kita bisa menjadikan Hari Wafatnya Bung Karno sekarang ini sebagai kesempatan yang baik sekali untuk mengangkat kembali tinggi-tinggi sejarah perjuangannya serta ajaran-ajaran revolusionernya, Hari wafatnya Bung Karno bisa kita jadikan bagian dari “Bulan Bung Karno” selama bulan Juni tiap tahun yang mencakup juga tanggal lahirnya Pancasila sekaligus hari lahirnya Bung Karno (1 Juni). Dengan cara begini kita semua dapat bersama-sama mengisi setiap bulan Juni dengan berbagai kegiatan untuk memperingati tiga hari bersejarah yang berkaitan dengan Bung Karno. Oleh karena dalam sejarah sudah dibuktikan dengan gamblang sekali bahwa perjuangan Bung Karno adalah untuk kepentingan semua golongan bangsa Indonesia, maka seyogianya “Bulan Bung Karno” ini juga menjadi urusan semua golongan yang mendukung berbagai gagasannya yang revolusioner untuk menyatukan bangsa dan meneruskan revolusi yang belum selesai. Dengan mengisi “Bulan Bung Karno” dengan berbagai kegiatan — dan melalui berbagai macam cara dan bentuk – untuk mengangkat kembali ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-gagasan agung Bung Karno, maka kita semua bisa menjadikan “Bulan Bung Karno” sebagai bulan pendidikan politik, dan pendidikan moral, atau pemupukan semangat pengabdian kepada rakyat. Ajaran-ajaran Bung Karno Perlu Disebarluaskan Ada pertanyaan esensial yang muncul, adakah sebuah ajaran, konsep atau cara yang perlu dilakukan saat ini? Tentu ada, yaitu ajaran-ajaran Bung Karno perlu disebarluaskan. Mengapa? Karena sudah lebih dari 45 tahun ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno telah dilarang, atau disembunyikan, atau dibuang dengan berbagai cara oleh rezim Suharto (dan pemerintahan-pemerintahan penerusnya). Mmaka segala macam kegiatan untuk menyebarkannya kembali adalah penting sekali bagi kehidupan bangsa, termasuk bagi generasi muda dewasa ini dan anak cucu kita di kemudian hari. Sejarah bangsa sudah membuktikan bahwa ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno merupakan gagasan-gagasan politik yang paling bisa mempersatukan bangsa, dan merupakan pedoman moral revolusioner, serta sumber inspirasi perjuangan bagi rakyat yang mau berjuang, teutama bagi kaum buruh, tani, perempuan, kalangan muda, dan rakyat miskin pada umumnya. Bangsa Indonesia patut merasa bangga mempunyai ajaran-ajaran revolusioner dan gagasan-gagasan agung yang telah disumbangkan oleh Bung Karno. Oleh karena itu ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan besarnya itu perlu disebarluaskan seluas-luasnya untuk dipelajari dan dihayati oleh sebanyak mungkin orang dari berbagai golongan yang mau berjuang. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata yang ampuh sekali bagi semua golongan yang mau berjuang melawan ketidakadilan penindasan, dan penghisapan dari semua kalangan reaksioner di Indonesia, dan juga untuk melawan neo-liberalisme. Sari pati atau inti jiwa revolusioner ajaran-ajaran revolusionernya itu dapat digali oleh siapa saja dalam berbagai bukunya, terutama dalam "Dibawah Bendera Revolusi" dan "Revolusi Belum Selesai". Alhasil penulis menyimpulkan bahwa Bung Karno bahwa tugas bangsa ini sekarang ialah bagaimana bangsa ini mampu mencetak pemimpin yang sekaliber dengan Bung Karno? Jawabnya dengan menghidupkan dan menyebarluaskan ajaran Bung Karno dan Pancasila. Karena ketokohan dan karya yang telah beliau torehkan tidak akan berarti apa-apa tanpa bangsa ini mau mengambil pelajaran dari itu semua. Salam Perjuangan, bung..bung!!!

Rabu, 04 Juli 2012

Nurcholish Madjid






NURCHOLISH MADJID, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.
Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988)
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).



Selamat Jalan Guru Bangsa

”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”
Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua melarat, tapi anaknya sekolah dengan baik,” pesannya.
Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat dalam keseharian kehidupannya.
Sikapnya yang lurus tidak terbawa arus, ajaran-ajaran bijak yang disuarakannya melintasi agama, usia, dan kelompok, menjadikannya tempat bertanya berbagai kalangan masyarakat. Sikap pendidiknya membuat siapa pun berdialog dengannya merasa pintar. Kini, itu tinggal kenangan. Tidak akan ada lagi ajaran bijaknya, juga kritik bernas yang disampaikan dengan santun. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, telah menghadap Sang Khalik, pukul 14.05 kemarin.
Dalam kondisinya yang semakin lemah, Cak Nur meminta Nadia, putrinya, membimbingnya membaca ayat suci Al Quran, Surat Al-Fatihah, dan Al-Ikhlas. ”Papa melafazkannya dengan baik sampai selesai. Setelah itu Papa sangat tenang,” tutur Nadia.
Tidak ada pesan khusus kepada keluarganya. ”Cuma, sempat bilang mbok anak-anak belajar bahasa Arab supaya bisa memahami Islam dengan benar,” kata Mbak Omi, panggilan akrab Omi Komariah, istrinya.
Cak Nur telah mengakhiri perjuangannya, selama lebih dari satu tahun menghadapi sakit yang dideritanya, tanpa pernah berkeluh kesah, setelah menjalani operasi transplantasi hati.

Memberi inspirasi

Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme.
Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga melontarkan wacana Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang juga kembali menuai pro dan kontra.
Cak Nur tak pernah surut mengembangkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam.
Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana Soeharto bertahan sebagai presiden.
Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti pemilihan presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun Indonesia.
Banyak yang menyayangkannya karena akan ”mengotori” keberadaannya sebagai ”nurani” bangsa.
”Saya harus melakukannya. Ini pembelajaran bahwa proses (pemilu) dari awal harus bersih, transparan, dan bukan sekadar berebut kekuasaan,” tuturnya kepada Kompas ketika itu.
Cak Nur banyak disalahpahami, tetapi dia tidak pernah surut.
Selamat jalan guru bangsa....


Kepergian Setelah Mengabdi

Seorang lagi dari deretan tokoh-tokoh kita telah meninggalkan lingkungan, setelah lama menderita sakit: Dr Nurcholish Madjid.
Banyak sekali orang yang merasa kehilangan dengan kepergiannya pada usia 66 tahun itu. Padahal, itu adalah usia yang mencerminkan kematangan hidup, terlebih-lebih pada masa penuh kesalahpahaman dan salah pengertian satu sama lain, terkadang ”diwarnai” oleh ledakan bom dan lemparan granat.
Ada perbedaan faham yang fundamental antarsesama warga gerakan Islam dan hampir selalu berakhir pada hilangnya toleransi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Nurcholish Madjid atau Cak Nur tetap konsisten dengan gaya hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Ia tetap mempergunakan cara-cara menolak pemakaian kekerasan. Ia dimaki-maki oleh begitu banyak orang sehingga sangat lucu melihat bagaimana ia dimaki-maki dan diumpat-umpat untuk berbagai ”dosa” yang tidak pernah dilakukannya.
Bahkan, setelah ia meninggal pun, masih ada orang yang menganggapnya ia melakukan hal-hal yang tidak pernah dikerjakannya selama hidup. Cercaan dan umpatan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa di telinganya sewaktu ia hidup. Bahkan, setelah meninggal, masih ada yang—karena kekerdilan jiwa—mengatakan secara lisan bahwa ia ”seharusnya sudah bertobat”. Padahal, yang seharusnya melakukan hal itu bukanlah Cak Nur, melainkan orang itu sendiri. Bukankah kitab suci Al Quran memuat salah satu sifat Allah. Kemampuan memberikan maaf kepada siapa pun untuk kesalahan apa pun.
Di sinilah terletak kebesaran Cak Nur. Ia berhasil mendidik kaum Muslimin pada umumnya bahwa sifat yang seperti itulah yang harus dikembangkan terus dalam kehidupan mereka.
Apakah artinya ini? Artinya, bahwa kita semua harus mengikuti teladan yang diperlihatkannya itu. Bahwa hampir seluruh kaum Muslimin di negeri ini bersikap demikian, itu adalah bukti bahwa Cak Nur telah berhasil dengan pendidikannya itu. Ia yang lahir di Desa Mojoduwur, Kecamatan Bareng, di Jombang, Jawa Timur, itu akhirnya menjadi contoh bagi semua warga bangsa yang berjumlah lebih dari 210 juta jiwa itu (menurut hitungan Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto)
Kita belum lagi berbicara tentang Islam sebagai bidang kajian, tempat Cak Nur menghabiskan umur, sebagai ilmuwan. Ia tidak mau berkompromi dengan politik sama sekali. Orang boleh berbicara di sinilah terletak kekuatan Cak Nur, atau sebaliknya menganggap itulah titik lemahnya.
Bagi penulis, hal itu tidak penting benar karena ia tidak menjadi besar atau kecil dalam hal ini. Ia akan tetap diakui sebagai salah satu pemegang otoritas studi keislaman (Islamic studies) di negeri kita.
Tentu saja ia punya sederet kesalahan karena ia adalah seorang anak manusia, tetapi kesalahan-kesalahan itu tidaklah memudarkan namanya (atau menurunkan nilai dirinya).
Ia adalah orang besar karena ia memang demikian. Kini ia telah tiada, dan menjadi kewajiban kita untuk mengembangkan nurcholish-nurcholish baru. Hanya dengan cara demikian kita patut disebut pengikut Cak Nur di masa hidupnya.
Orang-orang lain, termasuk mereka dari ”garis kekerasan”, adalah orang yang ditinggalkan oleh perkembangan Islam, dan akan pudar dengan sendirinya ditelan masa.


Hari-hari Terakhir Cak Nur

Oleh: Komaruddin Hidayat
Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur kembali ke pangkuan Ilahi. Sejak Cak Nur operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura, sampai perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, teman-teman Cak Nur berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.
Sejak dari Presiden RI, tokoh-tokoh lintas agama, aktivis LSM, jajaran intelektual, dan politikus datang silih berganti. Ini menunjukkan posisi, kiprah, dan pengaruh Cak Nur yang amat inklusif, bukan sekadar tokoh pergerakan Islam, tetapi pejuang kemanusiaan dan kebangsaan.
Spirit keindonesiaan dan humanisme Cak Nur tak diragukan lagi. Hal ini muncul sebagai buah penghayatan dan keyakinan akan ajaran Islam. Karya-karya tulis Cak Nur menunjukkan perhatian yang amat besar bagi tumbuhnya demokrasi modern di Indonesia dengan dasar nilai-nilai keislaman. Di sinilah sumbangan pemikiran Cak Nur yang besar dan orisinal.

Persoalan bangsa

Berbagai teori ilmu sosial dan filsafat yang dipelajari ujungnya diberi nilai dan fondasi keislaman, diambil dari Al Quran dan khazanah Islam klasik. Pemahaman dan sikap Cak Nur yang demikian sering disalahpahami sebagian tokoh Islam lain yang sering dikategorikan pendukung faham skripturalis beraliran keras.
Ahad malam lalu saya menemuinya di rumah sakit. Apa yang dipikirkan Cak Nur masih menyangkut persoalan bangsa. Omi Komaria, istrinya, sempat merekam sebagian yang disampaikan Cak Nur di pembaringan. Dia selalu menyampaikan keprihatinannya tentang kondisi bangsa yang telah membuat rakyat sengsara. ”Yang harus selalu kita lakukan adalah bagaimana membahagiakan orang lain,” kata Omi menirukan Cak Nur.
Membangun peradaban dan demokrasi tidak mungkin terwujud tanpa suasana damai dan taat hukum, pesan Cak Nur yang diulangi kembali oleh Nadia yang sengaja datang dari Washington.
Suatu hal yang membuat para dokter perawatnya heran, semangat hidup Cak Nur amat tinggi, mengalahkan kepedihan sakit fisiknya. Cak Nur tidak pernah mengeluhkan sakitnya dan tidak pernah membantah nasihat dokter. Bahkan, Cak Nur sendiri yang sering menghibur istrinya untuk bersabar karena apa yang dideritanya belum seberapa dibanding apa yang menimpa para rasul Allah.
Matanya selalu berbinar saat bicara tentang kondisi bangsa dengan teman-teman dekatnya. Hingga Senin pagi kemarin Cak Nur dengan cerah masih bicara dengan teman-teman yang menjenguknya, ada Ginandjar Kartasasmita, Try Sutrisno, dan Imaduddin Abdurrahim. Kepada anaknya, Nadia dan Mikel, serta menantunya, David, Cak Nur berpesan agar mendalami bahasa Arab. Tanpa penguasaan bahasa Arab yang baik akan menemui banyak kesulitan saat memahami Islam.
Pesan lain sebelum ajal yang disampaikan pada Nadia dan David, ajaran Al Quran milik semua bangsa, jangan dimonopoli oleh umat Islam. Tunjukkan kepada dunia, Islam ajaran perdamaian dan kemajuan, bukan mengajarkan kekerasan.

Seorang demokrat

Sejak mengenal dekat Cak Nur di Yayasan Paramadina akhir 1990, banyak sekali kesan dan pelajaran yang saya peroleh. Antara lain, dia betul-betul seorang demokrat. Dia akan menghargai pendapat siapa pun meski berseberangan asal disampaikan dengan beradab, jangan memaksa orang lain untuk menerimanya. Kalau tidak keterlaluan, Cak Nur hampir tidak pernah menjelekkan pribadi orang. Semua temannya dipuji, terlebih jika ada anak muda yang suka menulis baik di surat kabar maupun buku, biasanya Cak Nur akan memberi apresiasi secara terbuka. ”Dia itu hebat, amat potensial, calon pemikir masa depan”, adalah ungkapan yang sering saya dengar.
Karena sulit berkata tidak dan selalu ingin menggembirakan semua pihak, Cak Nur diterima dan disenangi semua pihak. NU maupun Muhammadiyah menerima kehadirannya, bahkan kalangan non-Muslim pun merasa dekat dan memperoleh pengayoman Cak Nur. Sikap inklusif inilah yang sering menimbulkan salah paham terhadap dirinya. Di mata umat Islam beraliran keras, Cak Nur dianggap lemah dan terlalu toleran kepada agama lain. Di mata pemeluk agama lain, Cak Nur dianggap santri tulen yang menyebarkan Islam secara sejuk, intelek, dan simpatik.
Warisan ijtihad politik Cak Nur yang amat fenomenal adalah saat menawarkan pemikiran: ”Islam Yes, Partai Politik Islam No” tahun 1970-an. Saat itu partai politik hampir disakralkan bagai agama sehingga umat Islam wajib masuk partai politik berbasis Islam. Padahal, kondisi dan perilaku elite partai saat itu tidak mencerminkan akhlak mulia sehingga banyak umat Islam alergi pada parpol.
Untuk mendobrak kejumudan umat dan agar Islam tidak selalu diidentikkan dan dipersempit kiprahnya dengan gerakan parpol yang pengap serta sibuk berebut jabatan, Cak Nur mengusung gerakan Islam kultural dengan jargon: ”Islam Yes, Partai Politik No”.
Hemat saya, pemilu tahun lalu menunjukkan, pemikiran Cak Nur tahun 1970-an masih relevan, bahwa perjuangan Islam tidak bisa dihadapkan dengan agenda pembangunan demokrasi dan bangsa sehingga jika parpol Islam dan dakwah Islam ingin maju, harus ditopang kekuatan moral-intelektual serta keseriusan dan kesanggupan memecahkan problem bangsa serta menciptakan perdamaian.
Selamat jalan Cak Nur! Bukankah Cak Nur pernah mengajarkan kepada saya, kematian adalah hari wisuda untuk memasuki tahapan hidup lebih tinggi? Bukankah kematian tak ubahnya pulang mudik ke kampung halaman Ilahi yang lebih membahagiakan?
Komaruddin Hidayat: Anggota Dewan Guru Besar Universitas Paramadina; Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina


Wasiat Terakhir Cak Nur

Oleh Utomo Dananjaya *
Enam hari sebelum berangkat berobat ke China, Cak Nur menulis surat kepada teman-teman pendukung Yayasan Wakaf Paramadina. Surat itu berupa usul pengadaan usaha penyegaran yayasan dan peremajaan para pendukung keorganisasiannya.
Untuk sebagian orang, surat itu dianggap sebagai wasiat terakhir yang menggetarkan hati, yang menerima surat tersebut dan melihat kondisi kesehatan Cak Nur di China dan kemudian di Singapura.
Apa yang dimaksud Cak Nur dengan penyegaran rupanya dapat dibaca pada lampiran surat tersebut berjudul: Wawasan Paramadina dan Saran-Saran Penyegaran Keorganisasian Lebih Lanjut.
Tentang wawasan Yayasan Wakaf Paramadina, Cak Nur menjelaskan bahwa yayasan merupakan lembaga yang dimaksudkan untuk mengemban dan mendorong kebebasan wacana, baik terbuka maupun tertutup, tanpa menjadi partisan eksklusif untuk suatu pendapat dari wacana bebas tersebut. Alasan Cak Nur bahwa kebebasan adalah hak dan anugerah primordial atau primeval dari Sang Maha Pencipta, sebagaimana dilambangkan dalam cerita kosmis ketika Tuhan mempersilakan Adam dan Hawa masuk ke dalam surga (QS, 2: 35).
Dalam pidato peresmian Kampus Universitas Paramadina dan setiap membuka pra-training mahasiswa baru, Cak Nur selalu menjelaskan bahwa Universitas Paramadina menyelenggarakan pendidikan dengan semboyan berdasar pada kitab dan hikmah seperti tercantum dalam QS 4: 113. Dalam proses pembelajaran, dosen dan mahasiswa memerlukan semangat kebebasan untuk punya keberanian menerobos batas.
Cak Nur sering mengungkapkan, hikmah atau ilmu adalah temuan para cerdik pandai dan menjadi kekayaan peradaban kemanusiaan. Sebuah temuan adalah terobosan dari temuan sebelumnya. Demikianlah terobosan demi terobosan diciptakan menjadi etos cendekiawan. Terobosan hanya mungkin terjadi oleh keberanian menembus batas.
Universitas Paramadina yang baru lahir delapan tahun lalu diharapkan membangun budaya penemuan ilmiah. Universitas memuliakan penelitian dan discovery. Mahasiswa dan dosen bukan hanya belajar, tetapi juga melakukan penelitian, dan diharapkan mencapai prestasi ilmiah tertinggi.
Inilah yang dirumuskan sebagai universitas yang menawarkan pilihan atau alternatif. Yang dimaksud adalah budaya universitas berbeda dari budaya konvensional universitas di Indonesia. Hal ini dititipkan sebagai tantangan kepada sivitas akademika Universtas Paramadina. Kepada pimpinan dan dosen pesan ini diarahkan. Bahkan, kepada mahasiswa yang menjadi salah satu faktor untuk membangun budaya baru akademis.
Dengan kebebasan positif itu, kata Cak Nur, manusia akan berkesempatan berkenalan dengan berbagai pendapat. Manusia dipujikan Allah untuk mendengarkan dan memperhatikan berbagai pendapat itu, kemudian memilih mana yang terbaik. "Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan pendapat, kemudian mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berpengertian mendalam." (QS 39: 18).
Firman inilah yang menjadi dasar pandangan pluralisme yang dalam pengertian Cak Nur adalah mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, dengan mau mendengar, menghormati pendapat orang lain, walaupun tidak sependapat.
***
Dalam sebuah diskusi seorang cendekiawan muda mengritik Cak Nur berdasarkan pendapat seorang ahli. Cak Nur memuji cendekiawan muda itu sebagai orang yang punya disiplin ilmiah dengan mendasarkan pendapatnya pada pandangan seorang ahli. Kemudian, Cak Nur menyampaikan pendapatnya sendiri.
Cendekiawan muda ini sesumbar bahwa dia telah menundukkan Cak Nur dengan pendapatnya. Begitu pluralisnya, dalam arti sopan dan santunnya Cak Nur sehingga cendekiawan ini merasa Cak Nur telah menerima keyakinannya.
Begitulah pluralisme diejawantahkan dalam pergaulan. Lawan yang tidak sependapat pun merasa menghormati pendapatnya, bahkan merasa pendapatnya diterima Cak Nur. "Inilah makna pluralisme," kata Cak Nur.
Karena prinsip kebebasan itu, Paramadina bukanlah perkumpulan sektarian, yang secara eksklusif mendukung pendapat tertentu. Lebih-lebih Paramadina bukanlah gerakan kultus. Paramadina mendorong orang untuk dengan bebas mengembangkan dan mendengar pendapat. Kemudian, setiap orang bebas pula memilih yang terbaik di antaranya dengan bertanggung jawab dan tulus mengikuti suara hati nurani.
Tanggung jawab setiap orang di akhirat adalah bersifat pribadi mutlak, tanpa ada jual-beli, persahabatan (kullah) ataupun perantara (syafaah). (lihat: QS 2: 254).
***
Cak Nur meninggal dunia ketika orang takut kebebasan dan keberagaman (liberal dan pluralisme). Pesan Cak Nur kepada teman-teman pendukung Paramadina bisa juga menjadi seruan, sekaligus penjelasan bahwa paham kebebasan dan pluralisme adalah hak dan anugerah primordial dari Sang Maha Pencipta.
Seorang Nurcholish Madjid, jejak pendapatnya selalu segar dan relevan. Bukan dan tak perlu diterima sebagai yang paling benar, tetapi patut direnungkan, dipertimbangkan untuk menjadi pilihan hati nurani. Semoga menjadi amal soleh yang diterima Allah.
*. Utomo Dananjaya, pengajar pada Universitas Paramadina di Jakarta, dikenal sebagai teman dekat Cak Nur saat mencetuskan Gerakan Pemikiran Keislaman pada 1970.

Dimakamkan saat Ultah Pernikahan

JAKARTA- Hari ini, 36 tahun silam, Nurcholish Madjid muda resmi mempersunting Omi Komariah. Pada 30 Agustus 1969 itu, mereka berdua menikah di Madiun, Jawa Timur. Tepat tanggal ini pula, Omi mengantarkan sang belahan hatinya itu ke tempat peristirahatan terakhir di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.
Memang, pemakaman Cak Nur hari ini bertepatan dengan ulang tahun pernikahannya. Selain meninggalkan Omi, Cak Nur juga meninggalkan dua buah hatinya, Nadia Madjid dan Mikail Madjid.
Cak Nur -demikian mantan ketua PB HMI itu biasa dipanggil- mengembuskan napas terakhir pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah dalam usia 66 tahun. Hari ini, jenazah cendekiawan muslim itu dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Tadi malam, jenazah pendiri Yayasan Paramadina itu disemayamkan di kampus Universitas Paramadina. Keluarga, kawan dekat Cak Nur, dan tokoh nasional terus berdatangan untuk bertakziah. Termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Presiden dan Wapres juga menyalati jenazah tokoh yang dikenal karena pemikiran-pemikirannya tentang Islam yang moderat dan pluralis itu.
Sebelum meninggal, Cak Nur menyampaikan isyarat terakhirmya kepada sang istri tercinta, Omi Komaria. Sabtu pagi, Omi yang menunggui Cak Nur di rumah sakit tiba-tiba merasa gelisah. Tapi, wanita 50 tahun itu tak tahu sebabnya.
Omi semakin gelisah saat memandikan Cak Nur sekitar pukul 07.00. Ketika itu Cak Nur memberi tahu Omi agar bersiap-siap. Cak Nur mengatakan, ada mukhtadin (orang-orang pilihan, Red) yang akan datang. "Kakak (Omi, Red) langsung bertanya, siapa mukhtadin yang akan datang," ujar Nuri Widyawati, adik Omi.
Dengan suara pelan, Cak Nur menjawab bahwa mukhtadin itu adalah kiai dari Gontor. Omi bertanya lagi, siapa nama kiai Gontor itu? "Almarhum bilang kiai Gontor itu bernama Zarkasih," lanjutnya. Jawaban Cak Nur ini mengejutkan Omi. Sebab, Kiai Zarkasih dari Pondok Pesantren Modern Gontor, Jatim, itu sudah meninggal dunia.
Omi merasa ajal sudah semakin mendekati Cak Nur. Dia mempunyai firasat Cak Nur akan meninggalkan dunia. Mukhtadin tersebut datang untuk menjemput suaminya. Tapi, ibu dari Nadia Madjid, 34 tahun, dan Ahmad Mikail Madjid, 32 tahun, itu berusaha tetap tabah dan sabar. Dengan berat hati, Omi kemudian bertanya kepada Cak Nur kapan mukhtadin-nya datang. "Cak Nur hanya menjawab 5 sampai 10 jam," cerita Nuri. Mungkin maksudnya mukhtadin itu diperkirakan datang 5 sampai 10 jam kemudian.
Selain berbicara tentang kedatangan mukhtadin, Cak Nur juga bercerita bahwa dia melihat sebuah terowongan besar. Kondisi terowongan itu, agaknya, tak terurus dan harus direnovasi. "Malah Cak Nur bilang terowongan itu perlu dirapikan," lanjut Nuri. Tapi, Cak Nur tidak menjelaskan letak terowongan itu. Juga tidak disebut bagian yang perlu dirapikan itu.
Tokoh asal Jombang tersebut juga berkata melihat daging. Dia minta istrinya agar daging itu diberikan kepada orang lain saja. Pihak keluarga berkesimpulan bahwa almarhum ingin memperbanyak sedekah. "Kami sempat bingung almarhum mau sedekah berupa barang atau uang," ucap perempuan 30 tahun itu. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Cak Nur sudah bercerita arti sedekah.
Menurut Cak Nur, sedekah diambil dari kata shodaqoh. Artinya, melakukan kebenaran. Caranya bisa dengan menanamkan rasa benar kepada orang lain. Bisa pula dengan menanamkan rasa suci kepada orang lain. Di akhir penjelasan, Cak Nur mengatakan bahwa tindakan itu relevan dalam kehidupan. "Keluarga langsung mengerti bahwa almarhum ingin kita melakukan sedekah. Tak harus berupa uang atau barang, yang penting ikhlas," tambahnya.
Menurut tim dokter RSPI, kondisi Cak Nur terus menurun sejak kemarin pagi. "Bahkan, pukul 04.00, Cak Nur sempat tidak sadar," ujar Direktur Medik RSPI dr Mus Aida.
Cak Nur dirawat di RSPI sejak 15 Agustus lalu. Saat itu, keluhannya mual dan muntah. Dokter Widodo Suprapto, salah seorang dokter yang merawat Cak Nur, mengatakan bahwa kesehatan Cak Nur terus memburuk karena mengalami kegagalan fungsi hati dan ginjal. Sebelumnya, 27 Juli 2004, Cak Nur menjalani transplantasi hati (lever) di RS Taiping, Guangzhou, China. "Kelainan hatinya kembali kambuh. Dan, ini mengganggu fungsi fisik beliau, termasuk fungsi ginjal," katanya.
Istri dan kedua anaknya terlihat tabah dengan kepergian Cak Nur. "Kami sudah ikhlas," ujar Omi dengan mata berkaca-kaca. Menurut Omi, sebelum meninggal, Cak Nur sempat berpesan kepada putra-putrinya, Nadia dan Mikail, agar memperdalam belajar bahasa Arab. "Dengan berbisik, Bapak mengatakan itu penting agar bisa memahami Al Quran," ujarnya.
Menjelang kepergiannya, Cak Nur meminta dibimbing membaca surat Al Fatihah dan Al Ikhlas. Kemudian, Cak Nur mengatakan ikhlas. Lalu, dia tersenyum lima kali sebelum pergi. "Saya tidak menyangka kalau itu senyum terakhir Bapak," kata Omi.
Para pelayat terus berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Cak Nur. Selain Presiden SBY dan Wapres Kalla, tampak Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, Gus Dur, Bagir Manan, Bachtiar Chamsyah, Akbar Tandjung, dan Harmoko. Bersama ratusan pelayat lain, mereka bersalat jenazah yang diimami Quraish Shihab.
Komaruddin Hidayat, sahabat Cak Nur yang juga melayat, menyimpan kenangan mendalam terhadap pribadi almarhum. Dia sangat terkenang dengan pertemuan terakhirnya. "Saya sempat berkomunikasi dengan Cak Nur pada Minggu malam (29/8)," ujarnya.
Saat itu, Komaruddin sudah berfirasat bahwa Cak Nur akan meninggal. Sebab, beberapa kali Cak Nur menyebut nama teman-teman serta kerabatnya yang sudah meninggal. "Kata orang Jawa, itu tanda-tanda orang mau meninggal," katanya.
Salah satu nama yang disebut Cak Nur adalah almarhum KH Zarkasi. Menurut dia, Zarkasi adalah tokoh yang secara intelektual sangat berpengaruh pada pribadi Cak Nur. "Kiai Zarkasi itu guru Cak Nur ketika mondok di Gontor," jelas Komaruddin.
Yang membuat dia terharu adalah suara terbata-bata Cak Nur saat menyampaikan analogi pohon pisang dan pohon asam. Cak Nur menyatakan, pohon pisang adalah simbol semangat juang yang tinggi, namun egois. Ia akan terus tumbuh sampai berbuah, tapi hanya untuk dirinya. Sedangkan pohon asam, meski berbuah kecil dan asam, ia mengayomi dan membuat teduh semua di bawahnya.
"Bagi saya, beliau itu ibarat pohon asam yang meski buahnya kecil, tapi bisa mengayomi banyak orang," ujarnya.
Wapres Jusuf Kalla mengucapkan turut berbelasungkawa atas meninggalnya Cak Nur yang disebutnya sebagai tokoh umat dan tokoh bangsa itu. Dalam diri Cak Nur, semua itu bersatu. Sulit mencari bandingan tokoh tersebut.
Syafi'i Ma'arif juga merasa kehilangan. Mantan ketua PP Muhammadiyah itu adalah karib Cak Nur semasa mereka bersekolah di Chicago University, AS. Gus Dur pernah menyebut Cak Nur, Syafi'i, dan Amien Rais sebagai Tiga Pendekar dari Chicago. "Semoga Cak Nur khusnul khatimah. Ini kehilangan yang berat bagi bangsa. Beliau adalah tokoh moderat dan berprinsip. Bukan hanya cendekiawan muslim, tapi juga cendekiawan Indonesia," tegasnya.
Syafi'i mendengar informasi meninggalnya Cak Nur saat dirinya masih di Jogjakarta. Dia langsung terbang menuju Jakarta tadi malam. "Beliau layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini kehilangan bangsa," ungkapnya.
Ketua MUI Umar Shihab mengatakan, "Kita kehilangan tokoh yang punya pemikiran yang sangat baik mengenai umat Islam, meskipun ada yang menggelitik tentang pandangannya. Tapi, itu biasa."
Ketua PB NU Hasyim Muzadi mengungkapkan, Cak Nur adalah seorang muslim yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas. Hal itu tidak banyak bisa dilakukan orang. "Sehingga, yang disampaikan Cak Nur selalu mengalir dan bisa disampaikan siapa pun. Pikiran Cak Nur harus diteruskan," katanya.
Tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini menjabat Ketua MPR Hidayat Nurwahid mempunyai kenangan dengan Cak Nur. Dia sempat tujuh hari tinggal bersama Cak Nur dalam sebuah seminar di Riyahd beberapa saat lalu.
"Beliau tidak kikir dalam ilmu dan pengalaman. Inti pesan dari Cak Nur, kita hidup di Indonesia yang plural. Hanya, jangan sampai dengan dalih pluralisme, kita memaksakan kehendak kepada orang lain," ujarnya. (abi/naz/ai)


Mengenang Pembaruan-Islam Cak Nur

Oleh Ismatillah A. Nu'ad *
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemarin berpulang ke rahmatullah. Bapak pembaruan pemikiran Islam itu meninggal dunia pada usia 66 tahun.
Mengenang sosok almarhum tidak bisa dipisahkan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada 35 tahun silam. Mengenang gerakan itu kurang pas jika tak menyebut nama besar Cak Nur. Mengabaikan Cak Nur sama seperti garam tanpa asin.
Dia dinisbatkan sebagai gerbong pembaruan karena pada awal dekade 70-an menggelontorkan gagasan rasionalisasi-agama sebagai jargon dari gerakan pembaruan-Islam. Pada acara halalbihalal organisasi muda Islam, Cak Nur memberikan ceramah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat di Jalan menteng Raya No 58, Jakarta Pusat. Gagasan yang ditebarkan cukup menggetarkan karena tak lazim. Dia bicara soal rasionalisasi, sekulerisasi, desakralisasi, modernisasi-Islam, dll.
Menurut Cak Nur, sekulerisasi berarti rasionalisasi-agama, dalam arti mengartikulasi pesan-pesan moral agama pada tataran realitas kehidupan. Sementara itu, modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi, tetapi merupakan spirit yang hendaknya memacu umat Islam untuk berbuat seperti dalam kemajuan-pencerahan yang terjadi di Barat (Tarekat Nurcholisy: 2001).
Gagasan-gagasan itu kemudian mendapatkan kritik dan serangan bertubi-tubi dari kelompok skripturalis-tekstualis muslim, di antaranya dari kelompok Dewan Dakwah. H M. Rasjidi merupakan salah satu pentolannya. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim dari Universitas di Prancis dan penerjemah buku-buku bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya, kritik bertubi-tubi tak membuat surut Cak Nur. Gagasannya di awal 1970-an, misalnya, dipertegas lagi setelah Cak Nur merampungkan studi di Universitas Chicago awal dekade 80-an.
Pada saat itu, Cak Nur banyak menawarkan pendekatan baru yang dianggap "tak lazim" dalam ajaran Islam, yaitu kesemuanya lahir dari tafsir dan konsekuensi terhadap gagasan rasionalisasi-agama. Sebuah gagasan R. William Liddle (1995) yang mereduksi dari Robert N. Bellah, seorang sosiolog-agama kenamaan dari Amerika. Gagasan itu, menurut Liddle, dielaborasi Cak Nur dalam makalah kerjanya ketika berada di perjalanan dari Chicago.
***
Setelah pulang dari Chicago, lantas banyak kalangan skripturalis-tekstualis muslim yang merasa tak salah menduga bahwa Cak Nur memang agen orientalis. Sebab, kampus Chicago di dunia Islam terkenal sebagai sarang para orientalis kenamaan, seperti Wilfred Cantwell-Smith, Marshal G. S. Hodgson. Selain itu, di sana juga ada pemikir muslim yang menjadi gerbong modernisasi dan pembaruan-Islam karena mendekati agama dengan jalan rasional, seperti Fazlur Rahman.
Cak Nur, sebagai salah satu mantan murid Rahman, seperti juga Amien Rais dan Syafii Maarif, secara otomatis mengikuti gaya pemikiran Rahman yang rasional. Tampaknya dari Rahman itulah, bukan dari Bellah seperti pendapat Liddle, Cak Nur mendapat inspirasi awal mengenai gagasan rasionalisasi agama.
Gayung pun bersambut. Cak Nur rupanya tak hanya dikritik. Namun, banyak pula sambutan hangat yang datang dari kalangan-kalangan yang sepaham dengannya. Kalangan yang sepaham itu, pada substansinya, adalah orang-orang yang tidak mau lagi memahami Islam secara mainstream dan selama itu dianggap otoritatif.
Pendekatan terhadap Islam nonmainstream yang dianggap tak otoritatif itu, ternyata, lebih menyegarkan dan relevan dengan gejolak pemikiran-pemikiran liar di kalangan aktivis muda Islam khususnya. Keliaran pemikiran terjadi akibat persinggungan tradisi dan khasanah pemikiran modern dari Barat.
Pengikut Cak Nur yang setia dan paling awal datang dari kalangan aktivis-muslim, katakanlah seperti Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin dan orang-orang yang pernah bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas latar pemikiran yang sejalan dengan Cak Nur.
Mereka dikatakan seperti itu karena tak sedikit juga di HMI yang tak sejalan dengan gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Oleh Greg Barton (1999) kemudian dipilah orang-orang yang masuk kelompok neomodernis dan orang-orang yang dikategorikan substansialis. Namun, keduanya sama-sama memperjuangkan gerakan pembaruan-Islam di Indonesia.
Kelompok neomodernis dinisbatkan karena telah memperbarui kalangan modernis-muslim yang menggelontorkan gagasan modernisasi-Islam. Tokohnya adalah Fazlur Rahman. Kelompok neomodernis, menurut Barton, terbentuk karena mereka tak hanya punya akses dalam khasanah tradisi intelektual Barat-modern. Namun, juga punya akses yang cukup luas dari khasanah tradisi klasik-pesantren.
Kelompok substansialis, menurut Barton, punya akses besar terhadap khasanah intelektual Barat-modern, tapi kurang mendapatkan akses khasanah intelektual klasik-Islam. Kelompok neomodernis diwakili oleh orang seperti Cak Nur sendiri, kemudian Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Yang mewakili kelompok substansialis adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dll.
***
Dalam perjalanannya, gerakan pembaruan-Islam Cak Nur dianggap bukan suatu barang baru. Sebab, lama sebelum Cak Nur memelopori gerakan pembaruan, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga mengklaim sebagai gerakan pembaru.
Kategori umum mengenai gerakan pembaruan lantas juga merujuk pada gerakan salafi-Wahabi di Arab yang kemudian membentuk Kerajaan Saudi pengklaim penjaga dua kota suci Makkah-Madinah. Jika dirujuk masa awalnya, gerakan pembaruan dipelopori Rifaat Tahtawi, Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasdyid Ridha di Mesir.
Menurut Thoha Hamim, ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Quran, sunnah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bidah dan khurafat. (Thoha Hamim, Moenawar Chalil’s Reformist Thought, 2000)
Memang, geneologi gerakan pembaruan beserta ciri umumnya itu turut serta menginspirasi gerakan pembaruan Cak Nur. Namun, untuk menggeneralisasi kesamaan secara menyeluruh juga tak dapat dibenarkan. Jadi di sini, model pembaruan di Mesir berbeda dengan pembaruan ala Wahabi di Arab Saudi, begitu pula pembaruan ala Wahabi berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Akhirnya, gerakan pembaruan Muhammadiyah berbeda pula dengan pembaruan Cak Nur.
Meski semua gerakan pembaruan itu mengklaim pewaris generasi salafi, salafi di Arab Saudi berbeda dengan salafi Muhammadiyah. Jika salafi di Arab Saudi berarti Wahabisme fanatik, radikal, dan tak toleran serta tak akomodatif dengan mazhab di luar mazhab Wahabi itu sendiri, salafi Muhammadiyah justru sebaliknya. Yakni, bersifat moderat, tradisional, dan akomodatif-demokratis.
Bahkan, organisasi terbesar lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) "saudara kandung Muhammadiyah" tak hanya akomodatif, tapi juga oportunis dalam soal komparasi mazhab fikih.
Berbeda jauh dengan itu, salafi pembaruan Cak Nur bahkan melampaui salafisme Muhammadiyah maupun NU sekalipun. Salafi pembaruan Cak Nur lazimnya bersinggungan dengan modernitas Barat yang didapat dari hasil persinggungan dengan dunia akademis-nontradisional.
Karena pembaruan Cak Nur lahir dari kampus, maka konsekuensinya, dalam jumlah masif, banyak "Cak Nur muda" di masa sekarang yang mengikuti jejak langkahnya. Dalam pelbagai warna, pembaruan Cak Nur ditafsirkan oleh mereka sehingga lahir pula tafsir yang lebih mengerucut terhadap pembaruan Cak Nur, entah mereka yang kemudian menamakan kelompok postradisionalisme-Islam (Postra), Islam-liberal (Islib) maupun Islam-progresif.
Yang jelas, pembaruan Cak Nur dikatakan cukup berhasil karena tak hanya memperkenalkan model rasionalitas berpikir dalam mendekati agama, tapi juga berhasil mengelaborasi, mendemonstrasi, dan mengaktualisasikannya dalam realitas kekinian. Karena itu, tak hanya pengkritiknya, pengikutnya pun terus ada dan tetap eksis sampai kapan pun.***
* Ismatillah A. Nu’ad, bekerja di Center for Moderate Moslem (CMM) di Jakarta

Mengenang Cak Nur

Oleh Fachry Ali *
Walau sudah menduga sebelumnya, toh saya -seperti banyak yang lainnya- terkejut menerima berita dari Abdul Hamid. Putra almarhum Kiai Fatah, pendiri Pesantren Al-Fatah di Sekaran, Siman, Lamongan, Jawa Timur, ini menyampaikan berita duka: wafatnya Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam dan cendekiawan Indonesia terkenal, yang populer dipanggil Cak Nur.
Di Universitas Paramadina, "pesantren" yang didirikan Cak Nur, khalayak yang berduka sudah banyak berdatangan menunggu kedatangan jenazah tokoh pemikir ini.
Secara pribadi, ingatan saya melayang ke Singapura. Di sebuah rumah sakit negara-kota ini, Cak Nur sudah bisa bicara ketika saya berkunjung akhir November tahun lalu. Mbak Omi, istri Cak Nur, meminta saya menunggu sebentar, karena Cak Nur sedang salat asar.
Dengan bertayamum, seperti yang saya intip dari kaca pintu, Cak Nur yang tampak lemah itu memang sedang khidmat menunaikan ibadah. "Cak Nur itu lebih kuat dari saya," ujar Mbak Omi. "Malah dia yang menasihati agar saya bersabar. Penderitaan Nabi Ayyub belum seberapa dibandingkan dengan yang kita alami," kata Mbak Omi mengulang kembali kalimat Cak Nur.
Setelah berbicara barang sejenak usai salat, dengan senyum manis sebagaimana biasa, Cak Nur berkata kepada saya, "Salam kepada kawan-kawan di Tanah Air."
Itulah perjumpaan saya yang terakhir dengan Cak Nur. Sebab, entah karena kesibukan apa, saya tak sempat menjenguk tokoh ini justru ketika sudah berada di Tanah Air.
***
Tetapi, seperti juga dengan lainnya, perjumpaan gagasan antara saya dan Cak Nur tak pernah berakhir. Walau sudah pasti ada beberapa komentar kritis saya terhadap gagasan dan analisis Cak Nur, secara keseluruhan gagasan-gagasannya telah membuka paradigma baru dalam cakrawala pemikiran Islam dan keindonesiaan di Tanah Air.
Akar paradigma ini tertanam dalam perubahan drastis sosial-politik dan ekonomi Indonesia ketika transisi politik Orde Lama dan Orde Baru bergulir. Cak Nur dan kawan-kawan segenerasinya menyadari bahwa pertarungan ideologi yang mendominasi pergulatan politik di masa "Orde Lama" telah mengalami "sakralisasi", karena partai-partai politik telah diperlakukan sebagai bagian dari agama.
Gejala semacam ini terutama terlihat pada kalangan Islam yang keanggotaan dan partisipasi seseorang di dalamnya menentukan apakah dia "beriman" atau tidak. Islam, dalam konteks ini, tidak lagi berfungsi sebagai "agama" -sebagaimana lazimnya- melainkan sebuah ideologi yang perlakuan atasnya mirip sebagai "agama".
Dalam konteks inilah Cak Nur menyampaikan gagasan "pembaruan pemikiran Islam Indonesia" pada awal 1970-an. Intinya bahwa desakralisasi ideologi-ideologi politik, termasuk (ideologi parti-partai politik) Islam merupakan sebuah keharusan.
Bahwa Islam adalah sebuah agama dan hak bagi setiap orang Islam mempunyai preferensi politik tersendiri; dan karenanya tidak gugur keislaman seseorang walau tak mempunyai preferensi politik terhadap partai-partai Islam.
Dengan kata lain, menjadi anggota atau pendukung sebuah partai Islam tidak secara otomatis menjadi lebih Islam daripada seorang muslim yang mendukung partai lain; dan bahwa keislaman seseorang tidak ditentukan apakah ia anggota sebuah partai politik Islam atau tidak.
Inilah saya kira inti paradigma baru pemikiran Cak Nur yang segera mempengaruhi kecenderungan afiliasi politik berbagai kaum terpelajar muslim Indonesia.
Masuknya secara berbondong-bondong lapisan terpelajar santri Indonesia ke berbagai partai politik tanpa ideologi Islam pada masa Orde Baru, munculnya gagasan depolitisasi NU yang dikukuhkan dalam muktamar Situbondo pada 1984 dengan semboyan "Kembali kepada Khittah 1926", antara lain bersinggungan dengan gagasan desakralisasi ideologi politik yang dilancarkan Cak Nur dua dekade sebelumnya.
***
Di atas paradigma desakralisasi ideologi inilah Cak Nur mengembangkan dua pemikiran berikutnya tentang masalah sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Pada hal yang pertama, Cak Nur menekankan pluralisme dan toleransi; bahwa kebenaran interpretasi (penafsiran) sebuah kelompok atas ajaran sebuah agama, dalam hal ini Islam, bersifat tidak mutlak -karena kelompok lain juga mempunyai hak yang sama melakukan penafsiran tersendiri.
Gagasan ini dikemukakan Cak Nur untuk menghindari konflik yang memang potensial terjadi seandainya setiap kelompok "ngotot" dengan kebenaran interpretasinya. Konflik atas nama Tuhan dengan sesama umat bisa menjadi ironi tersendiri, justru karena Tuhan adalah penganjur perdamaian.
Dari lapangan internal ini, Cak Nur kemudian mengembangkan keharusan toleransi terhadap agama dan sistem kepercayaan lain. Kendati agama-agama non-Islam tidak "suci" secara teologis, kaum muslim harus mengembangkan sikap toleransi, karena kehadiran agama-agama tersebut telah menjadi fakta sosial-keagamaan yang tak bisa dielakkan.
Kedua adalah visi politik yang didasarkan demokrasi dan moralitas. Hemat saya, gagasan terakhir inilah yang diperjuangkan Cak Nur bersama Abdurrahman Wahid serta lainnya, terwujud di Tanah Air, hingga akhir hayatnya.
"Perlawanan" Cak Nur pada otoriterianisme kekuasaan masa Orde Baru, dan seruannya membangun sistem yang permanen bagi sistem demokrasi adalah inti pemikiran dan perjuangan Cak Nur. Ini justru disuarakan ketika rezim Orde Baru masih sangat kukuh.
Dengan telak Cak Nur berucap: "Jangan percayakan nasib bangsa pada niat baik satu dua orang pemimpin. Percayakan nasib bangsa pada sistem yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan."
Kini, Cak Nur telah tiada. Gagasan keislaman dan keindonesiaannya serta gagasan perjuangan menegakkan demokrasi akan dilanjutkan oleh generasi seangkatan yang masih hidup dan pasti disambung oleh generasi berikutnya.
Jakarta, 29 Agustus 2005
* Fachry Ali MA, peneliti pada ...

"Pesan saya sebagai orang tua yang sudah berusia di atas 70 tahun adalah agar orang beragama secara beradab, santun, dan arif dalam menyikapi keadaan. Islam yang saya pahami adalah Islam yang sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, beradab, dan mulia." (Buya Syafii)


Cak Nur

Cak Nur (Prof Dr Nurcholish Madjid) adalah cendekiawan dan penulis Indonesia yang sangat produktif sebelum mengalami pencangkokan hati di Cina, kemudian dirawat di Singapura dan di Jakarta selama beberapa bulan. Kondisi kesehatannya memburuk dan ia akhirnya wafat kemarin.
Sewaktu dirawat di Singapura dan di RS Pondok Indah, sudah banyak sekali orang penting dan para sahabat menjenguknya demi menunjukkan simpati dan empati yang amat dalam terhadap Cak Nur. Sewaktu saya dan istri mengunjunginya di RS NUH (National University Hospital), Singapura, beberapa bulan yang lalu, Cak Nur baru saja keluar dari ICU dalam keadaan lemah sekali, tetapi dapat berkomunikasi melalui tulisan Arab-Melayu yang tidak mudah saya baca. Kami hanya trenyuh dan tertunduk hormat sambil berdoa untuk kesembuhannya.
Sebagai sahabat yang pernah bergaul selama lebih empat tahun di Chicago dan mengaji Alquran pada Fazlur Rahman di kediamannya, sekitar 45 mil dari kota itu, saya sampai batas-batas yang agak jauh telah mengenal Cak Nur dari jarak yang dekat. Ketika berbicara, pembawaannya lembut, sopan, serta mengeluarkan pendapat melalui argumen yang kuat dan teratur.
Perkara orang belum tentu setuju dengan hujah-hujahnya, adalah lumrah belaka. Bukankah tafsiran menusia terhadap wahyu yang mengandung kebenaran mutlak tidak pernah benar mutlak semutlak wahyu itu sendiri?
Oleh sebab itu, jika ada orang yang memonopoli kebenaran dengan jalan memasung hak orang lain untuk berpendapat berbeda, sebenarnya (secara tidak sengaja atau gegabah?) telah mengambil alih otoritas Tuhan sebagai Sumber Kebenaran Mutlak. Cara berpikir semacam ini sangat berbahaya dan dapat meluluhlantakkan persaudaraan antarmanusia.
Dengan sedikit wacana ini, saya akan langsung memasuki topik utama Resonansi ini yang sumbernya dari saksi mata langsung dan otentik. Demikianlah pada 26 Juli 2005, antara pukul 16.30 dan 17.30, beberapa orang mendatangi Cak Nur di rumahnya, sementara Cak Nur sendiri belum pulih kesehatannya, masih lemah. Menyaksikan kondisi fisiknya, semestinya meluluhkan perasaan mereka yang berhati nurani.
Rombongan ini mengaku membawa pesan Abu Bakar Ba'asyir untuk Cak Nur. Sumber pertama merekamkan: ''Apakah pikiran Cak Nur masih?'' Cak Nur menjawab, ''Saya masih tidak bingung.'' Setelah basa-basi, salah seorang bilang menyampaikan salam Ustadz Ba'asyir, dan bahwa beliau bertanya, dalam buku Fiqh Lintas Agama ada nama Cak Nur dan berpendapat semua agama sama. Cak Nur menjawab, ''Saya tidak berpendapat semua agama sama.''
''Ada tertulis kawin antar agama boleh. Ustadz Ba'asyir minta Cak Nur menarik pendapat itu.'' Seorang lagi mengulangi pesan Ba'asyir, ''Itu pendapat salah, minta Cak Nur mencabut pendapat agama sama dan boleh kawin antar agama. Bagaimana pendapat Cak Nur?'' Cak Nur menjawab, ''Saya tidak dalam kondisi untuk menjawab.'' (Ini informasi via SMS yang saya terima pukul 22.35, pada 14 Agustus 2005).
Hampir serupa dengan yang pertama, sumber kedua antara lain merekamkan: ''Yang mereka sampaikan adalah (katanya) amanat dari Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan M Thalib (dengan asumsi Cak Nur sudah sehat) tentang tiga hal yang ada dalam buku Fiqh Lintas Agama.'' (SMS pukul 06.44, pada 15 Agustus 2005).
Saya tidak berminat mempersoalkan isi dialog itu. Sekiranya Cak Nur sehat, dia akan bisa menjawab berjam-jam semua pertanyaan yang diajukan itu. Yang menjadi keprihatinan saya adalah adab orang menjenguk si sakit. Apakah dalam batas kesopanan Cak Nur diguyur dengan pertanyaan-pertanyaan serupa itu dalam kondisi fisik yang mengundang rasa iba itu?
Rombongan itu 'kan menyaksikan sendiri keadaan Cak Nur dari jarak yang sangat dekat. Mengapa sampai hati ''meneror''-nya dengan berlindung di balik amanah Ba'asyir? Saya sungguh gagal memahami cara orang membawakan pesan agama demikian kasar. Sepengetahuan saya, Ba'asyir bukanlah tipe manusia garang yang suka memaksa-maksa orang lain. Sewaktu saya dan istri menjenguknya di RS PKU Solo pada waktu yang lalu, dia memeluk saya dan mohon doa. Tetapi, mengapa mereka yang menyebut diri pengikutnya seperti tak terkendali, khususnya sewaktu mengunjungi Cak Nur?
Pesan saya sebagai orang tua yang sudah berusia di atas 70 tahun adalah agar orang beragama secara beradab, santun, dan arif dalam menyikapi keadaan. Islam yang saya pahami adalah Islam yang sebangun dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, beradab, dan mulia.
Cak Nur telah wafat. Saya dan keluarga menyampaikan belasungkawa yang sangat dalam dan dalam sekali. Semoga khusnul khatimah.
(Ahmad Syafii Maarif )


Wahai Jiwa yang Tenang

oleh Mohamad Sobary
Dan duka maha tuan bertahta” (Chairil Anwar)
Di makamnya kita menunggu. Ribuan wajah menunduk. Orang tampak berdesak-desakan di bawah terik matahari sejak menjelang pukul sebelas hingga tengah hari.
Apa bedanya dengan dulu ketika di Taman Ismail Marzuki atau di hotel-hotel kita berkerumun menanti dia datang dan kemudian mendengar ceramah-ceramahnya?
Bedanya, kali ini ada tembakan salvo, upacara kemiliteran, dan tembang Gugur Bunga. Kali ini kita mengantarkannya pulang. Dan sesudah ini tak akan pernah ada lagi panitia menjemputnya dan membawanya ke podium untuk didengar pemikirannya.
Dan ketika di atas pusaranya orang-orang tercinta dan yang setulus hati mencintainya—juga anggota-anggota keluarga, para sahabat, teman-teman, kenalan, dan para pengagum—dengan kusuk menabur bunga, saya pun mengambil sejumput, kemudian saya taburkan di atas taburan yang sudah merata.
Ini bukan taburan pertama, tetapi bukan yang terakhir. Di belakang saya antrean masih panjang.
Sejenak saya termangu. Bait terakhir puisi Chairil Anwar: ”Dan duka maha tuan bertahta” yang ditulis pada saat kematian neneknya menggambarkan dengan baik suasana sejak kemarin sorenya di Kampus Paramadina.
Dalam hati saya sendiri, rasa bersalah besar, pengakuan dan penyesalan, berkecamuk. Rasanya seperti lorong kecil tanpa ujung. Utang sosial macam ini dengan apa dibayar? Saya terhukum.
Hari Minggu—dua hari sebelumnya—ketika kesehatannya sangat menggembirakan, saya dan istri saya bermaksud menengok ke rumah sakit, tetapi gagal oleh urusan teknis lainnya dan saya menghibur diri bahwa hari lain masih ada. Kita tak pernah tahu rahasia Tuhan.
Saya mendoakannya dengan hati merendah dan dengan kesadaran yang mulai utuh tetapi getir bahwa kita betul-betul kehilangan. Dan bahwa apa yang hilang itu tak mungkin kembali.
Alunan tembang sahdu ”mati satu tumbuh seribu” saya kira bukan janji, bukan hiburan. Mati satu tumbuh satu pun rasanya sudah merupakan kemurahan alam yang melimpah. Tetapi, siapa gerangan yang satu itu?
Berkali-kali, dalam gerah ketika kita menanti rangkaian upacara itu, orang membisikkan rasa kehilangannya. Berkali-kali pula orang bertanya kepada saya siapa penggantinya, dan saya tak bisa menjawab.
Cak Nur pergi bukan atas kemauannya sendiri. Saya berani bertaruh, gemuruh dalam jiwa dan semangatnya untuk mengabdi negaranya belum reda. Ia masih ingin terus memperbaiki keadaan yang tetap morat-marit. Tak sukar kita menyelami dan menyimpulkan bahwa ia sering kecewa.
Ia bukan hanya orang yang bisa disebut committed citizen, tetapi ia pemimpin yang sangat peduli. Ia tak sabar membayangkan hasil kerjanya.
Dialah yang gigih menciptakan ruang kebudayaan untuk memfasilitasi agar kekuatan rohaniah bernama ”umat”, yang sangat jauh tertinggal bisa masuk ke dalam dan menjadi bagian dari ”modernitas”, kiblat dunia itu. Ia ”memodernisasikan” umat.
Dengan syukur ia melihat meningkatnya pendidikan ”umat”. Ia sadar Timur-Barat itu milik Tuhan. Dan karena itu umat hendaknya jangan dihantui ketakutan dan dibebani kebencian serta dendam tiap bicara Timur-Barat.
Sebagai kiblat geografis keduanya ada. Sebagai kutub pemikiran keduanya tak perlu dianggap dikotomi. ”Timur-Barat” atau ”Barat-Timur” itu sebuah civilization continuum. Dulu, peradaban mengalir dari Timur ke Barat dan sekarang kebalikannya, tetapi apa salahnya?
Cak Nur bangga melihat proses ”santrinisasi birokrasi” dan ”birokratisasi santri” itu. Tetapi, ketika santrinisasi itu bergerak ke ”tengah”, ia kecewa karena ”santrinisasi birokrasi” berubah dari gejala sosiologis biasa menjadi gejala politik yang tak ramah.
”Umat" lalu menjadi kekuatan politik riil. Banyak pihak berkata: kini giliran kita. Tetapi, ”kita” itu hanya sedikit orangnya. Suasana balas dendam atau kehendak dominan dilampiaskan. Dengan masygul, Cak Nur pun mundur.
Sebagai pemikir, jiwa Cak Nur bergejolak. Ia liberal, lebih dari siapa pun. Tetapi, watak liberalnya tak diumumkan dan ia tak ingin dipahlawankan karena alasan itu. Ia mungkin malah tak tahu bahwa ia liberal.
Secara pribadi, Cak Nur jiwa yang tenang. Sikapnya lembut. Tutur kata dan sepak terjangnya santun seperti murid teladan.
”Murid? Bukankah ia guru bangsa?”
Seorang guru bangsa pun hakikatnya juga murid. Sekarang terlalu banyak orang mengaku pintar dan semua berambisi menjadi pemimpin tanpa bersedia menjadi murid.
Dan murid yang satu ini sudah menghadap. Di sana, semoga ia disambut ramah: ”Wahai jiwa yang tenang, masuklah ke dalam surga-Ku.”

Lembing

Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….
Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—terutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah, penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya patut beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang para ”ahli agama dan lembing katanya”.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan? Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang sejarah agama-agama—adalah sejarah pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik dan Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.
Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. ”Tidak ada paksaan dalam agama,” demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan, yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak antara ”tertangkap-menangkap” dan ”terlepas-melepas”. Yang universal tampak sebagai kaki langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan—senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.
Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.
Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah satunya adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu dengan batas.
Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah guru tentang kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.


Gus Dur dan Cak Nur


Ditulis oleh Komaruddin Hidayat   

Wafatnya Gus Dur tiba-tiba mengingatkan saya akan sosok Cak Nur. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nurcholish Madjid) adalah dua sosok santri par excellent yang sama-sama dari Jombang yang keduanya sangat besar pengaruhnya dalam dunia pemikiran kaum santri di Indonesia. Keduanya adalah pemikir sekaligus aktivis sosial yang sangat berjasa menarik gerbong dunia pesantren yang semula berada di pinggiran lalu masuk ke gelanggang percaturan intelektual dan politik di Indonesia kontemporer bahkan ke level internasional.
Dua sosok pemikir ini mampu mengintegrasikan pemikiran tradisional dan moderen, lokal dan nasional, dalam semangat dan komitmen keindonesiaan sehingga semangat islamisme, modernisme dan nasionalisme tidak relevan lagi diperhadapkan. Khususnya bagi dunia pesantren, Gus Dur dan Cak Nur  telah mendongkrak sikap percaya diri secara kultural dan intelektual sehingga pesantren yang semula dianggap eksotik, kumuh, terbelakang, lalu berubah menjadi pusat kaderisasi intelektual dan pemikir kebangsaan dengan faham keagamaannya yang moderat dan inklusif.
Gus Dur sendiri dengan bercanda sering mengatakan bahwa Jombang telah melahirkan “orang-orang gila” di negeri ini dengan menyebut Cak Nur, Emha Ainun Najib, Wardah Hafidz dan dirinya sendiri. Mereka adalah sosok-sosok pribadi yang berani berbeda dan siap menerima resiko. Oleh karenanya Gus Dur dan Cak Nur akan tercatat dalam sejarah sebagai pejuang demokrasi yang tumbuh dari rahim dunia pesantren.
Cak Nur lahir 17 Maret 1939, meninggal 29 Agustus 2005, sedangkan Gus Dur lahir 4 Agustus 1940, meninggal 30 Desember 2009. Bagi para pejuang demokrasi dan  kemanusiaan  dua sosok intelektual-aktivis ini serasa masih hidup meski keduanya telah lebih dahulu kembali ke kampung ilahi untuk selamanya. Beruntunglah pikiran-pikiran mereka sebagian sudah terabadikan dalam buku sehingga kita lebih leluasa dan obyektif untuk membaca dan menilainya.
Di hari pemakamannya,  seorang teman berkirim sms pada saya: Gus Dur memang luar biasa!!! Amplitudo getarannya baru terasa penuh pada detik-detik ini. Benarlah kata orang bijak, dengan memberi kamu menerima, dengan memaafkan kamu dimaafkan,  dengan mati kamu hidup abadi.
Tentu tak akan habis-habis orang membicarakan Gus Dur, karena pemikiran dan sepak terjangnya yang multidimensi, kontroversial dan di luar dugaan orang. Telah banyak buku terbit yang isinya mengulas pemikirannya. Sebagai orang kampus tentu saya akan mendorong mahasiswa saya, khususnya program pascasarjana, untuk meneliti dan mengkajinya kembali secara ilmiah karena begitu banyak tesis atau pemikiran Gus Dur yang masih dan sangat relevan untuk membangun wacana keislaman dan keindonesiaan hari ini. Selamat jalan Gus, yakin dan berdoa, kehidupan di kampung ilahi pasti jauh lebih indah dan damai.


Diskusi di Unisba Membedah Pluralisme Cak Nur

Oleh Umdah El-Baroroh

Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.
“Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana.” Demikian papar Mohamad Monib, dosen Paramadina Mulya dalam diskusi “Membedah Pemikiran Pluralisme Nurcholis Madjid”, 22/1 lalu.
Diskusi yang diadakan di aula Universitas Islam Bandung itu juga menghadirkan dua pembicara lainnya sebagai panel. Tampak di sana Dawam Raharjo, wakil Jaringan Islam Liberal, serta Miftah Fauzi Rahmat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Lebih lanjut, Monib juga menjelaskan bahwa pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina itu, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”
Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu.”
“Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”
Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.
Dapat diumpamakan dalam penganut teologi inklusif bahwa agama adalah sebagai cahaya-cahaya tapi yang paling terang adalah cahaya agamanya. Sementara seorang pluralis beranggapan bahwa semua agama bercahaya. Di sinilah terlihat perbedaan antara teologi inklusif dan pluralis.
Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia.
Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam. “Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”[]



Beda Hadits dan Sunnah

Beda Hadits dan Sunnah
Orang sering menyamakan antara hadits dan sunnah,padahal 2 hal
ini berbeda.Nabi bersabda :”Aku tinggalkan diantara kalian 2
perkara yang kamu tidak sesat selama berpegang pada keduanya:
Kitab suci dan sunnah Rasul-Nya”.
Jadi yang disebut di atas bukan hadits tapi sunnah,lalu apa bedanya?
1. Sunnah
Pengertian sunnah lebih luas dari hadits termasuk hadits yang
shahih sekalipun.Sunnah adalah segala tindakan dan contoh yang
dilakukan Nabi dalam menerjemahkan ayat AQ dalam menghadapi
kasus-kasus ketika di masa hidup beliau dan ini jauh lebih
akurat dipelajari dari kitab tentang sejarah biografi Nabi
Muhammad seperti yang telah ditulis oleh Ibnu Ishaq (wafat 151
H) yang kemudian disunting oleh Ibnu Hisyam (wafat 219 H).
Tapi tentu saja kita tidak bisa mencontoh tindakan Nabi ini
bulat-bulat tanpa memahami konteks kejadiannya waktu itu,untuk
itulah memahami teladan Nabi juga harus paham sejarah,budaya
arab masa itu,bahasa arab,dan proses penerjemahan bahasa arab ke indonesia.
Akan banyak keanehan kalo kita meniru bulat-bulat sunnah Nabi
tanpa memahami prinsip besarnya,kalo memang harus niru bulat-bulat kenapa tidak
sekalian aja kita naik onta saja daripada mobil,kan mobil buatan orang non
muslim kan.
2. Hadits
Pengertian hadits kebanyakan ditujukan pada kitab hadits yang
ditulis oleh Al Bukhari dan Muslim yang kadang juga merujuk ke
kitab-kitab koleksi Ibnu Majah,Abu Dawud,Al Turmudzi dan Al
Nasa’i,dll.Pembukuan hadits baru dimulai di awal abad ke-2
Hijriah hingga pertengahan abad ke-3 Hijriah.
AL Bukhari membukukan hadits dengan metode yang dibuat oleh
Imam Syafii.Jarak penulisan yang panjang dari masa hidup Nabi
inilah yang membuat banyak kontroversi dalam isi hadits,tapi bukan berarti kita
lantas tidak mempercayai 100% sebuah
hadits,tapi alangkah lebih baiknya kita merujuk ke AQ dulu jika
ada hadits yang kontroversial,apakah sesuai dengan semangat
dasar AQ.Bahkan sampai sekarang pun kita tetap perlu meneliti hadits-hadits Nabi
tersebut dengan metode yang bisa jadi lebih canggih daripada Al Bukhari dan
ulama lain dengan sumber-sumber yang lebih lengkap karena perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan.
(Disarikan dan ditulis kembali dengan harapan agar lebih mudah dipahami dari artikel Cak Nur berjudul : “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits: Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”)

Iman dan Sikap Terbuka

Dalam Kitab Suci terbaca firman yang artinya kurang lebih demikian: ” …. Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi ( “ulu al-albab” ) (QS. Al-Zumar/39:17).
Jadi dalam firman itu dijelaskan bahwa salah satu orang yang memperoleh petunjuk atau hidayah Alloh ialah bahwa ia suka belajar mendengarkan perkataan ( al-qawl )- yang kata al Razi dan al-Thabari dapat meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi , serta pendapat sesama manusia, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu   dan mengikuti mana yang terbaik. Disebutkan pula dalam firman itu bahwa orang-orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi.
Ajaran yang terkandung dalam firman itu sejalan dengan beberapa nilai yang lain, yang kesemuanya itu dapat disebut sebagai nilai keterbukaan. Nabi sendiri sebagai teladan kaum beriman, dipuji Alloh sebagai orang yang lapang dada, karena memang dijadikan demikian, seperti difirmankan dalam Alquran surat Al- Insyirah. Dan sejalan itu pula maka Alquran mengkritik orang-orang kafir yang salah satu ciri mereka ialah , jika mereka diingatkan akan suatu kebenaran, mereka berkata, hati kami telah tertutup, jadi tidak lagi sanggup mendengarkan sabda Alloh atau pendapat orang lain. Padahal yang terjadi ialah bahwa Alloh mengutuk mereka karena sikap mereka yang menolak kebernaran itu, sehingga mereka pun   memang sedikit sekali kemungkinan untuk beriman ( lihat QS.alBaqarah/2:88)
Semangat ajaran-ajaran kitab suci itu dipertegas lagi dengan firman Alloh, “Dan barang siapa Alloh menghendaki untuk diberikanNya hidayah, maka Dia lapangkan dada orang itu untuk ( atau karena ) islam; dan barang siapa Alloh menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang itu sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit” (QS.al-An’am/6:125). Oleh karena itu jelas sekali bahwa sikap terbuka adalah bagian dari pada iman. Sebab seseorang, seperti ternyata dari firman berkenaan dengan sikap kaum kafir tersebut diatas, tidak mungkin menerima kebenaran jika dia tidak terbuka. Karena itu difirmankan bahwa sikap tertutup, yang diibaratkan dada yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan.
Sedangkan sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap”tahu diri”, yaitu tahu bahwa diri sendir mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran. Sikap “tahu diri” dalam makna yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji, sehingga ada ungkapan  bijaksana bahwa ” Barang siapa yang tahu  dirinya maka dia akan tahu Tuhannya.” Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi tahu diri sebgai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas, yang bersifat serba Maha.
Dalam tingkah laku nyata, “tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati       ( harap jangan dicampuraduk dengan “rendah diri”). Dan sikap rendah hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan menuju Kebenaran.
Sumber : PINTU-PINTU MENUJU TUHAN karya Nurcholish Madjid

Kebebasan Nurani

Karena ada yang japri nanya maka  biar ga bingung argumen kebebasan nurani ini akan saya detilkan :
Argumen ini saya ambil dari buku PESAN PESAN TAKWA karya Nurcholish Madjid.
Argumen ini akan saya sederhanakan agar mudah dipahami dengan struktur logika sbb:
  1. Sunnatullah bahwa manusia itu plural,memiliki potensi dan peran beraneka ragam sesuai karunia Allah sebagai hak preogatifnya
Hal ini didukung dengan ayat-ayat sbb :
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri)yang ia menghadap kepadanya.Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q 2:148)
“Dan setiap kelompok itu telah kami ciptakan untuk mereka itu jalan menuju kebenaran dan metoda” (Q 5:48)
“Setiap orang itu dibuat mudah untuk melakukan sesuatu yang diciptakan untuk dia” (HR Bukhari)
Ayat-ayat di atas mengindikasikan ttg adanya pluralitas dalam kehidupan manusia baik itu pluralitas berdasarkan agama,suku bangsa,potensi diri.Dan masih ada ayat yang lain yang berisi semacam itu.
  1. Jalan menuju Tuhan itu BANYAK sesuai dengan peran manusia di dunia
Bukti ayatnya ada di AQ di :
Pada ayat 48 Surat AL Maidah di atas kata al-khayrat dalam kalimat fastabiq-u `l-khayrat berbentuk jamak,ini menunjukkan kebaikan tidak hanya satu,begitu pula jalan menuju Tuhan tidak hanya satu tapi BANYAK karena itu disebut subul-un seperti pada ayat berikut :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami,benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Q 29:69)
Dan juga pada ayat ini :
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaanNya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orag-orang itudari gelap gulita kepada cahaya terang benderan dengan seizinNya dan menunjuki mereka jalan yang lurus (Q 5:16)
Kata yang digunakan Allah di atas adalah subul-u `l-salam bukan subil-u `l-salam,bukan dengan bentuk tunggal tapi bentuk jamak.
Dengan kenyataan di atas oleh karena itu kita harus menghormati kebebasan nurani setiap orang untuk memilih segala sesuatu berdasarkan nuraninya mengenai pahamnya….karena apa?
Karena eh karena :
    1. Peranggungjawaban manusia di akhirat adalah pertanggungjawaban individu
Ini ditunjukkan di AQ dengan bunyi :
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu,dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan diantara kamu.Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah)” (Q 6:94)
    1. Perintah Allah utk mengajak orang ke Jalan Allah dg tanpa paksaan
Argumentasi ayatnya ada di :
“Maka berilah peringatan,karena sesugguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Q 88:21-22)
Suatu ketika Rasulullah saw pernah tergoda untuk menggunakan kekuasaannya yang sudah di tangannya untuk lebih keras memaksa orang mengikuti beliau yang kemudian diikuti dengan turunnya firman Allah :
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya.Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”(Q 10:99)
Dengan sendirinya manusia harus menanggung resiko masing-masing,itulah kenapa ada ayat yang sangat terkenal :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah,maka sesungguhnya ia berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q 2:256)
Dengan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dipercaya Tuhan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Satu hal lagi yang menarik dari ayat di atas adalah penyebutan taghut (tirani) yang dilawankan dengan iman kepada Allah.Jadi bisa aja disimpulkan sikap tirani adalah sama dengan bagian dari kekafiran kan.
Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

March 10, 2007 at 6:37 pm (Pemikiran Cak Nur)
Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

Nurcholish Madjid
A. Mukadimah

Untuk kesekian kalinya kita akan coba bahas hubungan agama dan politik dalam Islam. Ibaratkan menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.

Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.

Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari’ah (pemilik syari’ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan “duniawi” mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).

Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah –sesuai dengan perintah Allah– yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.8
B. Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.

Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa’ dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.

Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah

Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab “madinah” berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu “d-y-n” (dal-ya’-nun), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.9 Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya,10 bahkan alam raya itu sendiri juga,11 yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.12 Karena kepatuhan serupa itu merupakan “hukum alam” (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.13

Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “din” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti. “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan. (“Agama” dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).

Kembali ke perkataan “madinah” yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga “polisi”). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti “kebudayaan”, dan hadlarah menjadi berarti “peradaban”, sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan “hidup berpindah-pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah, alis “primitif”). Karena itu “orang kota” disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan “orang kampung” disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum “badui” Juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-’Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.14 Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.15
C. Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban

Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.

Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.

Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab’i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu,16 sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama.17 Itu sebabnya dalam al-Qur’an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.18 Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur’an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.19

Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli,20 masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.

Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil “tanpa pandang bulu” banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat.21 Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu “orang penting” maka dibiarkan berlalu.22

Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri).23 Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.24 Bahkan konsep tentang “hapus-menghapuskan” ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.
D. Islam dan Politik Modern

Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.

Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara “modernisme” dan “modernitas”. Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai “kebijakan final” umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi “modernisme”, sebagai “isme”, mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.

Sedangkan “modernitas” adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar. Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa (!) dan pengisi museum antropologi mereka (Republika, 19 Maret 1998), pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa (“modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa “modern” tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.

Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri.25 Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi.

Wa ‘l-Lah-u a’lam.
Catatan kaki:

8 Misalnya, sebagaimana ditulis oleh Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

9 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:29.

10 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:83.

11 Lihat Q., s. Fushshilat/41:11.

12 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:84.

13 Lihat Q., s. Alu’ Imran/3:85.

14 Lihat Q., s. al-Tawbah/9:97.

15 Lihat Q., s. al-Hujurat/49:14.

16 Lihat Q., s. al-Baqarah/2:177.

17 Lihat Q., s. al-Nahl/16:91.

18 Lihat Q., s. al-’Alaq/96:6-7.

19 Prototipe tokoh tiran (thaghut) yang memusuhi Tuhan ialah Fir’awn, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur’an.

20 Lihat Q., s. al-Nisa’/4:85.

21 Lihat Q., s. al-Nis’a'/4:135.

22 Hadits yang artinya: “Sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia -Allah- jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya”. (Hadits Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa’i, Ahmad, dan Darimi).

23 Prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda-beda (non-Muslim) itu dibeberkan dalam deretan ayat-ayat suci Q., s. al-Ma’idah/5:42-49.

24 Penegasan yang amat menarik dari Ibn Taymiyah itu dapat dibaca dalam beberapa tulisannya, antara lain, dapat dilihat dalam Ibn Taymiyah, al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Beirut: Mathabi’ al-Majd al-Tijariyah, tth.), juz 1, h. 37l-375). Lihat juga Ibn Taymiyah, al-Furqan bayn-a ‘l-Haqq wa ‘l-Bathil (Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1405 H/1985 M), h. 67-69.

25 “… Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam … Thus in Islam, and only in Islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols.” (Ernest Gellner, Muslim Society, [Cambridge: Cambridge University Press, 1981], h. 4).

Islam Sebagai Agama Hibrida

Islam Sebagai Agama Hibrida
Oleh Nurcholish Madjid
11/12/2001
Yang murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu, dalam bukunya Al-Mu’arrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain. Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin “strada”. Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya Arab murni.
Saya baru saja datang dari Los Angeles dan Berkeley untuk ikut serta dalam kegiatan yang menyangkut Indonesia di kedua Universitas, UC Berkeley dan UCLA. Ada perasaan campur-aduk dari sudut pandang orang luar terhadap keberagamaan bangsa Indonesia. Di satu pihak ada harapan-harapan, di lain pihak ada kecemasan-kecemasan. Sekarang persoalannya adalah mewujudkan dan memperbesar harapan itu dan mengurangi kecemasan, dan kalau bisa menghilangkannya sama sekali.
Misalnya tentang masalah Islam. Indonesia kini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang oleh orang-orang Barat didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Mereka sangat khawatir dengan gejala ini. Tapi ketika kita ingatkan bahwa semua itu terjadi dalam kancah civil liberties, kecemasan mereka berkurang. Semua gejala yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari kebebasan pembahasan atau wacana bebas. Dengan adanya wacana bebas ini, bukan hanya kejelasan-kejelasan yang diperoleh, tapi juga akan terjadi proses-proses penisbian, relatifisasi, bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi.
Misalnya jihad. Jihad sekarang merupakan suatu kata-kata yang menjadi bagian dari wacana umum. Di dalam diskusi-diskusi tentang jihad, kesuburan untuk membuat argumen dipunyai oleh mereka yang baca. Bagi yang tidak membaca, sekalipun sangat rajin menggunakan jihad sebagai suatu retorika, akhirnya kehilangan landasan dan keseimbangan. Akibatnya, perkataan jihad yang semula sedemikian menakutkan tetapi kemudian mengalami kejelasan. Dan dengan adanya kejelasan itu, maka terjadi devaluasi terhadap makna jihad sebagai retorika politik, dan karenanya kemudian menjadi isu harian semata.
Demikian juga fenomena keagamaan, terutama Islam, yang pada tahun 1980-an sering disambut dengan suatu antusiasme, bahkan sedikit banyak itu semacam teriakan tepuk tangan, yaitu apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. Tetapi ketika itu menjadi maslah harian, maka terjadi semacam relativisasi.
Dunia Islam sekarang ini, seperti ditulis oleh para ahli, mengalami apa yang disebut predicament, semacam krisis atau kegoyahan. Salah satu indikasinya antara lain adalah fungsi dari perasaan konfrontatif dengan Barat. Saya sebut “perasaan,” karena konfrontasi sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah persepsi sebagai akibat dari pengalaman sejarah seperti misalnya yang secara retorika sering diulang: perang salib, penjajahan, dan lain-lain. Maka hal itu mengendap di dalam kesadaran umat Islam, atau bawah sadar umat Islam, sehingga memunculkan gejala yang sepertinya anti-Barat.
Hal itu sebetulnya merupakan suatu anomali, karena Alquran sendiri mengindikasikan, ketika dunia terbagi menjadi Roma (Barat) dan Persia (Timur), orang Islam memihak Roma, bukan memihak Persia. Begitu juga, ada surah al-Rum yang memberikan kabar gembira kepada pengikut Nabi Muhammad bahwa kekalahan Roma oleh Persia, yang sempat membuat orang-orang Mekkah, musuh Nabi, bergembira, akan disusul dengan kemenangan, dan itu terbukti. Sekalipun secara geografis Arabia langsung berhubungan dengan Persia, bahkan di beberapa daerah di Jazirah Arab sempat mengalami Persianisasi, namun batin orang Islam atau pengikut Nabi sesungguhnya lebih dekat dengan orang-orang Roma, karena ada kaitannya dengan agama Nasrani.
Potensi pertentangan itu disadari oleh sarjana semacam Simon van Den Berg, penerjemah kitab polemisnya Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, yang sangat terkenal dan banyak mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Di sini ada hal yang patut direnungkan. Dalam pengantarnya, Simon van Den Berg mengatakan bahwa polemik ini adalah salah satu contoh yang orang Barat sendiri tidak menyadari mengenai Islam. Dia bilang: “Kalau benar kita boleh mengatakan bahwa budaya Barat pada hakekatnya adalah Maria Sopra Minerva –agama Kristen disesuaikan dengan pola budaya setempat– maka masjid (Islam) pun didirikan di atas puing-puing kuil Yunani. Sehingga apa yang disebut dengan ilmu kalam, theologia, adalah adaptasi –paling tidak dari segi metodologi—dari cara berpikir para filsuf Yunani, terutama Aristoteles.
Karena itu, kalau orang-orang yang disebut ahlussunnah waljamaah mengklaim sebagai pengikut al-Asy’ari, di dalam definisinya mengenai Tuhan melalui perumusan sifat 20, maka sifat 20 itu sesungguhnya sangat Aristotelian. Di sana kita lihat ada perkataan “wajib,” “boleh,” dan “mustahil.” Sehingga kalau Tuhan itu disebut abadi (qadim), maka rumusannya menjadi: secara akal Tuhan itu harus qadim, harus alpha, artinya tidak ada permulaannya, dan mustahil Tuhan itu jadid, mustahil Tuhan itu baru, dalam arti didahului oleh ketiadaan. Jadi perkataan “wajib” dan “mustahil” itu sudah menunjukkan logika Aristoteles. Dan itu sekarang menjadi bagian yang sangat sentral dalam wacana kalam di kalangan ahlussunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, sifat 20 itu bid’ah. Benar bahwa Tuhan itu qadim, tapi, kata Ibn Taimiyah, “so what?” Secara rasional itu benar, tapi apa fungsinya? Dalam sifat 20 itu, tidak dimasukkan sifat ghafur (maha pengampun) dan sifat wadud (kasih sayang). Alasannya karena tidak mungkin dirumuskan dengan logika Aristoteles: bahwa “Tuhan itu secara akal wajib pengampun” tak bisa, tidak logis. Itu hanya kita terima karena Tuhan mengatakan begitu tentang dirinya. Tapi bahwa Tuhan itu ada dari semua, tanpa permulaan, itu secara akal bisa dimengerti.
Budaya Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Lihat saja masjid, yang paling sederhana. Di Pondok Indah ada masjid yang orang sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Tidak ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa? Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak ada menaranya. Sebab menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi.
“Manarah” artinya tempat api, karena orang Majusi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai Zat yang tak bisa digambarkan. Maka akhirnya mereka simbolkan dengan api. Api adalah suatu substansi yang tidak bisa dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap menyembah api. Untuk memperkuat kesucian api, maka api itu ditempatkan di bangunan yang tinggi, namanya manarah, tempat api, yang kemudian menjadi “menara”. Dalam uraian tentang maulid di kampung-kampung, biasanya dikatakan: ketika jabang bayi Muhammad lahir, menara-menara orang Majusi itu runtuh.
Jadi, pada waktu umat Islam berkembang begitu rupa, suara azan harus mencapai radius yang seluas-luasnya, maka mereka terpikir untuk meminjam arsitektur Majusi ini, yaitu azan dari tempat tinggi. Di zaman Nabi, azan dilakukan cuma di atas atap. Bilal, muazin Nabi, hanya naik ke atas atap yang pendek. Tapi pada masa perkembangan Islam, menara menjadi bagian dari budaya Islam. Tapi itu tak ada salahnya, karena memang budaya tak mungkin eksklusif monolitik.
Yang murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu, dalam bukunya Al-Mu’arrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain. Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin “strada”. Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya Arab murni.
Di dalam Alquran juga ada Bahasa Melayu: kafur. Dalam suatu lukisan “nanti kita di surga akan diberi minuman yang campurannya kapur” (wayusqauna biha ka’san kana mizajuha kafura). Yang dimaksud di situ adalah kapur dari barus, yang saat itu sudah merupakan komoditi yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman.
Waktu itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic. Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari Barus. Maka “kapur” kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur. Dan banyak lagi yang seperti itu.
Jadi sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.
* Tulisan ini merupakan bagian dari orasi ilmiah Prof Dr. Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki dalam rangka peresmian Islamic Culture Center (ICC) pertengahan Ramadhan silam.
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=109

Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak

Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak
30/03/2003
Invasi Amerika Serikat ke Irak pekan lalu telah menghilangkan aset Amerika yang paling berharga, yakni demokrasi dan HAM. Amerika telah kehilangan legitimasi sebagai kampiun demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi yang telah dirintis founding fathers Amerika seperti Thomas Jefferson menguap di tangan pemimpin Amerika saat ini yang “idiot”.
Kamis lalu (27/3), Ulil Abshar Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau akrab dipanggil Cak Nur, yang ikut serta dalam rombongan bersama dengan tokoh-tokoh agama Indonesia berkeliling Eropa dan Australia, diantaranya menemui Paus Yohanes Paulus II, untuk menentang Perang yang dikomandani Amerika Serikat. Berikut petikannya:
Cak Nur, bagaimana komentar Cak Nur terhadap invasi Amerika dan Inggris terhadap Irak?
Sekalipun invasi ini sudah bisa diduga sebelumnya, bahwa Amerika akan tetap memilih tindakan unilateral dengan mengabaikan PBB, toh agresi ini tetap mengejutkan. Meski opini dunia sedemikian kuat menentang serangan terhadap Irak, ternyata Presiden Goerge W. Bush tetap melanjutkan agendanya. Memang mengejutkan, dalam arti yang sangat buruk.
Kita tahu, agresi Amerika ini tidak hanya membuat berang banyak negara muslim, tapi juga menyinggung beberapa negara Eropa. Apakah ini menjadi indikasi terbelahnya dunia?
Ada kecenderungan ke sana, sekalipun tidak terlalu terang. Sebab kita tahu bahwa pendukung Amerika, selain orang-orang yang disebut Anglo-Saxon atau bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris seperti Amerika sendiri, kerajaan Inggris dan Australia, (invasi itu) juga melibatkan Spanyol dan Portugal yang sama sekali tidak termasuk Anglo-Saxon.
Tapi adalah kenyataan bahwa pandangan yang sangat keras justru datang dari negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina. Tesis “setelah Uni soviet runtuh akan terwujud semacam dikotomi antara Barat dan lain-lainnya”, sekarang bergeser menjadi “Barat —yang hanya diwakili Amerika— melawan banyak negara. Mungkin, pertentangan atau perlawanan itu dalam bentuk yang lebih lunak, yaitu nurani dan pikiran sehat atau common sense. Tapi dalam konteks ini, Amerika betul-betul sudah menghadapi seluruh dunia; Amerika melawan semua, bahkan melawan rakyatnya sendiri.
Dulu Amerika dipuja-puja Alexis de Tocqueville sebagai sumber inspirasi bagi demokrasi. Nyatanya, Bush tak mau mendengar aspirasi rakyatnya sendiri. Tanggapan Cak Nur?
Kalau Anda menyebut Alexis de Tocqueville, justru dia sendiri yang mengatakan bahwa dari sisi lain yang terjadi di Amerika bukan demokrasi, tapi diktator mayoritas. Sebab pemenang (dalam pemilu) mengambil posisi mayoritas atau the winner takes all. Jadi karena sekarang Partai Republik yang berkuasa, maka semuanya hanya tergantung pada Republik, sekalipun selisih perolehan suara antara Partai Republik dengan Partai Demokrat betul-betul menjadi sumber problem.
Kita ingat, dari sisi popular vote, Bush kalah jauh dibanding Al Gore. Dia itu (Bush) ‘kan hanya menang dari sisi electoral vote. Itu pun hanya dengan cara memanipulasi wilayah Florida yang gubernurnya adalah adik Bush sendiri. Jadi kemenangan Bush pada pemilu tahun 2000 ada unsur KKN.
Bush adalah presiden yang penuh masalah. Di Amerika sendiri, orang-orang sudah biasa mengatakan bahwa Bush adalah orang yang –-kasarnya— idiot. Atau, dalam bahasa Nelson Mandela, “Bush adalah orang yang tidak bisa berpikir teratur”. Bush juga ada unsur mindernya.
Daniel S. Lev pada wawancara dengan kami minggu lalu mengatakan bahwa Bush bukan orang yang berpikir canggih?
Ya, itu bahasa yang lebih halus. Tapi kalangan akademisi, di lingkungan universitas di Amerika, justru tidak begitu kasihan pada Bush. Mereka tak sungkan-sungkan mengatakan Bush itu idiot. Tingkah laku Bush mencerminkan pola tindakan yang overkompensasi dan overconfident (percaya diri yang berlebihan). Dia seolah-olah mau meyakinkan dirinya sendiri dan orang lain, bahwa dia adalah orang yang hebat, tidak punya masalah dalam pemilu yang lalu. Dengan begitu, dia punya target ke depan, yakni pemilu tahun 2004 akan terpilih lagi menjadi presiden secara valid. Nampaknya begitu kalau dilihat dari pribadi Bush. Dalam kasus Bush ini, sebuah negara adikuasa, sangat konyol sekali kalau di belakangnya dikuasai oleh orang idiot.
Bukankan itu sebentuk paradoks demokrasi seperti yang diramalkan Socrates; bahwa demokrasi bisa mendudukkan orang bodoh sebagai pemimpin? Bukankah ini pula yang dikritik Al-Maududi atas demokrasi?
Memang betul. Dan (kasus seperti ini) tidak hanya sekali ini saja. Hanya saja, yang perlu dipertanyakan juga, apakah alternatifnya tidak melahirkan hal seperti itu juga seperti kasus Raja Nero, sang penguasa Roma itu. Dia orang yang berpenyakit epilepsi, tapi hanya karena keturunan raja, dia punya legitimasi geneologis untuk menjadi raja. Jadi dari segi itu pun tak ada yang selamat.
Perlu diingat, Amerika tidak hanya sekali ini saja mempunyai presiden yang lembek. Dulu misalnya, Amerika punya presiden yang buta huruf: Lyndon B. Johnson. Tapi begitulah. Ada pikiran yang konyol sekali kalau kita kembali ke Indonesia. Pemikiran yang berkembang sekarang mengatakan kalau presiden harus seorang akademikus atau minimal S1. Mana ada (prasyarat seperti itu) di dunia ini. Orang yang buta huruf sekalipun, kalau dipilih rakyat, akan bisa jadi presiden.
Kembali ke soal perang. Apa alasan terkuat Anda menolak perang ini?
Begini, ya. Memang ada gradasi, urutan-urutan (dalam hal ini); ada tinggi-rendah. Alasan yang paling tinggi adalah melawan kecenderungan unilateralisme dari sebuah negara, yaitu Amerika Serikat, yang kini menjadi satu-satunya negara adikuasa. Akibatnya, dunia sekarang menjadi unipolar, berkutub satu. Ini berbahaya sekali kalau kita lihat dari frase bahwa “kekuasaan akan cenderung untuk curang; dan kekuasaan yang mutlak akan cenderung curang secara mutlak pula”. Biasanya, frase ini dilihat pada level nasional. Tapi sebetulnya pada level global-internasional, frase power tends to corrupt juga terjadi.
Amerika kini sedang berkuasa dan kekuasaannya pasti curang. Maka dari itu, kalau pada level nasional dibutuhkan mekanisme check and balance, pengontrolan dan pengawasan, maka demikian juga halnya pada level internasional. Amerika tidak boleh dibiarkan tanpa oposisi.
Amerika selalu menganggap aksinya dilandasi tujuan yang mulia, yakni membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Hussein. Bagaimana Cak Nur melihat hal ini?
Kalau itikad baik seperti itu setiap orang kan selalu punya klaim serupa. Karena itu, sering saya kemukakan, bahwa masalah-masalah bersama, seperti persoalan masyarakat, negara dan lain-lain tidak bisa dipertaruhkan pada itikad baik pribadi saja. Itikad baik saja tidak cukup. Itu harus disertai dengan mekanisme pengawasan. Dengan ngaji sedikit, dalam surat Al-‘Ashr ‘kan dikatakan kalau iman dan amal saleh saja tidak cukup. Harus ada tawâshu bil-haq (saling menegur dengan metode yang legal, Red); harus ada check and balance. Sebab perasaan berbuat baik itu natural sekali. Setiap orang merasa berbuat baik. Tapi, itu ‘kan harus dibuktikan melalui konteks yang spesial; melalui mekanisme check and balance itu.
Cak Nur, dunia kita kini terlanjur sudah unipolar, tidak ada check and balance lagi. Nah, bagaimana menghadapi dunia seperti ini?
Pertama, karena check and balance ini adalah hukum alam dalam kehidupan sosial manusia, ini berarti (kondisi check and balance itu) pasti akan muncul suatu saat. Yang kedua, kesan unipolar tersebut hanya diukur dari kekuatan lahiriah; kekuatan militer, ekonomi dan lain-lain. Dari sudut itu, Amerika memang paling dominan. Tapi kalau dilihat dari segi yang lebih lunak, yang sebetulnya lebih universal, yaitu hati nurani, Amerika sebetulnya sudah di-check; sudah terkena check seluruh dunia yang diwakili oleh berbagai elemen, sampai kalangan gereja sekalipun. Pendulum pasti segera bergerak ke arah keseimbangan.
Yang memperingatkan Bush itu ‘kan Sri Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Gereja Protestan juga terlibat dalam hal ini. Malahan di Amerika, NCC (National Council of Churches) atau Dewan Gereja Amerika juga menentang perang ini. Bahkan Sri Paus akan ke Irak menjelang serangan ke Baghdad kemarin. Tapi karena pertimbangan resikonya, apalagi kesehatan pribadi Sri Paus juga sangat mundur, rencana itu tidak terlaksana.
Beberapa waktu lalu Anda berkunjung ke Roma bersama tokoh-tokoh lintas agama. Apa yang dikatakan Sri Paus ketika itu?
Ya. Dia telah siap dengan statemen yang sudah diketik, sudah dicetak. Artinya dia sudah punya pendirian yang mantap, dan pendiriannya itu sama dan sejalan dengan kita (menolak invasi militer ke Irak). Ini bukan karena dia menyesuaikan diri dengan kita, ataupun kita menyesuaikan diri dengan Sri Paus, tapi memang hampir-hampir secara apriori kita satu sikap. Itu juga yang membuat kita senang sekali bertemu dengan Sri Paus.
Foto rombongan Indonesia saat di Vatikan disebarluaskan di sini, Cak Nur.
Ya. Saya sangat senang sekali. Kabarnya, foto tersebut disebarluaskan ke seluruh negara karena Gereja Vatikan punya percetakan yang kemudian foto yang menampilkan Ketua Umum NU, PP Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama lain itu disebarkan.
Bagaimana Anda melihat respons dunia Islam atas perang ini, terutama Indonesia? Apakah Anda khawatir perang ini dilihat sebagai perang agama?
Ya. Memang mengkhawatirkan. Padahal, ini ‘kan betul-betul perang atas pertimbangan duniawi. Akan tetapi, dampak ilahiahnya bisa lebih prinsipil. Artinya, kalau sebuah negara adikuasa melakukan tindakan unilateral, hasilnya adalah ketidakadilan. Kalau yang muncul sudah soal ketidakadilan, ini ‘kan sudah bukan semata persoalan duniawi.
Kemudian kalau penolakan atas perang itu pada level turun sedikit ke bawah, maka alangkah rusaknya jika sebuah negara adikuasa begitu saja mengklaim mendapat lisensi dan legitimasi untuk melakukan agresi ataupun intervensi ke negara lain yang lebih lemah. Tatanan dunia akan hancur. Dan justru, Amerikalah yang disinyalir Alexis de Tocqueville, tokoh yang Anda sebutkan tadi, yang menjadi penghancur itu. Sebetulnya, demokrasi itu semacam garansi untuk terwujudnya kebebasan dan ketertiban. Nah, dengan tindakan Amerika ini, balance atau keseimbangan itu tidak ada; yang ada hanyalah pemaksaan dan penaklukan.
Banyak orang mengatakan kalau demokrasi hanya relevan untuk politik dalam negeri sebagai perimbangan kekuasaan.Tapi tidak pas dalam konteks regulasi Bagaimana Anda melihat ini?
Itu memang betul. Tapi perimbangan kekuasaan itu sendiri ‘kan suatu wujud atau ide lain dari demokrasi. Makanya, salah satu jargon yang sangat relevan untuk demokrasi adalah adanya kekuatan check and balance itu sendiri. Salah satu wujudnya adalah pers bebas, berpikir bebas, kebebasan sipil atau civil liberties. Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, ‘kan termasuk di situ.
Nah, pada level dunia, seharusnya seperti itu. Itu diwujudkan dengan adanya balance of power politic, politik perimbangan kekuatan. Memang sayang sekali, orang tergesa-gesa menganggap teori ini, –yang sebetulnya sudah cukup lama ini, sejak tahun 1950-an— sebagai off-solid. Tapi dengan bukti bahwa Amerika yang sekarang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal, maka prinsip check and balance itu menjadi penting. Maka dari itu, ketika orang tidak bisa melawan Amerika dengan senjata, –sejalan hierarki bentuk perjuangan menangkal kemungkaran; kalau tak mampu dengan senjata, maka dengan tangan. Yang bisa kita lakukan adalah sekarang kita berdemo semua.
Negara-negara seperti Prancis, Jerman, Rusia dan Cina, sebetulnya merupakan contoh terbaik akan kemungkinan oposisi. Dan oposisi lunak seperti di hati nurani para demonstran yang kita saksikan kini, juga bisa ditingkatkan menjadi oposisi yang lebih hard, keras. Keras bukan dalam artian violence atau kekerasan, tapi dalam pengertian ada perangkat keras dan lunak itu. Artinya bagaimana agar punya pengaruh yang lebih besar.
Nyatanya demonstrasi di seluruh belahan dunia tidak dihiraukan Bush?
Memang sekeras-kerasnya oposisi atas Amerika, meski diwakili negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina, tetap saja –dari segi ekonomi– sangat jauh keseimbangannya. Sebab, ekonomi dunia ini, ‘kan 40 persen masih di tangan Amerika. Anggaran belanja pertahanan atau militer Amerika, masih lebih besar dari anggaran militer seluruh negara di dunia. Jadi ini memang tidak seimbang. Oleh sebab itu, sebetulnya yang menjadi taruhan adalah oposisi hati nurani itu (dalam bentuk demonstrasi).
Kalau begitu, memang ini persoalan dunia yang jomplang, Cak Nur?
Ya, jomplang. Tapi tunggu saja, –karena saya percaya dengan sunnatullah– akan muncul nantinya pendulum balik. Pasti, pasti akan ada pendulum balik, dan itu sudah hukum Tuhan untuk semua umat manusia. Misalnya, dengan sedikit ngaji, ketika Daud berhasil merebut Yerusalem dengan membunuh Jalut (David versus Goliat), dalam Alquran dipaparkan -–pada akhir ayatnya– tentang hukum umum mengenai sejarah umat manusia. Hukum umum itu yaitu: “Kalau seandainya Tuhan tidak menolak manusia dengan manusia lain, maka hancurlah dunia. Tapi Tuhan mempunyai belas kasihan yang besar sekali pada seluruh alam.” Jadi, salah satu perlindungan Tuhan, kasih Tuhan pada umat manusia adalah adanya mekanisme checking and balancing, adanya perimbangan kekuasaan.
Mengapa kita sekarang tidak mengalami kiamat nuklir, padahal nuklir begitu dahsyatnya, dan pada tingkat yang primitif saja mampu menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima. Karena, begitu Amerika sudah membuat bom nuklir, ada saja yang membocorkan ke Rusia, kemudian terjadi eskalasi atau perlombaan, sehingga –ketika sampai pada suatu titik– masing-masing pihak tidak berani menggunakannya lebih awal. Itu ‘kan check and balance. Jadi dengan begitu dunia jadi selamat.
Nah, itulah yang harus kita bayangkan tentang dunia yang akan datang. Setelah Amerika dibiarkan tanpa kontrol seperti sekarang ini, dia akan menjadi Durno yang adigang-adigung-adiguno.
Cak Nur, kemarin meruak isu sweeping atas warga asing. Isu ini seolah memanipulasi isu Irak untuk tindakan xenophobia. Bagaimana menyikapi hal ini?
Itu jelas suatu tindakan yang tidak benar. Mereka (orang asing) ‘kan orang yang tidak bersalah, mengapa harus menjadi korban? Itu jelas-jelas tidak benar. Kita kembali lagilah kepada akhlak perang yang diajarkan Nabi Saw kita, termasuk para sahabat. Kalau mereka mengirim ekspedisi, selalu saja ada pesan: jangan membunuh wanita, anak-anak; jangan mengganggu orang tua; jangan merusak bangunan; jangan memotong pohon; jangan memotong binatang kecuali kalau di makan. Prinsip akhlak perang itu tetap harus berlaku. Nah, kalau kita sekarang melakukan aksi sweeping, di mana letak etikanya?
Dalam bahasa kita sekarang: “Jangan menyerang kalangan nonkombatan?”
Ya. Juga termasuk di situ larangan tindak pengrusakan, entah mobil atau bangunan. Itu justru yang paling dilarang dalam Islam. Itu haram! Merusak harta benda itu haram, harta-benda siapapun juga. Karena itu, ketika Nabi masuk Mekkah, dia tampil sebagai manusia agung. Musuh-musuhnya yang dulunya begitu bengis, dia maafkan begitu saja. Mereka dibebaskan. “Antum thulaqâ’ (kalian bebas), “kata Nabi. Yang mendapat amnesti itu termasuk Abu Sufyan yang pernah menjadi musuh bebuyutan Nabi.
Dalam sejarah selanjutnya, ketika para sahabat melakuakan ekspansi ke mana-mana, aksi ekspansi itu selalu disebut pembebasan, al-fath; bukan penaklukan, al-qahr. Kita mengenal istilah fath fâris, fathus syâm, fath misr. Dan memang, sejarah membuktikan kalau di mana-mana mereka membebaskan. Itulah kekuatan Islam. Jadi, kekuatan Islam itu melalui percontohan.
Kita tahu rezim Saddam bukan rezim yang baik, sebagaimana perang atas Irak juga bukan perang yang baik. Bagaimana melihat perang atas Irak ini secara proporsional?
Tadi dari semula saya menyebut adanya hierarki atas-bawah dalam hal ini. Hierarki yang paling tinggi, perang yang dalam hal ini diwakili Amerika, adalah tindakan unilateralisme pada tingkat global oleh sebuah negara adikuasa, yang kini sedang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal. Hierarki yang kedua, ini adalah invasi sebuah negara besar dan kuat, terhadap negara kecil yang merupakan negara berdaulat (sovereign nation state). Yang ketiga, betul bahwa Saddam Husein adalah seorang diktator dalam makna yang paling buruk. Barangkali, di muka bumi ini tak ada diktator yang lebih buruk dari Saddam. Tapi masalahnya, apakah negara lain dibenarkan ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara untuk membebaskan rakyatnya dari kediktatoran, dengan cara-cara yang jauh lebih merusak nilai-nilai kemanusiaan?
Memang terkadang tujuan menghalalkan cara, tapi lantas apa yang menghalalkan tujuan? Ya cara itu sendiri ‘kan? Jadi kalau caranya salah, tujuannya juga ikut hancur. Taruhlah Bush punya tujuan baik seperti yang dia klaim, tapi dengan cara seperti itu, justru jadi hancur semua. Dengan begitu, dia mengalami invalidated, ketidakabsahan.
Klaim Bush kini, seolah mengingatkan kita akan Thariq bin Ziyad ketika memasuki Spanyol. Ketika itu, pasukan Islam juga punya klaim to free the people. Tanggapan Anda?
Betul, memang. Tapi ‘kan sangat damai dan disambut oleh orang-orang Spanyol sendiri. Makanya, dengan tentara yang jumlahnya kecil sekali, di mana-mana mereka menang. Itu tak lain karena di mana-mana mereka disambut baik.
Beberapa polling di koran-koran Arab tak percaya seratus persen kalau invasi Amerika ke Irak ini untuk membebaskan rakyat Irak. Tanggapan Anda?
Tidak, memang tidak untuk membebaskan kok. Jadi, cara Bush memang sudah menghancurkan tujuannya. Karena, sekarang yang muncul adalah potret Saddamisme yang jauh lebih berbahaya, yaitu Bush, the man of Bush, dan the Bush man itu sendiri.
Amerika berdalih sulit melakukan perubahan atas rezim tiranik di Irak?
Ya. Sebetulnya apa yang terjadi pada Bung Karno dan Pak Harto itu ‘kan, sebetulnya masalah menunggu waktu saja. Akan ada pembusukan dari dalam. Apa yang terjadi pada Shah Iran? Coba bayangkan, sekarang ini kenyatannya terbalik sama sekali. Dulu, Shah Iran dipertahankan oleh Amerika. Ketika rakyat menginginkan regime change, Amerika menolak. Waktu itu Amerika tidak berbuat apa-apa; jantung hatinya itu akhirnya hancur juga. Jadi masalah waktu saja. Saddam Husein ini juga menunggu waktu saja.
Washington sering mengklaim, kalau invasi atas Irak merupakan entry-point untuk melakukan reformasi yang lebih luas di kawasan Timur Tengah. Bagaimana pandangan Cak Nur?
Ah, itu omong kosong! Kalau soal itikad yang dikatakan secara verbal, sebetulnya yang jauh lebih bermakna adalah Perjanjian Camp David antara Jimmy Carter dengan Israel dan Palestina. Itu perjanjian yang bagus sekali. Kalau itu saja dilaksanakan, beres semua. Tapi ‘kan setiap langkah Palestina melaksanakan isinya, Israel menghalangi. Terus saja seperti itu. Jadi, Israel itu sebetulnya diam-diam tidak mau problem dengan Palestina selesai. Sebab target mereka, apalagi kalau bukan go to Yesra’El yang meliputi Syria, Yordania, bahkan sampai ke Madinah. Begitu pandangan kalangan Yahudi fundamentalis.
Artinya, mereka hendak kembali ke geografi ala Alkitab?
Ya. Israel ini adalah sebuah negara yang berdasarkan atas agama. Ironisnya, dia justeru ditopang oleh negara-negara yang –katanya– menolak agama. Kan gendheng itu?!
Beberapa negara Timur Tengah mendukung aksi Amerika ini. Bagaimana dengan soal ini?
Itu tadi. Pada level atau hierarki yang agak rendah. Jadi kalau kita bikin urutan pertama-kedua-ketiga, mungkin ini ada pada level keempat. Yaitu karena alasan takut pada Saddam Husein. Jadi itu saja. Sebab Saddam ini diktator yang paling buruk di muka bumi ini. Bayangkan saja, dulu ketika Iran dalam keadaan lemah, Saddam menusuk dari belakang. Kemudian Kuwait juga diinvasi pada tahun 1990.
Beberapa versi menyebut tindakan Irak itu juga karena provokasi Amerika?
Ya, memang ada tafsiran seperti itu, boleh sajalah. Tapi ‘kan tetap menjadi pertanyaan: kenapa bisa diprovokasi kalau tidak ada bibit (penaklukan) dalam diri Saddam sendiri? Kalau dia punya kesadaran yang tinggi bahwa Iran harus didukung karena sama-sama punya target untuk menghancurkan musuh bersama, entah apa saja, entah Israel atau apapun, sebetulnya dia ‘kan bisa mendahulukan pertimbangan itu? Ini malah bermusuhan dan mencamplok negara Arab lainnya. Begitu kan?!
Apa yang ingin Cak Nur katakan untuk menutup perbincangan kita?
Dunia ini memang penuh ketidakadilan. Keadilan itu adalah hukum Tuhan bagi tegaknya keamanan, baik pada level nasional maupun dunia. Ibnu Taymiyyah terkenal dengan kutipannya atas Ali yang mengatakan: inna AlLâh yuqîmud daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz dzâlimah wain kânat muslimah. Jadi, Allah akan tetap mendukung negara yang adil sekalipun kafir, dan tidak mendukug negara yang zalim, sekalipun berislam. Juga, ad-dunyâ tadûm ma‘al ‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm. Dunia akan bertahan asal adil, meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan salam kezaliman meskipun disertai Islam. Ini adalah hukum yang betul-betul objektif []
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=14

Menimbang Nurcholish Madjid

Menimbang Nurcholish Madjid
Oleh Amich Alhumami
KAJIAN tentang tema Islam dan modernisme selalu saja menarik perhatian. Tema keislaman dan kemodernan merupakan sebuah wacana pemikiran, yang mampu membangkitkan gairah intelektual untuk mendiskusikannya. Tema ini menarik perhatian terutama berkaitan dengan pertanyaan penting: apakah Islam itu kompatibel dengan modernisasi. Biasanya para pemikir dan intelektual Muslim secara subyektif menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, bahwa Islam itu bukan saja kompatibel dengan kemodernan, melainkan juga memiliki hubungan organik dengan modernitas. Karena itu, umat Islam memiliki kelenturan yang luar biasa dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan modern. Islam merupakan agama yang paling siap menerima proses modernisasi.
Seorang ahli sosiologi agama, Robert N Bellah, misalnya, secara mengejutkan memberikan penilaian bahwa Islam salaf (Islam klasik) itu sangat modern untuk ukuran tempat dan waktu pada masa itu. Islam klasik ternyata memiliki ciri-ciri yang sama secara fundamental dengan apa yang ada dalam masyarakat modern di Barat. Dalam kata-kata Bellah, “when the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a word empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern.”
Demikianlah, Islam itu adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan ke arah kemajuan. Islam bukan agama konservatif dan tradisional, melainkan agama yang memberi tempat bagi modernitas. Di sini, ada persenyawaan yang harmonis antara Islam dan modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodernan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang dianut. Bahwa menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dalam menjalankan ajaran agama; seseorang bisa saja menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.
Islam sendiri mengajarkan untuk selalu bersikap terbuka dan bisa berlaku adaptif terhadap hal-hal yang baru (modern). Apalagi hal-hal yang baru tersebut mengandung nilai-nilai positif dan membuka jalan ke arah kemajuan dan kemodernan. Islam juga menganjurkan untuk mengambil pelajaran yang berharga dari mana pun datangnya. Landasan teologis yang selalu dijadikan rujukan untuk menegaskan betapa Islam itu sangat terbuka bagi kemajuan dan kemodernan adalah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “al-mukhafadhotu ‘alal qadim as-sholih wal akhdhu bil jadid al-ashlah – mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang (lebih) baik.”

***

MEMPERBINCANGKAN gerakan modernisme Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Nurcholish Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, karena dialah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentu saja Cak Nur tidak sendirian dalam menyuarakan pemikiran-pemikiran pembaruan. Ada banyak tokoh seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam di Indonesia seperti M Dawam Rahardjo, M Amien Rais, M Imaduddin Abdulrahim, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Adi Sasono, Jalaluddin Rakhmat, dan banyak lagi yang lain. Namun di antara banyak tokoh itu, Cak Nur mempunyai tempat yang khusus dan peranan yang sangat dominan. Tanpa bermaksud melebihkan dari yang lain, Cak Nur adalah sang pelopor dari sebuah kebangkitan apa yang disebut the new moslem intellectual thinker, yang muncul sejak dekade 1970-an. Bahkan dengan nada menyanjung dan penuh kekaguman, majalah Tempo menjulukinya sebagai “lokomotif” gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Tentu saja banyak argumen mengapa Cak Nur ditempatkan pada kedudukan yang sangat terhormat dan istimewa dalam setting gerakan modernisme Islam itu.
Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengaruh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam di Indonesia. Pikiran-pikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan komunitas Islam; dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur dalam sejarah intelektualisme Islam Indonesia adalah, ia telah berhasil mengembangkan wacana intelektual di kalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis. Wacana demikian amat relevan dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis baik dari segi agama, etnis, maupun budaya.
Bagi Cak Nur, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia itu seyogianya menjadi landasan sosial, untuk menampilkan Islam secara inklusif, terbuka, dan demokratis, serta mewadahi semua unsur masyarakat dalam satu bangunan tunggal: bangsa Indonesia. Meskipun umat Islam mayoritas di negara ini sebaiknya tidak bersikap eksklusif, karena hal itu bisa mengganggu hubungan sosial dalam semangat keutuhan sebagai bangsa. Wacana intelektual seperti itulah yang sekarang ini menjadi mainstream, dan lebih bisa diterima oleh banyak kalangan. Sejarah telah membuktikan, bahwa wacana pemikiran keislaman yang bercorak pluralis dipandang sangat sesuai dengan format masyarakat Indonesia di masa depan.
Wacana pluralisme Islam ini sangat penting, terutama dalam upaya membangun harmoni sosial di antara segenap komponen bangsa yang beragam latar belakang sosial, budaya, dan agama. Dalam perspektif teologi-politik, wacana pluralisme Islam itu tercermin dalam paradigma gerakan politik Islam yang tidak mengutamakan aspek formalisme dan legalisme. Paradigma yang dianut oleh para pendukung pluralisme adalah melakukan proses substantialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan kebangsaan. Karena itu, aspek-aspek keislaman yang bersifat simbolik menjadi kurang penting dan tidak signifikan. Formalisme dan legalisme seperti tercermin dalam pembentukan partai politik Islam atau negara Islam dinilai sangat tidak strategis. Terbukti bahwa ketika sebagian umat Islam cenderung lebih mengutamakan formalisme dan legalisme, yang terjadi justru proses alienasi dan isolasi politik dalam kurun waktu yang sangat lama.

***

DALAM perspektif demikian, Islam seyogianya tidak dijadikan sebagai ideologi-politik, sebab selain dikhawatirkan akan mereduksi nilai Islam, juga bisa mempersempit ruang gerak Islam dalam dinamika sosial-kemasyarakatan. Jika Islam tampil sebagai kekuatan ideologi-politik, maka itu bukan saja akan menjadikan umat Islam sebagai kelompok eksklusif dalam konfigurasi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga bisa menciptakan situasi yang rentan terhadap munculnya konflik sosial politik, yang dilandasi oleh sentimen primordial dan emosi keagamaan. Konflik tersebut jelas dikhawatirkan bisa membawa ke arah disintegrasi nasional.
Dengan segala kearifan dan jiwa kenegarawanan, terutama untuk menjaga keutuhan bangsa, generasi intelektual Islam modernis mencoba membangun sebuah paradigma baru, yang tidak menempatkan Islam politik sebagai agenda utama perjuangan. Bagi kelompok intelektual Muslim pembaru, yang menjadi agenda utama justru bagaimana Islam bisa menjadi landasan etik dan moral dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Islam harus ditampilkan secara inklusif dalam realitas kehidupan kebangsaan yang majemuk ini. Jargon yang sangat terkenal dari Cak Nur adalah “integrasi antara keislaman dan kebangsaan” dalam wadah Indonesia modern.
Cak Nur memang telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Dalam konteks ini, posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan melebih-lebihkan, Cak Nur bisa disebut sebagai sosok intelektual Muslim Modernis par exellence.
Kapasitas intelektual Nurcholish Madjid memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern (baca: Barat), sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Tentu saja kemampuan tersebut merupakan kombinasi sempurna, untuk bisa menyuarakan ide-ide pembaruan di kalangan umat Islam. Cak Nur mempunyai otoritas intelektual yang bisa dipertanggungjawabkan, untuk berbicara tentang masalah-masalah strategis baik yang berkaitan dengan tema keislaman maupun tema sosial-kemasyarakatan. Kombinasi dua kemampuan itulah yang melahirkan sinergi, sehingga bisa menopang gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

***

DEMIKIANLAH, Cak Nur telah berhasil meletakkan dasar-dasar pemikiran yang kukuh sebagai landasan bagi upaya mengembangkan kiprah umat Islam di tengah-tengah realitas kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, inklusivisme Islam menjadi sangat penting, untuk membangun persenyawaan harmonis dalam interaksi sosial dan memperkukuh integrasi bangsa. Dengan watak inklusif seperti itu, maka Islam akan tampil dengan wajah yang ramah dan rendah hati, serta dilandasi oleh semangat toleransi, sehingga tidak akan menimbulkan kekhawatiran, apalagi kecemasan dan ketakutan, dari kalangan mana pun di luar Islam.
Dengan ide-ide pluralisme itu, tidaklah mengherankan bila Cak Nur, selain Abdurrahman Wahid, relatif lebih bisa diterima oleh kalangan di luar Islam. Figur Cak Nur, seperti halnya figur Abdurrahman Wahid, adalah sedikit dari tokoh Islam yang mampu mengembangkan basis ketokohan dalam spektrum yang luas, bukan hanya di kalangan umat Islam sendiri, tetapi telah melebar ke kalangan non-Islam. Barangkali antara Cak Nur dan Abdurrahman Wahid memiliki tingkat akseptabilitas yang sebanding di lingkungan umat non-Islam. Nyata sekali kewibawaan Cak Nur itu bukan hanya sebatas di kalangan intern umat Islam saja, tetapi terasakan pula di kalangan umat agama lain. Ungkapan seorang rohaniwan Katolik berikut jelas menggambarkan hal tersebut: “Sikap dan pandangan keagamaan Cak Nur itu bersandar pada sendi-sendi kemanusiaan universal, yang melampaui kotak-kotak agama.” Dengan demikian, basis konstituen Cak Nur juga berkembang lebih meluas dan melebar, melintasi sekat-sekat primordial dan menembus batas-batas agama.
Mungkin figur seperti Cak Nur itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Figur yang menginsyafi sepenuhnya realitas kemajemukan masyarakat, yang tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaan dan politiknya yang sangat terbuka, toleran, dan demokratis. Bagi Cak Nur, di Bumi Indonesia setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, atau agama. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini bahkan melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam; Cak Nur tetaplah seorang Muslim yang taat yang siap membela umat Islam bila mendapat perlakuan yang tidak adil.
Dalam situasi krisis kepemimpinan bangsa seperti sekarang ini, tampilnya figur yang berintegritas, kredibel, berakhlak mulia, dan terpercaya sungguh sangat dirindukan oleh masyarakat. Cak Nur jelas merupakan tokoh Islam terkemuka yang memiliki kualitas-kualitas tersebut, dan sangat memadai untuk bisa mendapatkan kehormatan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dengan wawasan dan visi pluralisme yang demikian kental, umat beragama selain Islam mempunyai alasan kuat untuk bisa menerima Cak Nur menjadi pemimpin bangsa dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan. Wallahu a’lam Bis-showab.
(* Amich Alhumami, alumnus Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. )

Makna Berkurban

Makna Berkurban – oleh Nurcholis Madjid

KETIKA krisis keuangan yang diikuti krisis ekonomi menimpa negara-negara Asia (timur) pada tahun 1997, kita melihat fenomena menarik di beberapa negara di kawasan tersebut. Di Korea Selatan misalnya, kesulitan ekonomi pada saat itu telah mendorong begitu banyak warga negaranya menyumbangkan harta kekayaannya kepada pemerintah sebagai bentuk kepedulian akan kondisi yang berkembang saat itu. Fenomena serupa kita dapati juga di Thailand.


Di Indonesia, meskipun ada juga beberapa orang yang berbuat serupa, namun begitu kecil dan tidak signifikan sehingga hanya berkesan simbolik saja. Terlepas dari latar belakang politik dan budaya di negara-negara tersebut, hal itu tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen bangsa kita dalam menghadapi kesulitan bersama. Sepertinya setiap orang di negeri ini sibuk dengan kepentingan masing-masing, bahkan menempuh segala macam cara untuk keberhasilannya.Kondisi seperti ini tidak bisa kita diamkan terus. Kita harus menumbuhkan komitmen bersama untuk mengatasi persoalan tersebut hingga menuju ke arah yang lebih baik. Konsekuensi dari sebuah perjuangan tentulah memerlukan banyak pengorbanan. Komitmen dan pengorbanan dari segenap komponen bangsa itulah yang kita perlukan saat ini, dengan cara mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan dan kesenangan pribadi atau golongan.


Momentum Idul Adha yang akan dilaksanakan oleh umat Islam hari ini, seyogianya menjadi renungan kita bersama dalam menumbuhkan komitmen kebangsaan ini. Dari sisi sejarah, hari Kurban merupakan peringatan atas pengalaman rohani Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Ismail dan istri beliau, Siti Hajar, dalam menghadapi kesulitan akibat kekeringan di daerah Makah.


Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia. Berkurban- yang pada masa Nabi Ibrahim disimbolkan dengan mengorbankan seekor domba – memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang begitu indah dan agung. Diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi yang haq untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu sekaligus ujian bagi Nabi Ibrahim untuk rela mengorbankan anaknya demi memperoleh rida Allah. Dan Nabi Ibrahim berhasil membunuh ìberhalaî rasa cinta kepada anaknya demi memperoleh rida Allah, yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kambing.


Ini seharusnya menjadi teladan bagi kita karena kecintaan kepada anak yang berlebihan dapat membuat kita berbuat kezaliman-kezaliman sosial, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti banyak terjadi dalam kehidupan keseharian di negeri ini. Hikmah LainHikmah lain dari kisah tersebut adalah ternyata kesediaan berkurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bermuara pada kepedulian sosial. Artinya, kita harus sadar bahwa perintah kurban bukan sekadar suatu bentuk charity tanpa implikasi sosial yang jelas, melainkan sungguh suatu upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan menyadari tujuan berkurban sembari memahami bahwa pada masa Nabi Ibrahim kambing atau hewan ternak secara umum merupakan simbol kekayaan yang paling tinggi yang dimiliki seseorang, maka pada saat ini semangat berkurban seharusnya jauh melampaui daripada sekadar mengurbankan seekor kambing.


Hal ini berangkat dari realitas sosial yang berkembang di masyarakat, yang masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, tingkat anak putus sekolah yang tinggi, kualitas kesehatan masyarakat yang rendah, dan realitas sosial lain yang begitu mengkhawatirkan. Dari kesadaran tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kembali rasa optimisme warga bangsa ini menuju kepada cita-cita kemandirian bangsa yang berkeadilan sebagai tujuan bernegara.

Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang

Nurcholish Madjid:
Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang
19/08/2001
Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah.
Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Demikianlah inti pernyataan Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur. Menurut cendikiawan yang juga Rektor Universitas Paramadina ini, karena kehidupan bermasyarakat bersifat plural, maka tak boleh ada pemaksaan kehendak, termasuk memaksa seseorang untuk beriman. Berikut petikan wawancara dengan Cak Nur yang dipandu oleh Nong Darol Mahmada dari Jaringan Islam Liberal:
Cak Nur, kita mulai dari pertanyaan dasar dulu. Dalam ajaran Islam, konsep kemajemukan itu sebetulnya seperti apa?
Sama dalam istilah-istilah kalam, fiqh, atau tasawuf, kalau kita mencari dalam Alquran atau hadis, istilah kemajemukan itu tidak ada. Tapi sama juga dengan kalam, fiqh, atau tasawuf, ajaran-ajaran kemajemukan itu tersirat dalam Alquran, seperti firman Allah: “Kalau Tuhan menghendaki, maka semua orang di muka Bumi ini akan beriman.”
Allah pernah menegur Nabi Muhammad: “Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi beriman?” Ayat ini sering dikutip oleh para mubalig, maksudnya jelas, bahwa dalam agama Islam tidak boleh ada paksaan (la ikraha fi al-diin). Riwayat ayat ini merujuk kepada sebuah keluarga Yahudi di Madinah yang sudah masuk Islam mengadu kepada Nabi karena anak-anak mereka tak mau mengikuti jejak mereka. Lalu turun firman Allah tersebut.
Mengapa tidak boleh memaksa mereka masuk Islam?
Sebab yang benar jelas berbeda dengan yang salah. Tidak boleh ada pemaksaan agama artinya banyak sekali. Kita tidak boleh memaksa manusia untuk memeluk satu agama. Agama-agama yang ada—sepanjang betul-betul bersifat standar dan mempunyai kitab suci— harus ditolerir dan juga harus diberi hak hidup. Alquran bahkan menuntut mereka agar menjalankan ajaran-ajaran mereka.
Berdasarkan hal itu, secara historis, masyarakat yang paling berhasil belajar soal kemajemukan adalah masyarakat Islam. Karena itu, negara-negara Islam rata-rata multi-agama, kecuali Arab Saudi, negara ini menerapkan kebijakan politik yang dimulai Umar bin Khattab untuk daerah Hijaz. Untuk Hijaz tidak boleh ada agama lain, karena dimaksudkan sebagai sebuah homebase yang aman. Mereka yang keluar dari hijaz, dan mereka yang bersedia keluar ke Irak atau Yaman, diberi kompensasi yang besar. Tapi kalau kita ke Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon dan lain-lain masih banyak orang-orang Nasrani, Yahudi dan lain-lain, dengan Gereja dan Sinagogenya.
Dalam hal ini, Eropa kalah jauh sekali. Baru saat ini saja Eropa mengenal dan berinteraksi dengan agama lain. Dulu orang Eropa belum mengenal agama-agama lain. Bahkan yang terkenal justru bagaimana orang-orang Yahudi berhadapan dengan kaum ekstrimis NAZI dengan genocide dan holocoust-nya.
Artinya, dalam Islam, persoalan kemajemukan itu sudah merupakan hal yang alamiah?
Betul, itu suatu sunnatullah. Pekerjaan manusia bermacam-macam. Indonesia adalah negara yang plural. Tapi ketika kita melihat pluralitas itu sebagai sesuatu yang positif, bukan negatif, maka kita memasuki pluralisme sebagai suatu konsep yang didukung Alquran.
Tapi kita melihat akhir-akhir ini banyak sekali konflik yang mengatasnamakan agama?
Itu suatu keterangan yang sedikit ada lompatan. Sebab konflik di Aceh, tidak bisa disebut konflik agama. Demikian juga Sambas, ketika Melayu yang muslim bersatu dengan Dayak yang sebagian animis, Kristen, Katoloik dan Cina yang sebagian Katolik, Konghucu berhadapan dengan Madura yang jelas-jelas muslim.
Demikian juga yang sering diberitakan di koran, konflik atau tawuran antar desa yang sering terjadi di sepanjang jalan di daerah Indramayu, Cirebon, Brebes itu semua konflik yang melibatkan orang yang dari segi budaya sama, bahasanya, agamanya, etniknya, tingkat ekonomi dan lain-lain. Beberapa waktu lalu juga terjadi konflik di Sulawersi Selatan yang pelakunya rata-rata punya latar belakang sama. Memang di Sulawesi di Sulawesi Tengah, Kupang, Ambon ada unsur yang agama. Tapi di atas segalanya, unsur agama di situ menjadi persoalan sekunder, bahkan tersier. Primernya apa? Primernya ialah letupan perasaan terpendam karena sudah lama kita ditindas dibungkam, kemudian tahun 1998 muncul perubahan politik yang melahirkan ledakan partisipasi. Ledakan paling lunak adalah kebebasan pers, sedikit ke atas lagi, demonstrasi, di atas lagi kekerasan-kekerasan. Ada juga ledakan yang sangat positif, yaitu munculnya partai-partai.
Dalam ajaran Islam, ada atau tidak penjelasan bahwa sikap toleran itu diharuskan?
Tadi sudah saya sebut bahwa Nabi diperintah Allah karena Nabi punya pikiran untuk memaksa orang lain untuk masuk Islam. Lalu ada firman Allah yang sering dikutip para ulama: “Dan di antara kamu Aku tetapkan syariah dan cara melaksanakan syariah tersebut.” “Kalau seandainya Allah itu mau, maka Allah akan menciptakan kamu sebagai umat yang satu.” “Namun Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang dianugerahkan kepada kamu itu.” “Berlomba-lombalah kamu kepada kebaikan.” “Allah akan menerangkan mengapa dulu kamu berbeda-beda.” Jadi jelas sekali.
Bagaimana dengan keinginan sebagian masyarakat yang belakangan tampak memaksa menerapkan syariat Islam?
Mengenai pelaksanaan syariat Islam, sebenarnya masih banyak tafsir soal itu. Dalam Alquran banyak sekali indikasi bahwa semua agama sama. Tuhan menetapkan syariah kepada kamu juga kepada Ibrahim, Musa, Isa, dsb. Dan kamu harus bersatu seperti ditetapkan di dalam agama, dan jangan bercerai berai. Karena itu, syariah dalam arti yang prinsipil adalah suatu ajaran yang di dalam Alquran disebutkan sebagai “titik temu semua agama.” Atau, disebut kalimatun sawa, dan nabi sendiri mencari kalimatun sawa. Nanti kita akan bertemu keadilan, persamaan, perikemanusiaan, cinta kasih atau shilaturrahmi. Itu syariah dalam arti seluas-luasnya. Sedangkan persoalan ad hoc seperti itu selalu dipersoalkan ulama, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Pakistan dan di seluruh dunia.
Bagaimana kalau syariat itu hanya menitikberatkan pada pelaksanaan hudud, hukum rajam misalnya?
Kalau kita lihat contoh-contoh masa lalu di zaman khalifah, yang melaksanakan hudud adalah negara, tidak boleh swasta atau perorangan. Karena itu harus ditempuh jalan hukum. Di samping itu, yang disebut syariat Islam, bukan masalah itu saja. Ada yang lebih besar dari itu karena agak abstrak, misalnya persamaan, keadilan dsb. Tapi orang tidak menyadari yang abstrak. Orang biasa melihat yang kongkrit saja.
Bagaimana kalau penerapan syariat Islam itu dipaksankan oleh negara?
Tidak bisa. Itu sama saja dengan pemaksaan agama. Sekarang lihat saja, Pakistan didirikan menjadi negara Islam pada tahun 1947. Tapi hingga kini tidak bisa melaksanakan syariat Islam, karena di sana faksi-faksi Islam saling menghalangi. Ada Syiah, Sunni, ada juga etnis lain seperti suku Punjab dan Kurdi. Karena itu, para ulama bisa seperti Iqbal menghendaki agar yang Islam ditarik ke atas, dataran tinggi tingkat generalisasinya sehingga menjadi universal, lalu diturunkan lagi sesuai dengan ruang dan waktu. Sebab jelas sekali ada beberapa hal yang merupakan tuntutan ruang dan waktu.
Akhir-akhir ini ada beberapa kelompok Islam yang keras sekali dalam berdakwah, seperti melarang tempat-tempat maksiat dengan cara kekerasan?
Secara sosiologis, kelompok seperti itu pasti ada dalam masyarakat. Kalau sebagian besar yang bersikap seperti itu orang Islam, itu hanya karena masalah statistik saja. Karena sebagian besar penduduk kita beragama islam, maka yang bertindak ekstrem juga beragama Islam. Pencuri juga begitu. Nah jadi ada masalah statistik, sosiologis, dsb. Itu namanya taasshub. Suatu tujuan mulia harus dicapai dengan cara yang mulia juga.[]
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=171

Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam

Prof. Dr. Dawam Rahardjo:
Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam
28/03/2005
Proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur (sapaan akrab Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Gagasan-gagasan segar Cak Nur tentang keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.
Jargon “Islam, Yes! Partai Islam, No!” yang pernah dilontarkan Cak Nur pada tahun 1971, misalnya, sangat terkait dengan problem keislaman dan afiliasi politik umat Islam ketika itu. Kritikan-kritikan beberapa tokoh Islam seperti Prof. Dr. H. M. Rasjidi atas ide-ide Cak Nur, juga tidak dapat dilepaskan dari prasangka-prasangka politik yang berkembang di masanya. Demikian intisari perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari JIL dengan Prof. Dr. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim yang juga teman seangkatan Cak Nur. Perbincangan berlangsung Kamis (17/3) lalu, bertepatan dengan simposium tiga hari (17-19/3) tentang pemikiran Cak Nur yang diselenggarakan Universitas Paramadina.
Mas Dawam, bagaimana hubungan Anda dengan Cak Nur?
Saat ini saya sudah berumur 62 tahun, sementara Cak Nur 66. Tapi dalam organisasi dulunya, saya satu angkatan dengan dia. Dari segi umur, Cak Nur itu sedikit kakak bagi saya. Tapi dalam organisasi, dia sahabat saya.
Apa reaksi Anda ketika tahun 1971 Cak Nur melontarkan gagasan “Islam, yes! Partai Islam, No!”?
Waktu itu, saya dengan cepat menangkap maksud Cak Nur. Cak Nur pernah memberi penjelasan bahwa banyak sekali orang yang menganggap partai Islam ketika itu telah banyak membuat kesalahan. Karena itu, dia pantas ditolak. Tapi masyarakat yang menolak partai Islam tidak serta merta bisa diartikan sedang menolak Islam. Mereka tetap setuju Islam, tapi tidak suka dengan penampilan partai Islam ketika zaman Orde Baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jadi yang hendak ditekankan ketika itu adalah perasaan bahwa orang yang tidak setuju partai Islam belum tentu anti-Islam.
Apa motif Cak Nur ketika melontarkan gagasan itu?
Sekadar untuk menyelamatkan image Islam. Sebab dengan buruknya penampilan partai Islam, image Islam juga mendapat sorotan. Islam lalu ikut menjadi jelek juga. Saat itu juga ada perbedaaan tentang interpretasi hubungan Islam dan negara. Partai Islam ketika itu juga memperjuangkan negara Islam. Padahal, penafsiran semacam itu belum tentu otentik. Jadi yang ingin ditegaskan Cak Nur saat itu, orang Islam masih tetap merujuk Islam sebagai sumber ajaran, nilai maupun moral, tapi belum tentu menyetujui partai Islam. Makanya yang saya mengerti, Cak Nur sebenarnya ingin menyelamatkan Islam. Yang saya tidak mengerti, mengapa orang kemudian menentang pendapat Cak Nur begitu sengitnya.
Apakah pendapat Cak Nur ketika itu menyenangkan rezim Orba yang sedang berkuasa?
Dawam Rahardjo
Menurut hemat saya tidak juga. Memang banyak kritik terhadap Cak Nur, misalnya dari Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Saya pernah berbicara sendiri dengan Pak Rasjidi di Jeddah setelah kontroversi itu berlangsung. Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak keberatan dengan ide-ide Cak Nur tentang pembaruan pandangan keislaman. Hanya saja, dia menganggap Cak Nur sedang diperalat oleh pemerintah Orde Baru, dan khususnya BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang waktu itu dikait-kaitkan dengan Ali Moertopo. Jadi, Cak Nur dianggap anteknya Ali Moertopo. Cak Nur juga banyak ditentang karena secara politik dia banyak sekali mengritik Masyumi.
Itulah yang mungkin menyakitkan bagi banyak orang. Sampai-sampai Prof. Husein Alatas pernah berpesan kepada saya sebagai kawan Cak Nur agar jangan sekali-kali memusuhi para orang tua. Pesan itu dia sampaikan ketika saya bertemu dengannya di Sri Lanka pada tahun 1974. Pesan itu dia ingatkan betul. Dari pesan seperti itu, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa mereka yang menentang Cak Nur ataupun pro Pak Rasjidi, sebetulnya bukan karena gagasan Cak Nur itu sendiri, tapi lebih banyak karena faktor lain seperti kecurigaan politik.
Jadi dari substansi pemikirannya, Pak Rasjidi tidak keberatan?
Ya. Hanya saja dia kemudian mencari-cari dan menuduh sesuatu yang tidak benar. Padahal tuduhan-tuduhan politis itu justru dia lakukan sendiri. Misalnya, dia menuduh teologi Cak Nur banyak terpengaruh Barat. Prof. Dr. Harun Nasution juga dia tuduh terpengaruh Barat. Padahal buku Pak Rasjidi berjudul Filsafat Agama, merupakan saduran mentah-mentah dari seorang pemikir Kristen. Buku itu memang diterbitkan dengan judul berbeda untuk mengesankan itu murni karangan Pak Rasjidi. Tapi nyata-nyata, buku itu tidak dikarang sendiri, tapi cuma saduran. Jadi pada titik ini, Pak Rasjidi juga dapat dikatakan tidak beretika, dan juga tidak konsisten. Dia sendiri justru memakai pemikiran Barat, bahkan menyadurnya secara mentah-mentah dari karangan seorang pendeta. Makanya saya berpendapat, Pak Rasyidi itu sebenarnya menerima teologi Kristen. Kita tahu, teologi Kristen itu merupakan bentuk pembelaan orang-orang Kristen terhadap agamanya. Nah, kalau argumen-argumen itu bisa dipakai, secara tidak langsung dia bisa juga digunakan untuk membela Islam.
Setelah sekian lama perdebatan tentang gagasan-gagasan Cak Nur, bagaimana Anda kini melihatnya?
Saya melihat banyaknya kesalahpahaman terhadap gagasan-gagasan Cak Nur. Contohnya, pemahaman tentang gagasan sekularisasi Cak Nur. Bagi Pak Rasjidi dan orang yang menentangnya, sekularisasi itu tidak bisa dilepaskan dari sekularisme. Tapi bagi Cak Nur tidak mesti begitu, dan dia membuktikannya sendiri dalam kenyataan. Faktanya, Cak Nur tetap mengemukakan pelbagai wacana keagamaan yang bersumber pada Islam sebagai wacana perdebatan publik.
Cak Nur tetap ingin sekularisasi, karena banyaknya masalah-masalah—yang sebetulnya bersifat duniawi yang rasional—yang disakralkan dan dijustifikasi sebagai masalah agama. Misalnya perdebatan soal negara Islam. Siapa pun yang menentang konsep negara Islam, dia akan dicap anti Islam. Padahal itu tidak benar, karena perdebatan soal negara masih berada dalam wilayah pemikiran manusia. Jadi, wacana tentang negara Islam, bagi Cak Nur adalah konsep duniawi yang tidak boleh dijustifikasi, disakralkan, apalagi dihukumi dengan hukum agama.
Kalau tidak salah, dulu Cak Nur mengatakan bahwa sekularisasai adalah akibat atau konsekuensi logis dari konsep tauhid. Apa maksudnya?
Itu sejalan dengan pemikiran Ahmad Wahib. Ketika itu, Ahmad Wahib juga pernah mengatakan bahwa Islam itu turun dengan melakukan sebentuk sekularisasi. Artinya, Islam hadir dengan mengemukakan masalah-masalah duniawi secara rasional, seperti yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya, antum a`lam bi umûri dunyâkum (kalian lebih paham urusan dunia kalian, Red). Artinya, dalam sabda itu terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama. Di situ manusia bebas melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuan pikirnya, dan tidak harus dicocok-cocokkan dengan agama. Makanya kalau pemikiran itu dikemukakan, itu tidak sama dengan menentang agama sendiri.
Dulu Cak Nur pernah berkorespondensi dengan Mohammad Roem, tokoh yang memperjuangkan negara Islam lewat partainya, Masyumi, tentang negara Islam. Pertanyaan saya, mengapa Pak Roem berubah jadi menentang negara Islam?
Pak Roem itu orang yang bijaksana. Itu (perjuangan menegakkan negara Islam) kan sikap partainya. Dia sendiri punya pendapat berbeda. Saya melihat, Pak Syafruddin Prawiranegara juga berpendapat seperti itu. Dia juga sama sekali tidak punya ideologi untuk mendirikan negara Islam. Jadi sebetulnya banyak juga orang-orang Masyumi yang tidak setuju negara Islam. Dalam AD/ART Masyumi sendiri sebetulnya tidak tercantum misi untuk mewujudkan negara Islam. Yang ada adalah visi menerapkan dan melaksanakan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan. Visi seperti itu tentu saja bisa diperjuangkan secara demokratis.
Sekarang, tidak ada masalah lagi bagi kita untuk memperjuangkan nilai-nilai dan hukum Islam, asalkan melalui proses-proses tertentu. Pertama, melalui diskusi yang ilmiah. Di situ harus ada proses objektifikasi dan rasionalisasi. Itulah konsep yang dikemukakan almarhum Kuntowijoyo. Yang kedua, asalkan semua itu diterima pasar, seperti kasus Bank Mu’amalat. Artinya, kalau konsep-konsep Islam itu diterima pasar, why not? Kalau City Bank, HSBC, atau Bank Niaga yang dimiliki pihak asing bisa menerima konsep bank syariat, maka tidak ada masalah. Dan yang ketiga, semua itu harus diperjuangkan melalui sistem demokrasi, bukan dengan ketentuan konstitusional seperti Piagam Jakarta. Cara seperti itu tentu tidak benar. Kalau terus-menerus memakai ketentuan Piagam Jakarta, ujung-ujungnya tentu tidak demokratis.
Kenapa tidak demokratis?
Karena masih melalui otoritas tertentu, seperti kasus penetapan hukum positif yang dilakukan otoritas elite, yaitu ulama. Sebab asumsinya selalu begitu: Alquran harus diinterpretasikan; tapi yang berhak menginterpretasikannya hanya ulama-ulama tertentu. Di lingkungan Syi’ah Iran, kita mengenal konsep Wilayatul Faqih. Merekalah yang lalu menyetujui dan menentukan produk perundang-undangan. Kalau penetapannya melalui jalur seperti itu, tentu saja tidak demokratis. Itulah otoritarianisme atas nama agama. Sebab sebetulnya tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Inti demokrasi itu kan bermusyawarah; dan Islam sangat menganjurkan itu. Pemilihan umum merupakan bentuk permusyawaratan paling kompleks pada masa modern.
Jadi perjuangannya mesti dari bawah, ya?
Ya, melalui perjuangan masyarakat. Sesuai dengan prinsip demokrasi, apa pun undang-undangnya, sekalipun bersumber dari agama tertentu, harus diperjuangkan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Makanya, kalau ada yang ingin membuat undang-undang yang berorientasi pada Alquran, tidak ada salahnya. Yang ingin memperjuangkan hukum Islam secara demokratis juga tidak salah. Bung Karno pun setuju dengan cara seperti itu. Makanya, dia pernah berkata, “Coba saja kuasai parlemen!” Dengan begitu, wakil-wakil Islam dalam parlemen bisa memperjuangkan ajaran Islam. Inilah yang bisa saya tarik dari pemikiran Bung Karno.
Seandainya parlemen dikuasai kekuatan Islamis dan berhasil memperjuangkan sanksi hukum seperti potong tangan, bagaimana?
Itu harus dicegah. Tidak boleh memperjuangkan hal-hal semacam itu karena tidak demokratis, bahkan memperalatnya. Sebelum masuk ke sana, hukum-hukum Alquran terlebih dulu harus diperjuangkan melalui wacana. Pertama melalui wacana ilmiah, karena dari situlah dapat disaring sisi kebenaran sebuah pandangan seperti sanksi potong tangan. Selain itu, harus juga didiskusikan lebih dulu dengan masyarakat tentang setuju atau tidaknya mereka akan sanksi seperti itu.
Selama ini, hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hasil pemikiran dan ijtihad masyarakat Indonesia sendiri. Jadi ada jurisprudensi di situ, melalui proses wacana dan proses demokrasi. Mungkin proses demokrasinya masih sangat sederhana. Karena itu, di masa yang akan datang, semua hukum Islam yang akan dilaksanakan harusnya melalui proses perundang-undangan di parlemen. Jadi arena pertarungannya ada di parlemen, dan memang begitulah seharusnya.
Kalau yang setuju potong tangan berhasil meyakinkan masyarakat, lalu mereka didukung parlemen, bagaimana?
Wah… itu pengandaian yang terlalu jauh. Saya melihat, tetap banyak yang tidak setuju. Saya malah berpendapat, sebagian besar orang Islam Indonesia tidak setuju sanksi seperti itu, sebab sekarang ini sudah ada penjara. Dulu kan belum ada penjara, karena belum ada negara yang efektif seperti sekarang, dan juga karena belum adanya hukum yang terlalu detail.
Ide penting Cak Nur lainnya adalah konsep Islam yang hanîf atau inklusif. Apa yang sebetulnya diinginkan Cak Nur?
Cak Nur itu sebetulnya sedang berdakwah untuk menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang monolitis dan tidak toleran. []
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=782


Kerancuan Pemikiran Cak Nur
image
ISLAM sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi” (Cak Nur).
Teks itulah yang menjadi substansi pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam gagasan sekularisasi. Berpangkal dari statement tersebut Cak Nur melahirkan gagasan rasionalisasi dan desakralisasi. Cak Nur merumuskan ide tersebut berdasarkan cara pandang terhadap fenomena peralihan animis ke kepercayaan tauhid (masuk Islam). Cak Nur lantas menjustifikasi idenya itu dengan sekuralisasi yang diperintahkan. Sekularisasi ini, bagi Cak Nur, bukanlah sekularisasi sebagai penerapan sekularisme seperti yang terjadi di Barat yang, bagi Cak Nur, dilarang.
Cara berpikir dan muatan pemikiran Cak Nur seperti itu terasa sangat kontroversial di telinga kebanyakan umat Islam. Karena dalam Alquran maupun hadis tak sedikit pun menjelaskan ihwal sekularisasi. Tak pelak, saat menggelar istilah tersebut pada 1970-an, Cak Nur mendapatkan banyak bantahan dari intelektual Indonesia, termasuk di antaranya adalah HM Rasidji dan Imaduddin Abdurrahim. Dari sinilah kita dibawa oleh Cak Nur ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik dan scientific dengan idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.  
Du pengkritik Cak Nur adalah  kawan karib dan lawan berpikir. Sekarang pengkritiknya murid Cak Nur sendiri. Dialah Prof Dr Faisal Ismail yang pernah diajar Cak Nur pada mata kuliah ”Modern Islamic Development in Indonesia” di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada. Sebagai murid yang baik, Faisal Ismail menumpahkan kegundahan pemikiran gurunya dalam buku ini.
Penulis ingin menjadi murid yang baik bagi Cak Nur. Dengan koreksi total pemikiran sekularisasi Cak Nur inilah Faisal ingin menunjukkan diri sebagai murid Cak Nur yang bisa membuat sang guru tersebut bahagia di alam barzakh. Bagi penulis, mengagumi Cak Nur bukanlah dengan menerima pemikirannya secara taken for granted, justru model murid semacam inilah yang dulu sering diejek dan marahi Cak Nur, karena justru akan memitoskan Cak Nur dan membuat pemikiran dan intelektualitas mandek.
Tidak Sepakat
Kembali ihwal masalah sekularisasi, penulis sangat tidak sepakat dengan pemikiran sang guru ini. Baginya gagasan sekularisasi sangat rancu kalau dilekatkan dalam Islam. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi sekularisasi yang diistilahkan Cak Nur adalah peralihan dari animis menuju tauhid. Islam tidak mengenal sekularisasi, apalagi ada sekularisasi yang diperintahkan. Dalam pembacaan penulis, tidak teks prinsip dalam Alquran maupun hadis yang menjelaskan sekularisasi. Baik itu secara eksplisit maupun implisit. Bagi penulis, Islam dimulai dengan akidah tauhid dan ajaran tauhid merupakan jiwa, semangat, dasar, dan pangkal tolak islamisasi.
Sementara itu, tidak ada bukti empiris-historis-sosiologis yang mengindikasikan, apalagi membuktikan, Nabi dan umatnya pada masa itu telah melakukan sekularisasi.  Baik legitimasi normatif dan legitimasi historis-sosiologis yang ilmiah, tak ada penjelasan sedikitpun sekularisasi dilekatkan dalam Islam. Cak Nur sendiri, kala itu, juga tidak mampu membuktikan dasar epistemologis dalam Alquran yang menjelaskan ihwal sekularisasi. Di berbagai makalah dan bukunya, Cak Nur ”gagal” menjelaskan dasar epistemologis sekularisasi yang melekat dalam Alquran. Begitu juga Cak Nur tidak memberikan contoh-contoh konkret tentang sekularisasi yang, menurut dia, diperintahkan itu. Berbicara tentang ajaran dan perintah dalam Islam, Cak Nur tidak mampu merinci atau menyebut contoh-contoh ayat atau hadits sebagaimana yang sesuai dengan idenya sekularisasi yang diperintahkan.
Pangkal Tolak
Cak Nur hanya mengemukakan, misalnya, suatu ide tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Itu bukan contoh tentang sekularisasi yang diperintahkan (perintah harus ada nash, seperti shalat). Sekularisasi yang diperintahkan dan ide yang diklaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan adalah berbeda (halaman 50). 
Karena Cak Nur tidak berangkat dari definisi yang jelas tentang sekularisasi, dan idenya juga lahir dari rahim epistemologi yang ”serampangan”, maka ide sekularisasi yang ditawarkan Cak Nur sebenarnya merupakan ide yang tumpang tindih dalam berbagai gagasan turunannya. Terjadilah inkonsistensi, inkoherensi, dan konfusi dalam pemikiran sekularisasinya. Dari sini, sang murid melihat beberapa kesalahan dalam ide sekularisasi sang guru. Pertama, Cak Nur telah berbuat kesalahan terminologis karena secara ekslusif menggunakan istilah sekularisasi hanya bagi animis yang convert ke kepercayaan tauhid. Kalau orang Islam yang convert ke animis, Cak Nur tidak bisa menjelaskan apa-apa soal ini. Kedua, Cak Nur telah berbuat arbitrary karena memakai istilah sekularisasi untuk suatu peristiwa yang sebenarnya disebut konversi (perpindahan animis pada kepercayaan tauhid). Bukti kerancuannya adalah: tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Yang benar adalah: tauhid merupakan pangkal tolak islamisasi.
Ketiga, Cak Nur telah membuat kesalahan karena, menurut dia, terjadi sekularisasi pada animis yang masuk Islam. Kesalahan ini berpangkal pada ketidakpahaman Cak Nur bahwa sebenarnya sekularisasi itu hanya dilakukan oleh seseorang (atau sekelompok orang) yang masih terikat kepada kepercayaan atau agama yang sedang ia anut. Keempat, Cak Nur telah berbuat kesalahan karena, bagi dia, terjadi sekularisasi pada animis yang beralih kepada agama Islam (menjadi muallaf). Ini berarti, tauhid telah membuat muallaf mengalami sekularisasi besar-besaran. Padahal, muallaf itu mengalami islamisasi, menjadi Islam, berakidah Islam, dan beridentitas Islam. Bukan menjadi sekuler atau mengalami sekularisasi. (halaman 75-76).
Di sinilah, Faisal Ismail yang sekarang menjadi Guru Besar Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga, membongkar kerancuan pemikiran sang guru. Sekali lagi, penulis hanya ingin menjadi murid yang baik. Dengan saling koreksi dalam dunia intelektual inilah, bagi penulis, terjadi perdebatan dinamis yang bisa menggairahkan iklim keilmuan yang diskursif. Faisal juga menantang publik untuk mendiskusikan ulang ide Cak Nur dan kotrapemikirannya atas sang guru. (Muhammadun AS-35)