Pada
tanggal 5 Februari 1947 atau bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul awal
1366 H, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh pemuda Lafran Pane
dan 17 orang rekannya di Yogyakarta. Berdirinnya HMI pada masa itu
tidak terlepas dari kondisi umat dan bangsa yang sedang pada masa
transisi yaitu awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Secara garis besar, Agussalim Sitompul mengungkapkan terdapat
dua factor utama yang melatarbelakangi berdirinya HMI yaitu, penjajahan
Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan serta adanya
kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam. Dari kedua factor yang melatarbelakangi
berdirinya HMI tersebut, dapat dilihat bahwa hakikatnya keberadaan HMI
membawa misi keumatan dan misi kebangsaan yaitu untuk menjawab tantangan
yang sedang dihadapi umat Islam pada masa itu serta turut meneguhkan
kedaulatan bangsa pasca proklamasi kemerdekaan. Hingga kini, keberadaan
HMI di Indonesia masih tetap sama yaitu mengemban misi keumatan dan
kebangsaan dengan tantangan yang berbeda yaitu globalisasi, tantangan
abad 21.
Latar Belakang Singkat Berdirinya HMI
Keberadaan
HMI yang telah hampir enam puluh lima tahun di Indonesia, bukanlah
sebuah perjalanan singkat. Usia keberadaan tersebut jika diibaratkan
dengan umur biologis manusia merupakan umur yang telah sangat matang,
telah menempuh berbagai pengalaman hidup, dan dianggap telah berada pada
suatu tingkat kebijaksanaan tertentu. Demikian pula keberadaan HMI yang
telah lebih dari setengah abad, idealnya menandakan besarnya umur
kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin) khususnya di Indonesia.
Keberadaan
HMI pada awal berdirinya, tidak diragukan lagi, sangat penting artinya
bagi sebuah bangsa yang baru saja merintis kemerdekaannya dan berusaha
mempertahankan kedaulatannya yang masih labil. Pada masa itu, bangsa
Indonesia adalah bangsa yang baru saja berdaulat, sehingga kedaulatan
tersebut masih sangat labil, stabilitas dalam negeri yang masih goyah
dan kondisi eksternal bangsa dimana penjajah masih berupaya untuk
mengambil tampuk kepemimpinan Indonesia yang baru berdaulat seumur
jagung. HMI mengambil peran partisipatif dalam upaya menegakkan marwah
bangsa, bahkan turut serta melakukan perjuangan secara fisik melawan
pihat-pihak yang ingin menggoyangkan kedaulatan bangsa. Terbukti, pada
saat agresi Belanda, HMI turut serta membantu pemerintah untuk melakukan
perlawanan dalam berbagai bentuk diantaranya, turun langsung mengangkat
senjata, menjadi staff, penerangan dan perhubungan. Selain itu, HMI
juga membentuk badan khusus untuk membantu pemerintah dalam upaya
menumpas gerakan PKI, melawan agresor-agresor lainnya, hingga
mengabaikan pembinaan terhadap internal HMI sendiri. Semua itu dilakukan
sebagai upaya nyata HMI untuk merealisasikan misi kebangsaannya.
Sementara
itu, pada awal berdirinya HMI juga dihadapkan pada permasalahan umat
yang sebenarnya merupakan gejala global dari permasalahan umat Islam
dunia. Pada masa itu, umat Islam dapat dikatakan dalam kejumudan,
dimana pemahaman terhadap nilai-nilai keislaman yang minim serta
ritual-ritual keagamaan yang dijalankan dengan pemahaman keagamaan yang
terbatas. Permasalahan-permasalahan keagamaan pada saat itu semakin
kentara terlihat pasca kedaulatan bangsa Indonesia. Penjajahan yang
sekian lama terjadi pada bangsa Indonesia menyisakan diantaranya
“sekularisme” sebagai salah satu produk dari pendidikan barat.
“sekularisme” inilah yang kemudian menjadikan pemahaman keagamaan dan
praktek keagamaan umat semakin dangkal. Dalam hal ini, HMI mengambil
peran sebagai bagian dari umat Islam yang telah tercerahkan, yang
berupaya untuk menjadi kritis dengan membawa pembaharuan-pembaharuan
cara berfikir dan menghayati praktek keagamaan dengan lebih baik.
Keberadaan HMI diharapkan mampu membebaskan umat dari kejumudan
beragama.
Tantangan Abad 21
Saat
ini Indonesia telah menjadi bangsa yang cukup mapan pada usia
kemerdekaan yang mencapai enam puluh lima tahun. enam puluh lima tahun
telah berlalu semenjak kemerdekaan diproklamasikan. Enam puluh lima
tahun sudah penjajah meninggalkan bangsa ini. Berbagai upaya telah
dilakukan bangsa ini untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Namun
penjajahan tak lantas pupus dari bumi Indonesia. Penjajahan itu masih
ada meski tidak lagi dalam bentuk fisik. Bentuk penjajahan kali ini
lebih kompleks dan tak kasat mata. Penjajahan masa kini adalah bentuk
propaganda halus kekuasaan global yang biasa diistilahkan dengan
globalisasi, jika bangsa Indonesia tak pandai-pandai menjaga jati
dirinya.
Di
satu sisi, globalisasi menawarkan kemudahan, kebebasan, alternative
baru dan perubahan dalam banyak hal. Jejak keberadaanya dapat terlihat
melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya terutama dalam
lingkungan, ekonomi, social, budaya dan politik. Salah satu produk
globalisasi yang paling jelas adalah perdagangan bebas. Setiap bangsa,
mau tidak mau, siap tidak siap harus menghadapi kompetisi terbuka dengan
bangsa lainnya, hal ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya
sekat-sekat yang membatasi kegiatan ekonomi. Globalisasi ini juga
ditandai dengan kemajuan yang massive di bidang teknologi informasi dan
transportasi.
Namun,
di sisi lain, globalisasi juga secara tak disadari membawa perubahan
pada aspek social budaya. Pengaruhnya terutama dapat dilihat pada
generasi muda bangsa ini. Begitu banyak generasi muda bangsa ini yang
lebih bangga menggunakan kebudayaan bangsa lain, bahkan sampai melupakan
kebudayaan bangsa sendiri. Proses masuknya kebudayaan bangsa asing
tersebut juga merupakan akibat dari semakin mudah dan terbukanya akses
interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya antara bangsa satu dengan
bangsa lainnya. Dampak lebih lanjut, masuknya budaya asing yang tanpa
filter jati diri bangsa sendiri ini akhirnya dapat membentuk sikap
materialis, konsumtif, hedonis, pragmatis, dn individualistis.
Sebenarnya,
globalisasi tidak selamanya membawa perubahan dalam artian negative.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa banyak pula perubahan
dalam artian positif yang ditawarkan oleh globalisasi. Globalisasi
secara tidak langsung sebenarnya dapat mendorong tumbuhnya sikap mental
yang kompetitif, mandiri, disiplin, etos kerja yang tinggi,
profesionalisme dan sebagainya. Namun, untuk mampu mengambil manfaat
dari globalisasi tersebut diperlukan bangsa yang mampu menjunjung tinggi
jati dirinya sendiri serta bersikap bijak dalam menyikapi segala jenis
perubahan yang ditawarkan oleh globalisasi. Bangsa Indonesia harus mampu
berperan aktif dalam kompetisi global tanpa terhanyut dalam dampak
globalisasinya.
Oleh
karena itu diperlukan anak bangsa yang berkarakter dan mencintai
bangsanya sendiri. Anak bangsa ini merupakan bagian dari generasi muda
yang telah tercerahkan serta senantiasa berorientasi pada kemajuan umat
dan bangsa. Anak bangsa yang mempunyai integritas agar tidak mudah
terpengaruh pada nilai-nilai kebudayaan lain yang dapat melunturkan
kebudayaan sendiri. Anak bangsa yang memiliki intelektualitas agar tidak
mudah dipengaruhi oleh propaganda asing yang bersifat negative. Anak
bangsa yang mampu bersaing secara professional dalam ranah global, yang
memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidangnya masing-masing. Anak
bangsa tersebut adalah generasi muda baik pelajar, mahasiswa maupun
pemuda.
Dengan
demikian, pada abad ke 21 ini, HMI memiliki peran dan fungsi yang agak
berbeda dengan peran dan fungsi yang diembannya pada awal kemerdekaan,
namun tetap memiliki misi yang sama yaitu misi keumatan dan kebangsaan.
Jika pada awal kemerdekaan , HMI berpartisipasi aktif dalam bentuk
perjuangan langsung menghadapi penjajah umat dan bangsa yang nyata
secara fisik, maka pada abad ke 21 ini, HMI harus berjuang melawan
penjajahan dalam bentuk baru yang tak kasat mata dan lebih kompleks.
Kini, HMI harus mampu menegaskan karakteristik perjuangan dan kualitas
individu kadernya agar mampu menjadi anak bangsa yang berkarakter,
kompetitif dan berpandangan ke depan yang ada mampu menjawab tantangan
abad ke 21.
HMI Menjawab Tantangan Abad 21
Dalam
perjalanan pasca proklamasi, untuk menyesuaikan dengan konteks
keummatan dan kebangsaan saat itu, HMI kembali menegaskan tujuannya
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 4 AD/ART HMI, yaitu: Terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT.
Meski
berbeda dengan tujuan awal berdirinya HMI dua tahun pasca proklamasi
silam, namun tujuan tersebut secara tersirat memiliki benang merah yang
sama dan tidak akan berubah karena HMI lahir dari semangat keislaman dan
keindonesiaan, yaitu misi keummatan dan kebangsaan. Hal tersebut adalah
nafas perjuangan HMI.
Derivasi
dari tujuan HMI sebagaimana tersebut di atas, maka terdapat lima
kualitas individu yang diharapkan terdapat dalam diri setiap manusia
yang beriman, berilmu serta menjalankan amal kemanusiaan. Konsep manusia
seperti ini yang di dalam HMI kemudian dikenal dengan lima kualitas
insane cita. Lima kualitas insane cita tersebut diantaranya adalah
kualitas insane akademis, kualitas insane pencipta, kualitas insane
pengabdi, kualitas insane yang bernafaskan Islam, dan kualitas insane
yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT.
Kualitas
insane akademis adalah individu yang berpendidikan tinggi secara
formal, berpengetahuan luas, rasional, objektif, kritis dan ilmiah.
Individu tersebut harus mampu secara teoritis dan teknik dalam bidang
keilmuan tertentu sesuai dengan prinsip perkembangan. Pribadi individu
seperti ini dalam konteks abad ke 21 merupakan pribadi yang professional
sehingga mampu bersaing pada bidang yang dikuasainya.
Kualitas
insane pencipta adalah individu yang kreatif, independen dan terbuka
serta mampu menciptakan dan melihat peluang-peluang baru, didukung
dengan kemampuan akademisnya untuk sesuatu yang lebih baik. Dalam
menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi seperti ini merupakan pribadi
yang sangat kompetitif, tidak hanya mengandalkan sesuatu yang biasa
tetapi mampu melakukan inovasi terhadap apa yang dikerjakannya.
Kualitas
insane pengabdi adalah individu yang mapan secara akademis, mampu
berbuat secara maksimal dan mengamalkan ilmu serta kemampuannya untuk
membuat lingkungan dan orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Pribadi
seperti ini selain memiliki keterampilan, profesionalisme dan sangat
kompetitif, ia juga mampu menunjukkan amal baktinya terhadap sesame.
Sementara budaya asing yang dibawa oleh globalisasi menawarkan sikap
individualistis dan tidak perduli terhadap sesame, seorang individu
dengan kualitas insane pengabdi memiliki integritas untuk tetap memegang
teguh nilai-nilai kebersamaan dan mementingkan orang lain.
Kualitas
insane yang bernafaskan Islam adalah individu dengan kecerdasan
intelektual, emosional serta spiritual yang seimbang. Pribadi ini tidak
hanya cerdas, berketerampilan, rela beramal dengan kemampuan yang
dimilikinya, tetapi juga menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai
keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi tantangan abad
ke 21, pribadi seperti ini jelas akan menjadi pribadi yang unggul, dapat
menangkap peluang ditengah arus globalisasi tanpa ikut terhanyut dengan
budaya-budaya negative yang dibawa oleh globalisasi itu sendiri.
Kualitas
insane yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur
yang diridhoi Allah SWT adalah individu yang akademis, mampu mencipta,
rela mengabdi, menjunjung tinggi serta menerapkan nilai-nilai keislaman
serta memiliki jati diri dan integritas pribadi yang mapan. Pribadi ini
adalah pribadi yang bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang lain,
agama serta bangsanya. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi
ini adalah pribadi yang unggul, yang mampu mewarnai, menegaskan jati
dirinya di tengah arus globalisasi. Inilah wujud insane paripurna yang
senantiasa diharapkan agama dan bangsa, yang tidak hanya baik secara
individu, tetapi juga mampu membuat orang lain dan lingkungan sekitarnya
menjadi baik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suardi Herik (2010: 73) bahwa pada pokoknya insane cita HMI merupakan “man of future”,
yaitu pribadi pelopor yang berpandangan jauh ke depan, bersikap
terbuka, professional dalam bidangnya dan melakukan upaya-upaya
kooperatif untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Jika HMI mampu
mengejawantahkan tujuannya yang sempurna secara konsep tersebut, maka
sudah dapat dipastikan bahwa HMI akan mampu bertahan bahkan menjadi
pemenang pada kancah tantangan abad ke 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar