BEBERAPA KECENDERUNGAN BARU MAHASISWA
Kini
para mahasiswa telah demikian menyenangi program MTV ketimbang
ketoprak, lebih doyan makan KFC dan Mc Donald, daripada makan SGPC (sego
pecel), merasa lebih gaul jika bergaya layaknya fashion show, menenteng
handphone dengan model terbaru, dan menghabiskan malam dengan nongkrong
di kafe atau belanja di perbelanjaan yang modern atau mall.
Fakta
ini bisa ditafsirkan sebagai wujud sebuah generasi yang telah menjauhi
nilai-nilai kultural dan etik tradisional yang luhur dari bangsa
Indonesia. Katanya para kritikus kebudayaan, dalam kajian culture
studies, penyebab pergeseran kebudayaan ini adalah akibat dari
“globalisasi” sebagai sebuah gerakan budaya, yang telah meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan tradisional.
Jika
anda berkunjung sesekali kebeberapa mall, para mahasiswa dan pelajarlah
yang dominan datang ke mall. Sebagian besar dari mereka menggunakan
busana yang modis : celana jeans atau celana yang potongannya nempel di
pinggul, dibalut kaus ketat (baby shirt) yang sedikit menampakkan
pusarnya, serta sepatu/sandal gaul. Sangat jelas bahwa anak muda ini
adalah “target pasar” pasar utama.
Inilah
proyek besar “komodifikasi” gaya hidup, atau menjadikan gaya hidup
sebagai “komoditas” yang diperdagangkan, yang jelas-jelas korbannya
adalah para mahasiswa. Meskipun seringkali mereka tidak menyadarinya.
Proyek komodikasi gaya hidup kaum muda adalah strategi kebudayaan yang
paling ampuh untuk menghancurkan kepribadian manusia-manusia muda ini
yang masih dalam proses pembentukan dan pencarian identitas, baik
menyangkut masalah nilai, identitas diri, harapan maupun masa depannya.
Sekarang
ini yang dijadikan masjid bagi mahasiswa adalah mall, café, dan tempat
nongkrong lainnya. Sehingga, HMI merasa jauh lebih baik jika mengambil
tanggungjawab dakwah kepada mahasiswa yang telah terkena imbas budaya
global ini. Memilih target generasi “muslim tanpa masjid” tak berarti
meninggalkan masjid, justru ingin mengembalikan kegandrungan mahasiswa
kepada kemendasaran masjid sebagai sentral gerakan di dalam dunia Islam.
SEKILAS TENTANG GENERASI “MUSLIM TANPA MASJID”
Salah
satu tesis alm. cendekiawan muslim Dr. Kuntowijoyo yang nenarik adalah
mengenai lahirnya generasi baru “muslim tanpa masjid”. Artikel tentang
itu dimuat pertama kali di Republika 09 April 1999 lalu dibukukan oleh
Mizan (2001). Menurut Kunto, fenomena generasi baru “muslim tanpa
masjid” itu sebagai gejala perkotaan, yang dibesarkan oleh suasana
keagamaan Islam di sekolah ketimbang oleh masjid. Dalam penilaiannya,
sumber pengetahuan keagamaan generasi baru tersebut bukan
lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan
madrasah, atau perorangan seperti da’i, ustadz, kiai, dan sebagainya,
melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, VCD,
internet, televisi, dan sebagainya. Sehingga, bagi Kunto mereka merasa
terasing dari umat.
Meskipun
Kunto tidak mempertimbangkan sebab kelahiran generasi baru itu sebagai
ekses dari ketegangan internal di kalangan Islam sendiri. Kita bisa
membayangkan bahwa ada arus ketidakpuasan atau bahkan perlawanan
terhadap konservatisme dan monolitisme 'masjid' sebagai simbolisme
pelembagaan keagamaan Islam. Pun juga kita memperhitungkan
kemungkinannya sebagai 'perlawanan budaya' dari mereka yang berasal dari
lingkaran inti umat Islam sendiri terhadap kelembagaan keagamaan di
kalangan umat Islam.
Dengan
kata lain, fenomena tersebut bisa juga dibaca sebagai otokritik dan
potret perlawanan budaya terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang hidup
di kalangan umat Islam. Bisa jadi yang berlangsung bukannya sekadar
munculnya generasi baru muslim 'tanpa masjid' melainkan juga barisan
baru muslim 'meninggalkan masjid.' Maksud meninggalkan masjid di sini
tidak dalam arti secara fisik (meskipun bisa juga terjadi demikian)
namun lebih dalam pengertian simbolik, dalam arti mereka menolak dan
meninggalkan masjid dan ormas-ormas Islam lainnya sebagai reference
group maupun sebagai basis ideologis dan operasional gerakan mereka.
Jika
masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya gagal melakukan
ikhtiar transformasi diri sehingga menjadi lebih peduli pada isu-isu
populis dan apresiatif terhadap pluralisme, bukan mustahil makin banyak
putera-puteri terbaik umat Islam akan memilih jalan 'meninggalkan
masjid'.
Bahkan,
sedari awal Kunto mengingatkan kita tentang perilaku anak muda ini :
“Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas
Kongres Umat Islam, MUI, ormas – ormas dan tokoh-tokoh islam lalu
menganggapnya bukan muslim” (Mizan 2001;130).
APAKAH HMI VALUES ADA ?
Sebagai
organisasi mahasiswa Islam yang sudah matang, HMI telah mengalami
periodisasi pasang-surut dalam sejarahnya. HMI misalnya telah melewati
pasang naik dalam membangun organisasi hingga upaya institusionalisasi
yang rapi dan sistematis sebagai organisasi modern.
Dalam
tahap institusionalisasi itu, HMI telah menjadi bagian yang diterima
oleh pola politik, religius, atau budaya masyarakat. HMI telah meluas
diterima dalam masyarakat, dan menjadi bagian dari struktur sosial
masyarakat. Pertumbuhan kelas menengah muslim dalam birokrasi
pemerintahan, partai politik, swasta, LSM ataupun akademisi di kampus di
tahun 80-90an tak lain karena masuknya kader-kader terbaik HMI.
Meskipun
setiap organisasi yang telah mengalami tahap surut semacam ini sangat
mungkin berakhir menjadi pembubaran (disolusi). Tapi juga bisa berbalik
jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-kondisi sosial menjadi kondusif
bagi perkembangan HMI yang lebih adaptif dengan perubahan. Saya lebih
memilih untuk optimis dengan pandangan yang terakhir, harapan akan
adanya arus balik kebangkitan HMI.
Di
titik inilah perlu kita bedakan antara perilaku dan sistem nilai yang
suci dari Islam. Karena jika berpegang pada konsep Islam yang sejati,
misalnya Sholat, yang di defenisikan al-Quran mampu mencegah perbuatan
keji dan munkar. Maka mereka yang sholat dan nyata-nyata korupsi jelas
tidak masuk dalam kriteria orang yang melaksanakan sholat. Persis ketika
kita mendefenisiskan ‘api’ itu adalah sesuatu yang membakar, maka yang
tidak membakar jelas bukan api.
Namun,
kita juga tidak dapat menafikan efek pencitraan terhadap Islam sedikit
menjadi tercoreng. Karena perilaku buruk yang lebih menonjol di level
permukaan, dengan sedikit nalar induktif yang simplistik mereka mudah
mengeneralisasi. Untuk itu, soal perilaku ini juga patut kita camkan
bersama, bahwa sebagai seorang muslim ataupun kader HMI kita wajib
bertanggungjawab untuk menjaga citra positip Islam ataupun HMI di
masyarakat. Sebab, antara diri kita dan HMI ibarat dua sisi mata uang
yang sulit untuk dipisahkan.
Apalagi,
dalam berbagai literatur filsafat moral misalnya, dijelaskan bahwa
turunan dari sistem nilai hingga perilaku itu minimal melewati dua
tingkatan; norms dan mental model. Norms, bisa merupakan
ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur upaya-upaya pencapaian
tujuan. Jika values tidak memberikan pengaturan institusional yang
persis. Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa
bersifat formal, seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga
informal.
Namun
nilai dan norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan kader,
seperti: siapa yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini,
bagaimana tindakan-tindakan para pelaksana ini distrukturkan dalam peran
dan organisasi. Nah, yang melakukan ini adalah mental model, upaya
untuk menyederhanakan realitas yang kadang membingungkan. Termasuk
proses modelling atau peneladanan dari senior ke junior.
Sayangnya,
di HMI nilai-nilai itu telah dijumudkan sekadar teks yang mati dan
kehilangan konteks untuk diimplementasikan. Pun hanya dilihat sebagai
persoalan pemberhalaan model Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Cak Nurian.
Sehingga, beberapa orang di HMI menyangka dengan mengganti NDP Cak Nur
maka HMI akan berubah seketika. Padahal, tak pernah ada penelitian
komprehensif sebelumnya yang dilakukan Tim-8, yang meyimpulkan bahwa
persoalan mendasar di HMI bermula dari NDP. Saya sedikit pesimistis
dengan berubahnya NDP dan bisa dipastikan tak akan berdampak signifikan
pada kader. Karena, NDP sebagai doktrin HMI seperti tidak meninggalkan
bekas dalam benak kader.
HMI VALUES = NILAI-NILAI ORGANISASI
Sejauh
yang saya pahami, NDP HMI telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip
kebenaran universal dijadikan sebagai poros sistem keyakinan kader.
Kebenaran universal itu tak terbatas pada ruang-waktu, atau biasa pula
sebut sebagai teoritical wisdom. Tapi pada saat yang bersamaan,
pergumulan dan dinamika sistem keyakinan pada wilayah praktis manusia
(peng-amal-annya), meminta kontekstualisasi, disini, hari ini, zaman
ini, budaya ini. Atau dengan kata lain, membutuhkan perangkat sistem
nilai (values) yang tidak mudah.
Sistem
nilai ini kerapkali, menyempit dan meluas, meminjam istilah intelektual
liberal Iran Abdul Karim Soroush. Sehingga, jika tidak hati-hati dalam
membedakan, mana yang ‘tetap’ dan mana yang ‘berubah’, maka sangat
mungkin seorang kader akan terjebak pada kekeliruan, kebingungan, maupun
kejumudan dalam menjalankan aktifitas gerakan sebagai konsekuensi
teoritis NDP.
Karena
pertimbangan tersebut, dirasa perlu bagi kita semua untuk sama-sama
mengidentifikasi kembali nilai-nilai organisasi (HMI Values) yang
bersifat tetap—dan telah dipahami sebagai common sense di HMI—sebagai
core perjuangan kita di HMI.
Sebagai
tahap awal untuk memancing upaya penelitian lanjutan yang lebih serius
terkait HMI Values, maka dibawah ini saya merinci beberapa butir
nilai-nilai organisasi HMI—yang diturunkan dari keislaman, kemahasiswaan
dan keindonesiaan—yang penting menjadi pegangan seluruh kader.
Pertama,
Kebenaran. Pegangan setiap kader adalah kebenaran agama Islam yang
hanief. Dengan cenderung kepada kebenaran, setiap kader dibimbing oleh
jalan suci Islam (shirat almustaqim).
Kedua,
Intellectual Freedom (Kebebasan Berpikir). Hingga kini saya merasakan
manfaat yang besar dengan nilai fundamental dari kebebasan berpikir ini,
karena tak pernah ada batasan ataupun kungkungan bagi setiap kader di
HMI untuk menyatakan pendapatnya, menerima pengetahuan dari sumber
apapun, dan tak ada hak siapapun untuk mengekang potensi dasar fitriah
manusia ini.
Ketiga,
Inklusifitas (Keterbukaan). Ini hanyalah konsekuensi logis dari
kebebasan berpikir. Setiap kader HMI seyogyanya memahami hakikat
keterbukaan demi menghindarkan kejumudan kader untuk memperkaya khazanah
Islam maupun Indonesia. Soalnya, begitu kecenderungan kader mengarah
pada eksklusifitas (ketertutupan) maka alamat lah HMI menjadi organisasi
yang terbelakang.
Keempat,
Pluralisme. Siapapun yang menginginkan kebebasan ataupun keterbukaan,
menjadi niscayalah untuk mengakui pluralisme. Menjadikan pluralisme
sebagai pegangan, selaras dengan komitmen kebangsaan yang mau tidak mau
harus mengakui keanekaragaman etnis, agama, ras dan bahasa yang ada di
tanah air.
Kelima,
Idea of Progress. Berarti memandang kehidupan secara positif. Karena
sejarah kehidupan manusia dipandang bergerak maju, secara material
(duniawi) ataupun spiritual (eskatologis/akhirat).
Keenam,
Accademic Excellence (Rasional, Objektif, Ilmiah, Kritis dan
Profesional). Pilar-pilar akademis ini, merupayakan sebuah keniscayaan
status HMI sebagai organisasi kemahasiswaan. Menjadi bagian dari civitas
akademika, berarti harus menjadi insan kampus yang mampu berpikir
logis, terstruktur, sesuai kaedah ilmiah dan objektif.
Ketujuh,
Integritas Kader (Mandiri, Bertangggung-jawab, Jujur, dan Adil). Ketika
kebebasan dibentangkan, maka mau tidak mau integritas akan diuji. Bila
kita ingin diakui kebebasan untuk mengambil pilihan politik, pendapat,
minat studi dan sebagainya, maka sebagai konsekuensinyaa secara mandiri
kita mesti harus mampu untuk mewujudkannya.
Kedelapan,
Persaudaraan dan Kemanusiaan. Ajaran Islam begitu kompleks. Urusan
melekatkan persaudaraan sesama Islam pun tak luput dari perhatian Islam.
Dalam konteks HMI, di sinilah kita merasakan betul bagaimana kuatnya
rasa solidaritas dan persaudaraan sesama muslim. Wajarlah jika di
lingkungan HMI, antara junior dan senior, terbina hubungan yang sangat
dekat. Rupanya karena mendapatkan justifikasi teologis yang kuat.
Bahkan, HMI tak berhenti di lingkaran kecil HMI, umat Islam secara
keseluruhan di dunia ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
dari HMI.
Kesembilan,
Keberpihakan kepada Mustadhafin. Pilihan keberpihakan kepada
mustadhafin (yang tertindas) karena tuntutan doktrin teologis Islam.
Mereka yang terindas, tidaklah harus dikategorikan sebagai kalangan
miskin. Setiap yang merasa teraniaya akibat perlakukan yang zalim, baik
secara politik, sosial, ekonomi ataupun budaya berhak untuk menuntut
keadilan. Dan HMI harus berada di garda terdepan untuk melakukan
pembelaan atas perlakuan yang semena-mena dari kalangan mustakbirin
(penindas).
Terakhir,
kesepuluh, Independen. Poin ini sengaja tempatkan dibagian terakhir,
karena kesembilan poin sebelumnya akan tegak dengan sempurna bilamana
kader HMI ataupun HMI sebagai organisasi bisa independen, bebas dari
berbagai conflict of interest yang ada.
Kesepuluh
nilai tadi selalu ada dan terangkum dalam kegiatan-kegiatan training
kader HMI, yang menitikberatkan pada segi-segi tertentu, meliputi:
- Watak dan kepribadiannya, yaitu memberikan kesadaran beragama, akhlak dan watak. Dengan modal tersebut diharapkan HMI memiliki nilai idealisme dan moralitas yang memadai.
- Kemampuan Ilmiah, dimana kader HMI harus memiliki ilmu pengetahuan, intelektualitas dan kebijaksanaan. Mungkin dengan begitu kader HMI diharapkan memiliki kesadaran untuk berpihak terhadap masyarakat kecil.
- Aspek keterampilan organisasi.
Nilai
fundamental HMI tadi, seharusnya menjadi nafas dalam setiap usaha dan
strategi untuk perkaderan HMI saat ini, sebagai core kebangkitan kembali
HMI. Karena, nilai-nilai fundamental tersebut akan memberikan pemahaman
yang jelas kepada semua anggota tentang bagaimana suatu masalah harus
dipecahkan oleh HMI.
Nilai-nilai
fundamental tersebut akan menjadi budaya organisasi yang melekat pada
tindakan semua kader dan akan memberikan stabilitas pada organisasi.
Setiap organisasi pada dasarnya akan mempunyai suatu budaya dan,
bergantung pada kekuatannya, karena budaya organisasi dapat mempengaruhi
makna pada sikap dan perilaku tiap kader-kader organisasi.
Nilai-nilai
fundamental yang terinternalisasi di HMI melalui sistem perkaderan dan
struktur yang ada. Pada dasarnya akan menunjukan bagaimana kesepakatan
yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang harus tetap
dipertahankan dan diperjuangkan oleh HMI. Kebulatan maksud semacam ini
akan membina kekohesifan, kesetiaan, dan komitmen terhadap HMI. Dan akan
mengurangi kecenderungan kader untuk menjadikan HMI sebagai alat untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadi yang akan merugikan HMI, karena kader
semacam itu akan tersingkir secara alamiah dari orbit perkaderan.
DARI HMI VALUES KE STRATEGI
Dalam
sebuah buku yang ditulis oleh Jhon M. Bryson (2001), Perencanaan
Strategis Bagi Organisasi Sosial, ia mengutip dari Lorange (1980) ada
empat elemen penting dari sistem perencanaan strategis; “(1) Kemana kita
akan pergi ? (misi), (2) Bagaimana kita pergi kesana ? (strategi), (3)
Apa blueprint tindakan kita (Anggaran), dan (4) Bagaimana kita tahu jika
kita berada di atas jalur? (kontrol)”(Pustaka Pelajar; hal 36).
Terinspirasi
dari Jhon M. Bryson, dalam kasus HMI saya kira ada empat komponen dan
dimensi yang dapat kita jelaskan sebagai dasar dalam kebijaksanaan
organisasi. Tabel dibawah ini mungkin akan sedikit membantu :
Tabel Komponen dan Dimensi dalam Kebijakan Organisasi
Komponen | Dimensi |
Cita-cita HMI | Sistem Nilai (HMI Values) |
Tujuan dan Sasaran Gerakan HMI | Rencana Strategis HMI |
Tekad dan Komitmen Kader | Penguatan Sistem dan Budaya Organisasi |
Praktek Operasional | Program Kerja dengan Sistem Evaluasi dan Kontrol |
Sumber : Refleksi pribadi
Dalam
kaitannya dengan rencana strategis HMI, saya melihat ada dua strategi
yang sangat mendasar, yakni (1) strategi struktural dan (2) strategi non
struktural. Mengapa ? Karena dengan strategi struktural kita dapat
memperjuangkan misi organisasi, baik di internal maupun eksternal, untuk
mendobrak akses-akses ekonomi, politik dan kekuasaan, budaya, media dan
informasi, pengetahuan, dan pendidikan. Sementara strategi non
struktural, terkait dengan mindset, kesadaran, jiwa sosial, dan budaya
organisasi yang mungkin telah mapan dan amat sulit dirubah.
STRATEGI STRUKTURAL
Strategi
struktural tidak selamanya dalam pengertian menganjurkan revolusi. Ada
juga strategi struktural yang memilih reformasi, evolusi, dan
gradualisme. Intinya adalah bagaimana merubah struktur soial, politik
dan ekonomi. Bagi HMI, strategi struktural ini akan dibagi kepada tiga
level; kemahasiswaan, keummatan dan kebangsaan.
Kemahasiswaan
Tesis
yang sering kita dengar di tingkat internal HMI, bahwa sekarang ini
banyak mahasiswa sudah tidak lagu tertarik menjadi anggota HMI. Jelas,
ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan minat ketertarikan HMI
tersebut. Menurut saya, minimal ada dua : Pertama, karena kecenderungan
mayoritas yang berubah akibat serbuan budaya pop (generasi
multitasking). Kedua, akibat upaya sistematis dan terstruktur yang
dilakukan oleh para kompetitor utama HMI seperti PKS (KAMMI), HTI (Gema
Pembebasan), dan beberapa kantong Salafiah yang sengaja merebut
posisi-posisi penting di struktur BEM, MPM, Himpunan Jurusan, dan
masjid-masjid kampus. Mereka sengaja mendesain program Asistensi Agama
Islam, Inisisasi Kampus (Ospek), serta kegiatan-kegiatan pengajian dan
kerohanian Islam di internal kampus sebagai ajang perekrutan
terselubung.
Namun
masih ada yang cukup menggembirakan, yakni kantong-kantong Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang seni, olah raga, penelitian, minat dan
bakat yang hampir tidak bisa dikuasai mereka sama sekali. Karena, selain
frame berpikir aktifis UKM yang cenderung bebas, pluralistik, dan
terbuka tidak sesuai dengan karakter gerakan Islam transnasional ini,
selain itu mereka juga relatif tidak diterima oleh teman-teman UKM.
Padahal, jumlah peminat UKM ini jauh lebih besar ketimbang BEM. Nah,
saya kira tidak ada salahnya jika anak-anak HMI mulai sekarang
menjadikan kantong-kantong UKM sebagai target perkaderan. Biasanya
mahasiswa yang cenderung hedonistik, pragmatis, dan study oriented
berkumpul di UKM. Menjadi relevanlah dengan agenda kita untuk menjadikan
generasi baru “muslim tanpa masjid” sebagai target perkaderan.
Apalagi
di kampus-kampus besar sedang digalakkan pendekatan yang bersifat
pembaharuan dan kreatif (innovating and creative approach) bagi
mahasiswa dengan tradisi baru Ciber Learning Community (E-Un,
electronics university). Dengan kondisi ini PB HMI hendaknya segera
mendesakkan strategi pembentukan Student Creativity Center di
Cabang-Cabang seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai jembatan kader
dengan pusat aktifitas mahasiswa seperti unit kegiatan olahraga, seni
maupun kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa lainnya.
Sedapat
mungkin, lembaga ini merupakan tempat untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam menumbuhkan minat bakat, kepemimpinan dan inovasi,
termasuk untuk penelitian ataupun bidang usaha seperti enterpreunership
atau dalam bentuk busines innovation. Semua kegiatan diatas bisa
dikembangkan dengan melakukan upaya sinkronisasi ke jaringan sistem
komunikasi atau informasi global. Lima sektor IT sebagai tahap awal yang
bisa dikerjakan, yaitu E-Education, E-Government, E-Democracy,
E-Business, dan Community-based IT.
Selain
itu, yang patut menjadi keperihatinan kita bersama adalah proyek
kapitalisasi pendidikan yang melanda hampir semua institusi pendidikan
tinggi. Mulai dari status BHMN bagi beberapa PTN, hingga komersialisasi
besar-besaran di sektor pendidikan tinggi. Biaya kuliah melonjak naik.
Parahnya, mahasiswa miskin terasa tak mungkin lagi untuk mengecap
manisnya dunia pendidikan tinggi. Tanggungjawan HMI sebagai organisasi
mahasiswalah untuk mengambil sikap dan posisi tegas untuk menolak keras
segala macam kebijakan kapitalisasi pendidikan ini yang jelas-jelas
telah menyimpang dari pembukaan konstitusi kita, yakni untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, HMI secara bersama-sama dengan
berbagai elemen gerakan mahasiswa lain harus bahu-membahu bersikap
tegas kepada pemerintah untuk mengembalikan esensi dasar bahwa
pembiayaan pendidikan merupakan tanggungjawab negara.
Keummatan
Pertama,
maraknya cap sesat terhadap berbagai aliran-aliran Islam oleh MUI
menimbulkan keprihatinan kita bersama. Bila HMI tetap tidak merespon
gejala penyesatan ini, alamatlah umat Islam Indonesia akan mengarah
menjadi umat yang tertutup (eksklusif). Kecenderungan fatwa MUI untuk
menyesatkan paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme telah sedikit
banyak menggagalkan proyek besar pembaharuan Islam yang sejak lama
diusung HMI.
Berkaca
dari kejadian semacam ini, ada baiknya HMI harus pulang kandang sejenak
untuk merefleksikan banyak kejadian umat yang tidak menentu, terutama
di lapangan pemikiran. Ikhtiar HMI selama ini untuk menjadi
“Laboratorium Pemikiran Islam” di Indonesia harus dihidupkan kembali.
Sudah saatnya, HMI kembali Meretas Gerakan Pemikiran Islam Alternatif,
ditengah pengkutuban pemikiran yang sangat condong ke liberal (JIL)
ataupun sangat fundamental.
Kedua,
pernyataan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, yang menyebut Hizbut
Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari
international political movement dan bagian dari gerakan Islam
transnasional. Pukulan Hasyim paling keras adalah saat menilai gerakan
Islam transnasional memiliki tendensi formalisasi agama ketimbang
substansialisasi agama. Malah, gerakan ini menurut Hasyim, telah
mengambil-alih masjid yang didirikan warga NU. Dan, Hasyim meminta
kalangan NU untuk “menjaga” masjid-masjid tersebut.
Tentu
saja, pluralisme HMI tidak sama dengan kosmopolitanisme, relativisme,
ataupun sekadar sinkretis semata. Tapi, pluralisme HMI adalah usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan dalam
kebhinekaan. Dan terkait, gerakan Islam transnasional saya kira HMI
tetap akan mendukung kemendasaran budaya, kebangsaan, dan keumatan yang
khas Indonesia.
Ketiga, isu internasional umat Islam.
Kebangsaan
Buah
reformasi yang masih bisa kita saksikan ; keran keterbukaan politik dan
bangkitnya daerah sebagai konsekuesni desentralisasi (otonomi daerah).
Harapan banyak pihak bahwa daerah-daerah seperti Jembrana, Sragen,
Tarakan, Cimahi dan lainnya yang mulai menggeliat untuk membangun
daerahnya. Disususul oleh kemunculan kepala daerah hasil pilkadasung
yang memiliki visi untuk membangun daerahnya. Menyiratkan satu harapan
akan masa depan Indonesia yang lebih baik akan muncul dari daerah.
Untuk
merespon gairah baru ini, HMI harus merubah orientasi kader ke daerah.
Sebab, sudah saatnya kader memperkuat visi lokalitas dan menjunjung
tinggi kearifan lokal (local wisdom). HMI Cabang seluruh Indonesia harus
memperkuat basis lokal sekaligus berhubungan intensif dengan
pemerintahan lokal (local government) dan semua elemen masyarakat lokal
untuk agenda “Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Daerah”.
STRATEGI NON STRUKTRAL
Periode
kemunduran HMI selalu mendapatkan komentar bermacam-macam oleh banyak
pengamat. Tapi, yang paling berkesan, menurut saya, ketika suatu waktu
Jalaluddin Rakhmat mengatakan kegagalan HMI bermula dari gagalnya
ideologi “HMI-isme”. Pasalnya, sejak tahun 1970-an dalam penilaian Kang
Jalal, HMI-isme itu menjadi paradigma gerakan HMI yang meyakini bahwa
keterpurukan Indonesia kala itu hanya dapat dirubah dengan cara
kader-kader HMI perubahan dari dalam (change from within). Atau dengan
kata lain, masuk ke dalam kekuasaan; birokrasi, parpol, dan sebagainya.
Almarhum
Kuntowijoyo merekam proses ini dengan sangat baik : “...Jika suatu saat
nanti Islam mampu menguasai teknokrasi, perjuangan politik lewat
mobilisasi massa tidak begitu relevan lagi. Dan itu bukan mustahil.
Teknokrasi tidak berarti jaringan kekuasaan politik, tetapi juga
meliputi jaringan bisnis, pendidikan, media massa dan sebagainya. Kita
cukup optimis bahwa sudah cukup banyak alumni-alumni HMI misalnya yang
aktif dan bergerak di sektor itu. Lewat sektor-sektor itu proses
penyadaran dapat dilakukan...Inti umat Islam sudah berada di pusat-pusat
perubahan” (Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, hal 194).
Sayangnya,
alumni terlalu banyak di sektor kekuasaan, ketimbang di sektor-sektor
lain. Menurut Kang Jalal, ketika kekuatan kader-kader HMI di lingkaran
kekuasaan telah begitu menggurita, mereka justru kehilangan visi of
change yang sebelumnya pernah dicita-citakan untuk merubah bangsa ini
dari dalam (change from within). Seperti kata Lord Acton, "power tends to corrupt", manisnya madu kekuasaan telah melenakan aktivis HMI yang sejatinya di dadanya harus ada nilai-nilai `hijau-hitam`.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar