Rabu, 27 Juni 2012

HMI dan Tantangan Abad 21

Pada tanggal 5 Februari 1947 atau bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul awal 1366 H, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh pemuda Lafran Pane dan 17 orang rekannya di Yogyakarta. Berdirinnya HMI pada masa itu tidak terlepas dari kondisi umat dan bangsa yang sedang pada masa transisi yaitu awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar, Agussalim Sitompul mengungkapkan terdapat dua factor utama yang melatarbelakangi berdirinya HMI yaitu, penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan serta adanya kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Dari kedua factor yang melatarbelakangi berdirinya HMI tersebut, dapat dilihat bahwa hakikatnya keberadaan HMI membawa misi keumatan dan misi kebangsaan yaitu untuk menjawab tantangan yang sedang dihadapi umat Islam pada masa itu serta turut meneguhkan kedaulatan bangsa pasca proklamasi kemerdekaan. Hingga kini, keberadaan HMI di Indonesia masih tetap sama yaitu mengemban misi keumatan dan kebangsaan dengan tantangan yang berbeda yaitu globalisasi, tantangan abad 21.
Latar Belakang Singkat Berdirinya HMI
Keberadaan HMI yang telah hampir enam puluh lima tahun di Indonesia, bukanlah sebuah perjalanan singkat. Usia keberadaan tersebut jika diibaratkan dengan umur biologis manusia merupakan umur yang telah sangat matang, telah menempuh berbagai pengalaman hidup, dan dianggap telah berada pada suatu tingkat kebijaksanaan tertentu. Demikian pula keberadaan HMI yang telah lebih dari setengah abad, idealnya menandakan besarnya umur kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin) khususnya di Indonesia.
Keberadaan HMI pada awal berdirinya, tidak diragukan lagi, sangat penting artinya bagi sebuah bangsa yang baru saja merintis kemerdekaannya dan berusaha mempertahankan kedaulatannya yang masih labil. Pada masa itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang baru saja berdaulat, sehingga kedaulatan tersebut masih sangat labil, stabilitas dalam negeri yang masih goyah dan kondisi eksternal bangsa dimana penjajah masih berupaya untuk mengambil tampuk kepemimpinan Indonesia yang baru berdaulat seumur jagung. HMI mengambil peran partisipatif dalam upaya menegakkan marwah bangsa, bahkan turut serta melakukan perjuangan secara fisik melawan pihat-pihak yang ingin menggoyangkan kedaulatan bangsa. Terbukti, pada saat agresi Belanda, HMI turut serta membantu pemerintah untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk diantaranya, turun langsung mengangkat senjata, menjadi staff, penerangan dan perhubungan. Selain itu, HMI juga membentuk badan khusus untuk membantu pemerintah dalam upaya menumpas gerakan PKI, melawan agresor-agresor lainnya, hingga mengabaikan pembinaan terhadap internal HMI sendiri. Semua itu dilakukan sebagai upaya nyata HMI untuk merealisasikan misi kebangsaannya.
Sementara itu, pada awal berdirinya HMI juga dihadapkan pada permasalahan umat yang sebenarnya merupakan gejala global dari permasalahan umat Islam dunia. Pada masa itu, umat Islam dapat dikatakan  dalam kejumudan, dimana pemahaman terhadap nilai-nilai keislaman yang minim serta ritual-ritual keagamaan yang dijalankan dengan pemahaman keagamaan yang terbatas. Permasalahan-permasalahan keagamaan pada saat itu semakin kentara terlihat pasca kedaulatan bangsa Indonesia. Penjajahan yang sekian lama terjadi pada bangsa Indonesia menyisakan diantaranya  “sekularisme” sebagai salah satu produk dari pendidikan barat. “sekularisme” inilah yang kemudian menjadikan pemahaman keagamaan dan praktek keagamaan umat semakin dangkal. Dalam hal ini, HMI mengambil peran sebagai bagian dari umat Islam yang telah tercerahkan, yang berupaya untuk menjadi kritis dengan membawa pembaharuan-pembaharuan cara berfikir dan menghayati praktek keagamaan dengan lebih baik. Keberadaan HMI diharapkan mampu membebaskan umat dari kejumudan beragama.
Tantangan Abad 21
Saat ini Indonesia telah menjadi bangsa yang cukup mapan pada usia kemerdekaan yang mencapai enam puluh lima tahun. enam puluh lima tahun telah berlalu semenjak kemerdekaan diproklamasikan. Enam puluh lima tahun sudah penjajah meninggalkan bangsa ini. Berbagai upaya telah dilakukan bangsa ini untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Namun penjajahan tak lantas pupus dari bumi Indonesia. Penjajahan itu masih ada meski tidak lagi dalam bentuk fisik. Bentuk penjajahan kali ini lebih kompleks dan tak kasat mata. Penjajahan masa kini adalah bentuk propaganda halus kekuasaan global yang biasa diistilahkan dengan globalisasi, jika bangsa Indonesia tak pandai-pandai menjaga jati dirinya.
Di satu sisi, globalisasi menawarkan kemudahan, kebebasan, alternative baru dan perubahan dalam banyak hal. Jejak keberadaanya dapat terlihat melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya terutama dalam lingkungan, ekonomi, social, budaya dan politik. Salah satu produk globalisasi yang paling jelas adalah perdagangan bebas. Setiap bangsa, mau tidak mau, siap tidak siap harus menghadapi kompetisi terbuka dengan bangsa lainnya, hal ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya sekat-sekat yang membatasi kegiatan ekonomi. Globalisasi ini juga ditandai dengan kemajuan yang massive di bidang teknologi informasi dan transportasi.
Namun, di sisi lain, globalisasi juga secara tak disadari membawa perubahan pada aspek social budaya. Pengaruhnya terutama dapat dilihat pada generasi muda bangsa ini. Begitu banyak generasi muda bangsa ini yang lebih bangga menggunakan kebudayaan bangsa lain, bahkan sampai melupakan kebudayaan bangsa sendiri. Proses masuknya kebudayaan bangsa asing tersebut juga merupakan akibat dari semakin mudah dan terbukanya akses interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya antara bangsa satu dengan bangsa lainnya. Dampak lebih lanjut, masuknya budaya asing yang tanpa filter jati diri bangsa sendiri ini akhirnya dapat membentuk sikap materialis, konsumtif, hedonis, pragmatis, dn individualistis.
Sebenarnya, globalisasi tidak selamanya membawa perubahan dalam artian negative. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa banyak pula perubahan dalam artian positif yang ditawarkan oleh globalisasi. Globalisasi secara tidak langsung sebenarnya dapat mendorong tumbuhnya sikap mental yang kompetitif, mandiri, disiplin, etos kerja yang tinggi, profesionalisme dan sebagainya. Namun, untuk mampu mengambil manfaat dari globalisasi tersebut diperlukan bangsa yang mampu menjunjung tinggi jati dirinya sendiri serta bersikap bijak dalam menyikapi segala jenis perubahan yang ditawarkan oleh globalisasi. Bangsa Indonesia harus mampu berperan aktif dalam kompetisi global tanpa terhanyut dalam dampak globalisasinya.
Oleh karena itu diperlukan anak bangsa yang berkarakter dan mencintai bangsanya sendiri. Anak bangsa ini merupakan bagian dari generasi muda yang telah tercerahkan serta senantiasa berorientasi pada kemajuan umat dan bangsa. Anak bangsa yang mempunyai integritas agar tidak mudah terpengaruh pada nilai-nilai kebudayaan lain yang dapat melunturkan kebudayaan sendiri. Anak bangsa yang memiliki intelektualitas agar tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda asing yang bersifat negative. Anak bangsa yang mampu bersaing secara professional dalam ranah global, yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidangnya masing-masing. Anak bangsa tersebut adalah generasi muda baik pelajar, mahasiswa maupun pemuda.
Dengan demikian, pada abad ke 21 ini, HMI memiliki peran dan fungsi yang agak berbeda dengan peran dan fungsi yang diembannya pada awal kemerdekaan, namun tetap memiliki misi yang sama yaitu misi keumatan dan kebangsaan. Jika pada awal kemerdekaan , HMI berpartisipasi aktif dalam bentuk perjuangan langsung menghadapi penjajah umat dan bangsa yang nyata secara fisik, maka pada abad ke 21 ini, HMI harus berjuang melawan penjajahan dalam bentuk baru yang tak kasat mata dan lebih kompleks. Kini, HMI harus mampu menegaskan karakteristik perjuangan dan kualitas individu kadernya agar mampu menjadi anak bangsa yang berkarakter, kompetitif dan berpandangan ke depan yang ada mampu menjawab tantangan abad ke 21.
HMI Menjawab Tantangan Abad 21
Dalam perjalanan pasca proklamasi, untuk menyesuaikan dengan konteks keummatan dan kebangsaan saat itu, HMI kembali menegaskan tujuannya sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 4 AD/ART HMI, yaitu: Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Meski berbeda dengan tujuan awal berdirinya HMI dua tahun pasca proklamasi silam, namun tujuan tersebut secara tersirat memiliki benang merah yang sama dan tidak akan berubah karena HMI lahir dari semangat keislaman dan keindonesiaan, yaitu misi keummatan dan kebangsaan. Hal tersebut adalah nafas perjuangan HMI.
Derivasi dari tujuan HMI sebagaimana tersebut di atas, maka terdapat lima kualitas individu yang diharapkan terdapat dalam diri setiap manusia yang beriman, berilmu serta menjalankan amal kemanusiaan. Konsep manusia seperti ini yang di dalam HMI kemudian dikenal dengan lima kualitas insane cita. Lima kualitas insane cita tersebut diantaranya adalah kualitas insane akademis, kualitas insane pencipta, kualitas insane pengabdi, kualitas insane yang bernafaskan Islam, dan kualitas insane yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Kualitas insane akademis adalah individu yang berpendidikan tinggi secara formal, berpengetahuan luas, rasional, objektif, kritis dan ilmiah. Individu tersebut harus mampu secara teoritis dan teknik dalam bidang keilmuan tertentu sesuai dengan prinsip perkembangan. Pribadi individu seperti ini dalam konteks abad ke 21 merupakan pribadi yang professional sehingga mampu bersaing pada bidang yang dikuasainya.
Kualitas insane pencipta adalah individu yang kreatif, independen dan terbuka serta mampu menciptakan dan melihat peluang-peluang baru, didukung dengan kemampuan akademisnya untuk sesuatu yang lebih baik. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi seperti ini merupakan pribadi yang sangat kompetitif, tidak hanya mengandalkan sesuatu yang biasa tetapi mampu melakukan inovasi terhadap apa yang dikerjakannya.
Kualitas insane pengabdi adalah individu yang mapan secara akademis, mampu berbuat secara maksimal dan mengamalkan ilmu serta kemampuannya untuk membuat lingkungan dan orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Pribadi seperti ini selain memiliki keterampilan, profesionalisme dan sangat kompetitif, ia juga mampu menunjukkan amal baktinya terhadap sesame. Sementara budaya asing yang dibawa oleh globalisasi menawarkan sikap individualistis dan tidak perduli terhadap sesame, seorang individu dengan kualitas insane pengabdi memiliki integritas untuk tetap memegang teguh nilai-nilai kebersamaan dan mementingkan orang lain.
Kualitas insane yang bernafaskan Islam adalah individu dengan kecerdasan intelektual, emosional serta spiritual yang seimbang. Pribadi ini tidak hanya cerdas, berketerampilan, rela beramal dengan kemampuan yang dimilikinya, tetapi juga menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi seperti ini jelas akan menjadi pribadi yang unggul, dapat menangkap peluang ditengah arus globalisasi tanpa ikut terhanyut dengan budaya-budaya negative yang dibawa oleh globalisasi itu sendiri.
Kualitas insane yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT adalah individu yang akademis, mampu mencipta, rela mengabdi, menjunjung tinggi serta menerapkan nilai-nilai keislaman serta memiliki jati diri dan integritas pribadi yang mapan. Pribadi ini adalah pribadi yang bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang lain, agama serta bangsanya. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi ini adalah pribadi yang unggul, yang mampu mewarnai, menegaskan jati dirinya di tengah arus globalisasi. Inilah wujud insane paripurna yang senantiasa diharapkan agama dan bangsa, yang tidak hanya baik secara individu, tetapi juga mampu membuat orang lain dan lingkungan sekitarnya menjadi baik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suardi Herik (2010: 73) bahwa pada pokoknya insane cita HMI merupakan “man of future”, yaitu pribadi pelopor yang berpandangan jauh ke depan, bersikap terbuka, professional dalam bidangnya dan melakukan upaya-upaya kooperatif untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Jika HMI mampu mengejawantahkan tujuannya yang sempurna secara konsep tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa HMI akan mampu bertahan bahkan menjadi pemenang pada kancah tantangan abad ke 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar