Rabu, 27 Juni 2012

MEMORI PENJELASAN TENTANG ISLAM SEBAGAI AZAS HMI

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-
Maidah : 3).
“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku
tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada
orang-orang yang selalu berbuat (progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan
untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fi trah kemanusiaannya yakni
sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata
ke hadirat-Nya.

Iradat Allah Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality
manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial,
serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan
hidup di dunia baik secara individual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual
akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan
kesadaran kolektif yang memuat pemahaman/kesadaran, kepentingan, struktur
dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada
pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan
menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat
(Pengasih), barr (Pemula), ghafur (Pemaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat
baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang
kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan
(politik, ekonomi dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami
marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifi kan dalam
mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan
distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara
Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang
antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari
politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5
Februari 1974 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-
Islaman dalam berbagai aspek ke-Indonesian.
Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai
interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok
penekan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan
adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level
kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai
pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afi n.
Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi
yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara
nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity)
memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul
adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang
mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifi tas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung
tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang
membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung
jawab kebangsaan, maka pada Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10
Oktober 1971 terjadilah proses justifi kasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran
Dasar.
Orientasi aktifi tas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi
menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila
sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses
stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi
aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar
organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap
institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai
identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di
Padang, Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para
penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun
obyektifi kasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari
kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh
eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin
meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi
secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan
pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI
bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban
secara integralistik, trasedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian
kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta
prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong
terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan
menyerahkan semua demi ridha-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar