Rabu, 27 Juni 2012

ARTIKEL TENTANG HMI

BEBERAPA KECENDERUNGAN BARU MAHASISWA
Kini para mahasiswa telah demikian menyenangi program MTV ketimbang ketoprak, lebih doyan makan KFC dan Mc Donald, daripada makan SGPC (sego pecel), merasa lebih gaul jika bergaya layaknya fashion show, menenteng handphone dengan model terbaru, dan menghabiskan malam dengan nongkrong di kafe atau belanja di perbelanjaan yang modern atau mall.
Fakta ini bisa ditafsirkan sebagai wujud sebuah generasi yang telah menjauhi nilai-nilai kultural dan etik tradisional yang luhur dari bangsa Indonesia. Katanya para kritikus kebudayaan, dalam kajian culture studies, penyebab pergeseran kebudayaan ini adalah akibat dari “globalisasi” sebagai sebuah gerakan budaya, yang telah meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dan kepercayaan tradisional.
Jika anda berkunjung sesekali kebeberapa mall, para mahasiswa dan pelajarlah yang dominan datang ke mall. Sebagian besar dari mereka menggunakan busana yang modis : celana jeans atau celana yang potongannya nempel di pinggul, dibalut kaus ketat (baby shirt) yang sedikit menampakkan pusarnya, serta sepatu/sandal gaul. Sangat jelas bahwa anak muda ini adalah “target pasar” pasar utama.
Inilah proyek besar “komodifikasi” gaya hidup, atau menjadikan gaya hidup sebagai “komoditas” yang diperdagangkan, yang jelas-jelas korbannya adalah para mahasiswa. Meskipun seringkali mereka tidak menyadarinya. Proyek komodikasi gaya hidup kaum muda adalah strategi kebudayaan yang paling ampuh untuk menghancurkan kepribadian manusia-manusia muda ini yang masih dalam proses pembentukan dan pencarian identitas, baik menyangkut masalah nilai, identitas diri, harapan maupun masa depannya.
Sekarang ini yang dijadikan masjid bagi mahasiswa adalah mall, cafĂ©, dan tempat nongkrong lainnya. Sehingga, HMI merasa jauh lebih baik jika mengambil tanggungjawab dakwah kepada mahasiswa yang telah terkena imbas budaya global ini. Memilih target generasi “muslim tanpa masjid” tak berarti meninggalkan masjid, justru ingin mengembalikan kegandrungan mahasiswa kepada kemendasaran masjid sebagai sentral gerakan di dalam dunia Islam.
SEKILAS TENTANG GENERASI “MUSLIM TANPA MASJID”
Salah satu tesis alm. cendekiawan muslim Dr. Kuntowijoyo yang nenarik adalah mengenai lahirnya generasi baru “muslim tanpa masjid”. Artikel tentang itu dimuat pertama kali di Republika 09 April 1999 lalu dibukukan oleh Mizan (2001). Menurut Kunto, fenomena generasi baru “muslim tanpa masjid” itu sebagai gejala perkotaan, yang dibesarkan oleh suasana keagamaan Islam di sekolah ketimbang oleh masjid. Dalam penilaiannya, sumber pengetahuan keagamaan generasi baru tersebut bukan lembaga-lembaga keagamaan konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau perorangan seperti da’i, ustadz, kiai, dan sebagainya, melainkan melalui sumber-sumber anonim seperti radio, majalah, CD, VCD, internet, televisi, dan sebagainya. Sehingga, bagi Kunto mereka merasa terasing dari umat.
Meskipun Kunto tidak mempertimbangkan sebab kelahiran generasi baru itu sebagai ekses dari ketegangan internal di kalangan Islam sendiri. Kita bisa membayangkan bahwa ada arus ketidakpuasan atau bahkan perlawanan terhadap konservatisme dan monolitisme 'masjid' sebagai simbolisme pelembagaan keagamaan Islam. Pun juga kita memperhitungkan kemungkinannya sebagai 'perlawanan budaya' dari mereka yang berasal dari lingkaran inti umat Islam sendiri terhadap kelembagaan keagamaan di kalangan umat Islam.
Dengan kata lain, fenomena tersebut bisa juga dibaca sebagai otokritik dan potret perlawanan budaya terhadap lembaga-lembaga keagamaan yang hidup di kalangan umat Islam. Bisa jadi yang berlangsung bukannya sekadar munculnya generasi baru muslim 'tanpa masjid' melainkan juga barisan baru muslim 'meninggalkan masjid.' Maksud meninggalkan masjid di sini tidak dalam arti secara fisik (meskipun bisa juga terjadi demikian) namun lebih dalam pengertian simbolik, dalam arti mereka menolak dan meninggalkan masjid dan ormas-ormas Islam lainnya sebagai reference group maupun sebagai basis ideologis dan operasional gerakan mereka.
Jika masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya gagal melakukan ikhtiar transformasi diri sehingga menjadi lebih peduli pada isu-isu populis dan apresiatif terhadap pluralisme, bukan mustahil makin banyak putera-puteri terbaik umat Islam akan memilih jalan 'meninggalkan masjid'.
Bahkan, sedari awal Kunto mengingatkan kita tentang perilaku anak muda ini : “Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas Kongres Umat Islam, MUI, ormas – ormas dan tokoh-tokoh islam lalu menganggapnya bukan muslim” (Mizan 2001;130).
APAKAH HMI VALUES ADA ?
Sebagai organisasi mahasiswa Islam yang sudah matang, HMI telah mengalami periodisasi pasang-surut dalam sejarahnya. HMI misalnya telah melewati pasang naik dalam membangun organisasi hingga upaya institusionalisasi yang rapi dan sistematis sebagai organisasi modern.
Dalam tahap institusionalisasi itu, HMI telah menjadi bagian yang diterima oleh pola politik, religius, atau budaya masyarakat. HMI telah meluas diterima dalam masyarakat, dan menjadi bagian dari struktur sosial masyarakat. Pertumbuhan kelas menengah muslim dalam birokrasi pemerintahan, partai politik, swasta, LSM ataupun akademisi di kampus di tahun 80-90an tak lain karena masuknya kader-kader terbaik HMI.
Meskipun setiap organisasi yang telah mengalami tahap surut semacam ini sangat mungkin berakhir menjadi pembubaran (disolusi). Tapi juga bisa berbalik jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-kondisi sosial menjadi kondusif bagi perkembangan HMI yang lebih adaptif dengan perubahan. Saya lebih memilih untuk optimis dengan pandangan yang terakhir, harapan akan adanya arus balik kebangkitan HMI.
Di titik inilah perlu kita bedakan antara perilaku dan sistem nilai yang suci dari Islam. Karena jika berpegang pada konsep Islam yang sejati, misalnya Sholat, yang di defenisikan al-Quran mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Maka mereka yang sholat dan nyata-nyata korupsi jelas tidak masuk dalam kriteria orang yang melaksanakan sholat. Persis ketika kita mendefenisiskan ‘api’ itu adalah sesuatu yang membakar, maka yang tidak membakar jelas bukan api.
Namun, kita juga tidak dapat menafikan efek pencitraan terhadap Islam sedikit menjadi tercoreng. Karena perilaku buruk yang lebih menonjol di level permukaan, dengan sedikit nalar induktif yang simplistik mereka mudah mengeneralisasi. Untuk itu, soal perilaku ini juga patut kita camkan bersama, bahwa sebagai seorang muslim ataupun kader HMI kita wajib bertanggungjawab untuk menjaga citra positip Islam ataupun HMI di masyarakat. Sebab, antara diri kita dan HMI ibarat dua sisi mata uang yang sulit untuk dipisahkan.
Apalagi, dalam berbagai literatur filsafat moral misalnya, dijelaskan bahwa turunan dari sistem nilai hingga perilaku itu minimal melewati dua tingkatan; norms dan mental model. Norms, bisa merupakan ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur upaya-upaya pencapaian tujuan. Jika values tidak memberikan pengaturan institusional yang persis. Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa bersifat formal, seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga informal.
Namun nilai dan norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan kader, seperti: siapa yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini, bagaimana tindakan-tindakan para pelaksana ini distrukturkan dalam peran dan organisasi. Nah, yang melakukan ini adalah mental model, upaya untuk menyederhanakan realitas yang kadang membingungkan. Termasuk proses modelling atau peneladanan dari senior ke junior.
Sayangnya, di HMI nilai-nilai itu telah dijumudkan sekadar teks yang mati dan kehilangan konteks untuk diimplementasikan. Pun hanya dilihat sebagai persoalan pemberhalaan model Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Cak Nurian. Sehingga, beberapa orang di HMI menyangka dengan mengganti NDP Cak Nur maka HMI akan berubah seketika. Padahal, tak pernah ada penelitian komprehensif sebelumnya yang dilakukan Tim-8, yang meyimpulkan bahwa persoalan mendasar di HMI bermula dari NDP. Saya sedikit pesimistis dengan berubahnya NDP dan bisa dipastikan tak akan berdampak signifikan pada kader. Karena, NDP sebagai doktrin HMI seperti tidak meninggalkan bekas dalam benak kader.
HMI VALUES = NILAI-NILAI ORGANISASI
Sejauh yang saya pahami, NDP HMI telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip kebenaran universal dijadikan sebagai poros sistem keyakinan kader. Kebenaran universal itu tak terbatas pada ruang-waktu, atau biasa pula sebut sebagai teoritical wisdom. Tapi pada saat yang bersamaan, pergumulan dan dinamika sistem keyakinan pada wilayah praktis manusia (peng-amal-annya), meminta kontekstualisasi, disini, hari ini, zaman ini, budaya ini. Atau dengan kata lain, membutuhkan perangkat sistem nilai (values) yang tidak mudah.
Sistem nilai ini kerapkali, menyempit dan meluas, meminjam istilah intelektual liberal Iran Abdul Karim Soroush. Sehingga, jika tidak hati-hati dalam membedakan, mana yang ‘tetap’ dan mana yang ‘berubah’, maka sangat mungkin seorang kader akan terjebak pada kekeliruan, kebingungan, maupun kejumudan dalam menjalankan aktifitas gerakan sebagai konsekuensi teoritis NDP.
Karena pertimbangan tersebut, dirasa perlu bagi kita semua untuk sama-sama mengidentifikasi kembali nilai-nilai organisasi (HMI Values) yang bersifat tetap—dan telah dipahami sebagai common sense di HMI—sebagai core perjuangan kita di HMI.
Sebagai tahap awal untuk memancing upaya penelitian lanjutan yang lebih serius terkait HMI Values, maka dibawah ini saya merinci beberapa butir nilai-nilai organisasi HMI—yang diturunkan dari keislaman, kemahasiswaan dan keindonesiaan—yang penting menjadi pegangan seluruh kader.
Pertama, Kebenaran. Pegangan setiap kader adalah kebenaran agama Islam yang hanief. Dengan cenderung kepada kebenaran, setiap kader dibimbing oleh jalan suci Islam (shirat almustaqim).
Kedua, Intellectual Freedom (Kebebasan Berpikir). Hingga kini saya merasakan manfaat yang besar dengan nilai fundamental dari kebebasan berpikir ini, karena tak pernah ada batasan ataupun kungkungan bagi setiap kader di HMI untuk menyatakan pendapatnya, menerima pengetahuan dari sumber apapun, dan tak ada hak siapapun untuk mengekang potensi dasar fitriah manusia ini.
Ketiga, Inklusifitas (Keterbukaan). Ini hanyalah konsekuensi logis dari kebebasan berpikir. Setiap kader HMI seyogyanya memahami hakikat keterbukaan demi menghindarkan kejumudan kader untuk memperkaya khazanah Islam maupun Indonesia. Soalnya, begitu kecenderungan kader mengarah pada eksklusifitas (ketertutupan) maka alamat lah HMI menjadi organisasi yang terbelakang.
Keempat, Pluralisme. Siapapun yang menginginkan kebebasan ataupun keterbukaan, menjadi niscayalah untuk mengakui pluralisme. Menjadikan pluralisme sebagai pegangan, selaras dengan komitmen kebangsaan yang mau tidak mau harus mengakui keanekaragaman etnis, agama, ras dan bahasa yang ada di tanah air.
Kelima, Idea of Progress. Berarti memandang kehidupan secara positif. Karena sejarah kehidupan manusia dipandang bergerak maju, secara material (duniawi) ataupun spiritual (eskatologis/akhirat).
Keenam, Accademic Excellence (Rasional, Objektif, Ilmiah, Kritis dan Profesional). Pilar-pilar akademis ini, merupayakan sebuah keniscayaan status HMI sebagai organisasi kemahasiswaan. Menjadi bagian dari civitas akademika, berarti harus menjadi insan kampus yang mampu berpikir logis, terstruktur, sesuai kaedah ilmiah dan objektif.
Ketujuh, Integritas Kader (Mandiri, Bertangggung-jawab, Jujur, dan Adil). Ketika kebebasan dibentangkan, maka mau tidak mau integritas akan diuji. Bila kita ingin diakui kebebasan untuk mengambil pilihan politik, pendapat, minat studi dan sebagainya, maka sebagai konsekuensinyaa secara mandiri kita mesti harus mampu untuk mewujudkannya.
Kedelapan, Persaudaraan dan Kemanusiaan. Ajaran Islam begitu kompleks. Urusan melekatkan persaudaraan sesama Islam pun tak luput dari perhatian Islam. Dalam konteks HMI, di sinilah kita merasakan betul bagaimana kuatnya rasa solidaritas dan persaudaraan sesama muslim. Wajarlah jika di lingkungan HMI, antara junior dan senior, terbina hubungan yang sangat dekat. Rupanya karena mendapatkan justifikasi teologis yang kuat. Bahkan, HMI tak berhenti di lingkaran kecil HMI, umat Islam secara keseluruhan di dunia ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari HMI.
Kesembilan, Keberpihakan kepada Mustadhafin. Pilihan keberpihakan kepada mustadhafin (yang tertindas) karena tuntutan doktrin teologis Islam. Mereka yang terindas, tidaklah harus dikategorikan sebagai kalangan miskin. Setiap yang merasa teraniaya akibat perlakukan yang zalim, baik secara politik, sosial, ekonomi ataupun budaya berhak untuk menuntut keadilan. Dan HMI harus berada di garda terdepan untuk melakukan pembelaan atas perlakuan yang semena-mena dari kalangan mustakbirin (penindas).
Terakhir, kesepuluh, Independen. Poin ini sengaja tempatkan dibagian terakhir, karena kesembilan poin sebelumnya akan tegak dengan sempurna bilamana kader HMI ataupun HMI sebagai organisasi bisa independen, bebas dari berbagai conflict of interest yang ada.
Kesepuluh nilai tadi selalu ada dan terangkum dalam kegiatan-kegiatan training kader HMI, yang menitikberatkan pada segi-segi tertentu, meliputi:
  • Watak dan kepribadiannya, yaitu memberikan kesadaran beragama, akhlak dan watak. Dengan modal tersebut diharapkan HMI memiliki nilai idealisme dan moralitas yang memadai.
  • Kemampuan Ilmiah, dimana kader HMI harus memiliki ilmu pengetahuan, intelektualitas dan kebijaksanaan. Mungkin dengan begitu kader HMI diharapkan memiliki kesadaran untuk berpihak terhadap masyarakat kecil.
  • Aspek keterampilan organisasi.
Nilai fundamental HMI tadi, seharusnya menjadi nafas dalam setiap usaha dan strategi untuk perkaderan HMI saat ini, sebagai core kebangkitan kembali HMI. Karena, nilai-nilai fundamental tersebut akan memberikan pemahaman yang jelas kepada semua anggota tentang bagaimana suatu masalah harus dipecahkan oleh HMI.
Nilai-nilai fundamental tersebut akan menjadi budaya organisasi yang melekat pada tindakan semua kader dan akan memberikan stabilitas pada organisasi. Setiap organisasi pada dasarnya akan mempunyai suatu budaya dan, bergantung pada kekuatannya, karena budaya organisasi dapat mempengaruhi makna pada sikap dan perilaku tiap kader-kader organisasi.
Nilai-nilai fundamental yang terinternalisasi di HMI melalui sistem perkaderan dan struktur yang ada. Pada dasarnya akan menunjukan bagaimana kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh HMI. Kebulatan maksud semacam ini akan membina kekohesifan, kesetiaan, dan komitmen terhadap HMI. Dan akan mengurangi kecenderungan kader untuk menjadikan HMI sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi yang akan merugikan HMI, karena kader semacam itu akan tersingkir secara alamiah dari orbit perkaderan.
DARI HMI VALUES KE STRATEGI
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Jhon M. Bryson (2001), Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, ia mengutip dari Lorange (1980) ada empat elemen penting dari sistem perencanaan strategis; “(1) Kemana kita akan pergi ? (misi), (2) Bagaimana kita pergi kesana ? (strategi), (3) Apa blueprint tindakan kita (Anggaran), dan (4) Bagaimana kita tahu jika kita berada di atas jalur? (kontrol)”(Pustaka Pelajar; hal 36).
Terinspirasi dari Jhon M. Bryson, dalam kasus HMI saya kira ada empat komponen dan dimensi yang dapat kita jelaskan sebagai dasar dalam kebijaksanaan organisasi. Tabel dibawah ini mungkin akan sedikit membantu :
Tabel Komponen dan Dimensi dalam Kebijakan Organisasi
Komponen
Dimensi
Cita-cita HMI
Sistem Nilai (HMI Values)
Tujuan dan Sasaran Gerakan HMI
Rencana Strategis HMI
Tekad dan Komitmen Kader
Penguatan Sistem dan Budaya Organisasi
Praktek Operasional
Program Kerja dengan Sistem Evaluasi dan Kontrol
Sumber : Refleksi pribadi
Dalam kaitannya dengan rencana strategis HMI, saya melihat ada dua strategi yang sangat mendasar, yakni (1) strategi struktural dan (2) strategi non struktural. Mengapa ? Karena dengan strategi struktural kita dapat memperjuangkan misi organisasi, baik di internal maupun eksternal, untuk mendobrak akses-akses ekonomi, politik dan kekuasaan, budaya, media dan informasi, pengetahuan, dan pendidikan. Sementara strategi non struktural, terkait dengan mindset, kesadaran, jiwa sosial, dan budaya organisasi yang mungkin telah mapan dan amat sulit dirubah.
STRATEGI STRUKTURAL
Strategi struktural tidak selamanya dalam pengertian menganjurkan revolusi. Ada juga strategi struktural yang memilih reformasi, evolusi, dan gradualisme. Intinya adalah bagaimana merubah struktur soial, politik dan ekonomi. Bagi HMI, strategi struktural ini akan dibagi kepada tiga level; kemahasiswaan, keummatan dan kebangsaan.
Kemahasiswaan
Tesis yang sering kita dengar di tingkat internal HMI, bahwa sekarang ini banyak mahasiswa sudah tidak lagu tertarik menjadi anggota HMI. Jelas, ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan minat ketertarikan HMI tersebut. Menurut saya, minimal ada dua : Pertama, karena kecenderungan mayoritas yang berubah akibat serbuan budaya pop (generasi multitasking). Kedua, akibat upaya sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh para kompetitor utama HMI seperti PKS (KAMMI), HTI (Gema Pembebasan), dan beberapa kantong Salafiah yang sengaja merebut posisi-posisi penting di struktur BEM, MPM, Himpunan Jurusan, dan masjid-masjid kampus. Mereka sengaja mendesain program Asistensi Agama Islam, Inisisasi Kampus (Ospek), serta kegiatan-kegiatan pengajian dan kerohanian Islam di internal kampus sebagai ajang perekrutan terselubung.
Namun masih ada yang cukup menggembirakan, yakni kantong-kantong Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang seni, olah raga, penelitian, minat dan bakat yang hampir tidak bisa dikuasai mereka sama sekali. Karena, selain frame berpikir aktifis UKM yang cenderung bebas, pluralistik, dan terbuka tidak sesuai dengan karakter gerakan Islam transnasional ini, selain itu mereka juga relatif tidak diterima oleh teman-teman UKM. Padahal, jumlah peminat UKM ini jauh lebih besar ketimbang BEM. Nah, saya kira tidak ada salahnya jika anak-anak HMI mulai sekarang menjadikan kantong-kantong UKM sebagai target perkaderan. Biasanya mahasiswa yang cenderung hedonistik, pragmatis, dan study oriented berkumpul di UKM. Menjadi relevanlah dengan agenda kita untuk menjadikan generasi baru “muslim tanpa masjid” sebagai target perkaderan.
Apalagi di kampus-kampus besar sedang digalakkan pendekatan yang bersifat pembaharuan dan kreatif (innovating and creative approach) bagi mahasiswa dengan tradisi baru Ciber Learning Community (E-Un, electronics university). Dengan kondisi ini PB HMI hendaknya segera mendesakkan strategi pembentukan Student Creativity Center di Cabang-Cabang seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai jembatan kader dengan pusat aktifitas mahasiswa seperti unit kegiatan olahraga, seni maupun kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa lainnya.
Sedapat mungkin, lembaga ini merupakan tempat untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menumbuhkan minat bakat, kepemimpinan dan inovasi, termasuk untuk penelitian ataupun bidang usaha seperti enterpreunership atau dalam bentuk busines innovation. Semua kegiatan diatas bisa dikembangkan dengan melakukan upaya sinkronisasi ke jaringan sistem komunikasi atau informasi global. Lima sektor IT sebagai tahap awal yang bisa dikerjakan, yaitu E-Education, E-Government, E-Democracy, E-Business, dan Community-based IT.
Selain itu, yang patut menjadi keperihatinan kita bersama adalah proyek kapitalisasi pendidikan yang melanda hampir semua institusi pendidikan tinggi. Mulai dari status BHMN bagi beberapa PTN, hingga komersialisasi besar-besaran di sektor pendidikan tinggi. Biaya kuliah melonjak naik. Parahnya, mahasiswa miskin terasa tak mungkin lagi untuk mengecap manisnya dunia pendidikan tinggi. Tanggungjawan HMI sebagai organisasi mahasiswalah untuk mengambil sikap dan posisi tegas untuk menolak keras segala macam kebijakan kapitalisasi pendidikan ini yang jelas-jelas telah menyimpang dari pembukaan konstitusi kita, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, HMI secara bersama-sama dengan berbagai elemen gerakan mahasiswa lain harus bahu-membahu bersikap tegas kepada pemerintah untuk mengembalikan esensi dasar bahwa pembiayaan pendidikan merupakan tanggungjawab negara.
Keummatan
Pertama, maraknya cap sesat terhadap berbagai aliran-aliran Islam oleh MUI menimbulkan keprihatinan kita bersama. Bila HMI tetap tidak merespon gejala penyesatan ini, alamatlah umat Islam Indonesia akan mengarah menjadi umat yang tertutup (eksklusif). Kecenderungan fatwa MUI untuk menyesatkan paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme telah sedikit banyak menggagalkan proyek besar pembaharuan Islam yang sejak lama diusung HMI.
Berkaca dari kejadian semacam ini, ada baiknya HMI harus pulang kandang sejenak untuk merefleksikan banyak kejadian umat yang tidak menentu, terutama di lapangan pemikiran. Ikhtiar HMI selama ini untuk menjadi “Laboratorium Pemikiran Islam” di Indonesia harus dihidupkan kembali. Sudah saatnya, HMI kembali Meretas Gerakan Pemikiran Islam Alternatif, ditengah pengkutuban pemikiran yang sangat condong ke liberal (JIL) ataupun sangat fundamental.
Kedua, pernyataan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, yang menyebut Hizbut Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement dan bagian dari gerakan Islam transnasional. Pukulan Hasyim paling keras adalah saat menilai gerakan Islam transnasional memiliki tendensi formalisasi agama ketimbang substansialisasi agama. Malah, gerakan ini menurut Hasyim, telah mengambil-alih masjid yang didirikan warga NU. Dan, Hasyim meminta kalangan NU untuk “menjaga” masjid-masjid tersebut.
Tentu saja, pluralisme HMI tidak sama dengan kosmopolitanisme, relativisme, ataupun sekadar sinkretis semata. Tapi, pluralisme HMI adalah usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan dalam kebhinekaan. Dan terkait, gerakan Islam transnasional saya kira HMI tetap akan mendukung kemendasaran budaya, kebangsaan, dan keumatan yang khas Indonesia.
Ketiga, isu internasional umat Islam.
Kebangsaan
Buah reformasi yang masih bisa kita saksikan ; keran keterbukaan politik dan bangkitnya daerah sebagai konsekuesni desentralisasi (otonomi daerah). Harapan banyak pihak bahwa daerah-daerah seperti Jembrana, Sragen, Tarakan, Cimahi dan lainnya yang mulai menggeliat untuk membangun daerahnya. Disususul oleh kemunculan kepala daerah hasil pilkadasung yang memiliki visi untuk membangun daerahnya. Menyiratkan satu harapan akan masa depan Indonesia yang lebih baik akan muncul dari daerah.
Untuk merespon gairah baru ini, HMI harus merubah orientasi kader ke daerah. Sebab, sudah saatnya kader memperkuat visi lokalitas dan menjunjung tinggi kearifan lokal (local wisdom). HMI Cabang seluruh Indonesia harus memperkuat basis lokal sekaligus berhubungan intensif dengan pemerintahan lokal (local government) dan semua elemen masyarakat lokal untuk agenda “Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Daerah”.
STRATEGI NON STRUKTRAL
Periode kemunduran HMI selalu mendapatkan komentar bermacam-macam oleh banyak pengamat. Tapi, yang paling berkesan, menurut saya, ketika suatu waktu Jalaluddin Rakhmat mengatakan kegagalan HMI bermula dari gagalnya ideologi “HMI-isme”. Pasalnya, sejak tahun 1970-an dalam penilaian Kang Jalal, HMI-isme itu menjadi paradigma gerakan HMI yang meyakini bahwa keterpurukan Indonesia kala itu hanya dapat dirubah dengan cara kader-kader HMI perubahan dari dalam (change from within). Atau dengan kata lain, masuk ke dalam kekuasaan; birokrasi, parpol, dan sebagainya.
Almarhum Kuntowijoyo merekam proses ini dengan sangat baik : “...Jika suatu saat nanti Islam mampu menguasai teknokrasi, perjuangan politik lewat mobilisasi massa tidak begitu relevan lagi. Dan itu bukan mustahil. Teknokrasi tidak berarti jaringan kekuasaan politik, tetapi juga meliputi jaringan bisnis, pendidikan, media massa dan sebagainya. Kita cukup optimis bahwa sudah cukup banyak alumni-alumni HMI misalnya yang aktif dan bergerak di sektor itu. Lewat sektor-sektor itu proses penyadaran dapat dilakukan...Inti umat Islam sudah berada di pusat-pusat perubahan” (Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, hal 194).
Sayangnya, alumni terlalu banyak di sektor kekuasaan, ketimbang di sektor-sektor lain. Menurut Kang Jalal, ketika kekuatan kader-kader HMI di lingkaran kekuasaan telah begitu menggurita, mereka justru kehilangan visi of change yang sebelumnya pernah dicita-citakan untuk merubah bangsa ini dari dalam (change from within). Seperti kata Lord Acton, "power tends to corrupt", manisnya madu kekuasaan telah melenakan aktivis HMI yang sejatinya di dadanya harus ada nilai-nilai `hijau-hitam`.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar