Sabtu, 30 Juni 2012

IDEOLOGI, POLITIK DAN STRATAK


Perang dan Politik
Pengertian perang merupakan lebih sekedar suatu urusan politik melalui cara-cara lain. Sedangkan politik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Menurut Mao Tse Tsung, pengertian perang dan politik pada hakekatnya sama, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan/maksud, Cuma bentuknya berbeda.
Arti Stratak Dalam Perang Dan Politik
Taktik adalah penggunaan kekuatan untuk memenangkan suatu pertempuran. Strategi adalah memanfaatkan pertempuran untuk mengakhiri peperangan. Memimpin bala tentara untuk mengalahkan musuh dan memenangkan suatu pertempuran bukanlah segala-galanya. Taktik adalah bagaimana menentukan sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu. Sedangkan strategi adalah bagaimana menggunakan peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai rencana perjuangan. Dalam politik tidak dapat dibayangkan kapan idiologi akan terlaksana, karenanya strategi dalam politik tidak dapat meliputi sampai tercapainya tujuan (ideology), karenanya hanya meliputi jangka waktu tertentu.
Hubungan Taktik Dan Strategi
Taktik adalah bagian dari strategi. Karenanya taktik baru tunduk dan mengabdi kepada strategi. Rencana perjuangan (strategi) meliputi perjuangan secara menyeluruh baik dalam hubungan daerah, nasional dan internasional maupun mengenai semua segi penghidupan dan kehidupan masyarakat/Negara, ekonomi, hankam, kebudayaan, agama dan lain-lain.
Kedudukan Stratak Dalam Perjuangan Ideology
Stratak tidaklah berdiri sendiri melainkan hanya merupakan alat pelaksana untuk mencapai tujuan (ideology. Karenanya stratak harus mengabdi kepada perjuangan untuk mencapai tujuan odeologi.
Tugas Utama Strategi Dan Taktik
Sebagai cara menggunakan organisasi untuk mencapai rencana perjuangan dalam jangka waktu tertentu, serta sebagai cara berjuang menentukan sikap pada saat tertentu menghadapi masalah politik tertentu, maka tugas stratak adalah menciptakan, memelihara, dan menambah syarat-syarat yang akan membawa kepada tujuan. Syarat-syarat yang meliputi kekuatan fisik berupa tenaga manusia, kekuatan mental, kekuatan materil serta posisi didalam Negara dan masyarakat. Tegasnya tugas stratak adalah untuk machts-vorming dan macht-anwending.
Macht : power = kekuasaan
Kracht : force kekuatan
Power : force + position
Macht = kracht + posisi
Kekuasaan = kekuatan + posisi
Position without force = nekad position
Force without position nekad force
Posisi tanpa kekuatan = posisi mentah
Kekautan tanpa posisi = kekuatan mentah
Position – force without ideologi = nekad power
Posisi tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan. Posisi yang baik = separuh kekuatan. Posisi strategis adalah menentukan berhasil tidaknya rencana perjuangan (strategi). Posisi taktis menentukan berhasil tidaknya langkah-langkah taktik. Machts-vorming dan machts-anwending yang menjadi tugas stratak tidak lain tujuannya melainkan apa yang disebut Mao Tse Tung: bahwa tugas stratak ialah untuk mempertahankan/menambah kekuatan dan atau posisi sendiri serta menghancurkan atau mengurangi kekuatan dan atau posisi lawan. Baik buruknya suatu staratak ditentukan oleh berhasil tidaknya mempertahankan kekuatan sendiri atau mengurangi kekuatan lawan. Demikian pula baik buruknya leadership tidak terletak pada tegas atau tidaknya, berani atau tidak, populer atau tidak melainkan kepada hasil kepemimpinannya dan hasil dalam kepemimpinan ialah apa saja yang dapat mempertahankan kekuatan/posisi sendiri serta yang dapat mengurangi kekuatan atau posisi lawan.
Dasar-Dasar Menyusun Startegi
  1. Rencana perjuangan yang merupakan unsur pokok dan stretegi adalah menetapkan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi dalam jangka waktu tertentu. Besar kecilnya sasaran yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu disesuaikan dengan kemampuan organisasi.
  2. Jangka waktu merupakan unsur strategi
  3. Rencana strategi garuslah banyak memiliki sasaran alternatif
  4. Sasaran yang hendak dicapai dengan rencana strategis adalah selalu dalam rangka machts-vorming.
Dasar-Dasar Membentuk Taktik
Taktk adalah menentukan langkah atau sikap pada saat tertentu, menghadapi peristiwa politik tertentu.
  1. Fleksibilitas
Sikap atau langkah tidak mutlak menuju pada satu arah saja melainkan dapat berubah-ubah menurut kondisi baik kondisi objektif maupun kondisi subjektif. Sebuah rencana harus mempertimbangkan kekautan lawan untuk menggagalkan rencana tersebut. Karena itu, apa yang akan dilakukan oleh musuh/lawan terhadap kita harus selalu dipertimbangkan.
Jika anda mengetahui tentang musuh anda dan mengetahui tentang diri anda sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil yang diperoleh dari ratusan pertempuran. Jika anda mengetahui tentang diri anda sendiri, tetapi tidak mengetahui tentang musuh anda , untuk mendapatkan suatu kemenangan anda akan menderita kekalahan. Jika anda tidak mengetahui baik diri anda maupun musuh anda, anda akan mengalami kekalahan dalam setiap pertempuran.
Seni peperangan mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan datang, tapi mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan menyerang kita, tapi mengajarkan kita untuk mempersiapkan posisi kita agar tidak terkelahkan.
  1. Orientation, Evaluation and Estimation
Sebelum menentukan sikap atau langkah taktis, harus melihat keadaan secara tepat. Kemudian menilai keadaan itu dihubungkan dengan keadaan kita dan kehendak lawan dan sesudahnya lalu menentukan langkah dan mengira-ngira bagaimana hasilnya nanti. Hasil tidak dapat dipastikan tapi dengan orientasi dan evaluasi yang tepat akan terbayang ada tidaknya kans untuk hasil. Setelah sasaran taktis ditetapkan sekaligus sasaran alternatifnya atau dengan bahasa populer; kita menetapkan program minimum.
  1. Kerahasiaan
biar lawan meraba-raba apa langkah yang akan kita ambil agar mereka tidak dapat menghalang-halangi.
  1. Gerak Tipu
  2. Lima S
  • sasaran
  • sarana
  • sandaran
  • sistem
  • saat
  1. Perpaduan Kondisi Subjektif dan Kondisi Objektif
Kondisi subjektif ialah mengenai kekuatan atau keadaan organisasi sendiri. Kondisi objektif ialah mengenai keadaan, situasi atau iklim politik. Jika kondisi subjektif baik tetapi kondisi objektif tidak baik taktik tidak akan berhasil. Begitupun sebaliknya.
Hukum-Hukum Stratak
  1. Kwantitas
Jumlah yang besar akan mengalahkan jumlah yang kecil. Pihak yang berjumlah kecil tidak boleh menyerang musuh yang berjumlah besar. Jika musuh yang berjumlah besar menyerang pihak yang berjumlah kecil hendaknya menyingkir. Musuh yang berjumlah besar tidak dapat dihancurkan sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit dan secara terus menerus. Kehancuran sedikit demi sedikit disebabkan oleh kesalahannya sendiri, karenanya dengan jalan provokasi atau lain usahakan di melakukan kesalahan sikap atau gerakan yang salah.
  1. Kwalitas dan Kwantitas
Kurang dalam kwantitas harus diimbangi dengan kelebihan dalam kwantitas. Kurang dalam kwantitas harus diimbangi dengan kelebihan kwantitas.
  1. Posisi
Posisi yang baik adalah separuh kekuatan. Posisi yang tidak baik memerlukan dua kali kekuatan.
  1. Cadangan
Pihak yang mempunyai cadangan, walaupun telah mundur dan kalah akan dapat maju kembali. Jika musuh sedang kalah dan mundur, kejarlah. Hancurkan cadangan musuh sebelum musuhmaju dan bangkit kembali dengan cadangannya.
  1. Kawan, Sekutu dan Lawan
Secara ideologis, kawan adalah yang seideologi. Secara strategis sekutu harus selalu diperbanyak dan pihak-pihak lawan harus dikurangi. Musuh nomor satu adalah golongan terbesar yang ideologinya membahayakan kehidupan ideologi sendiri. Sekutu dan musuh nomor satu adalah lawan. Lawan dan sekutu nomor satu adalah musuh. Antara sekutu dan musuh terdapat golongan-golongan yang bukan musuh dan bukan sekutu. Golongan ini pada suatu saat dapat menjadi musuh, pada saat lain menjadi sekutu dan pada satu ketika dapat pula sekaligus menjadi sekutu dan musuh.
  1. Devide et empera
Pecah belah musuh dan hancurkan dulu yang besar.
  1. Menyerang adalah Pertahanan yang Terbaik.
Yang menang ialah yang selalu pegang inisiatif
  1. Biarkan lawan bergerak menurut inisiatif kita pada saat dan tempat kita pilih. Biarkan lawan beraksi terus terhadap isue-isue yang kita lontarkan.
  2. The End Justifies the Means
Tujuan membenarkan setiap cara,sepanjang tidak bertentangan dengan kekuatan ideologi serta tidak membawa akibat yang dapat merugikan sendiri.

Jumat, 29 Juni 2012

HMI CABANG BARABAI


Sejarah Berdirinya HMI di Barabai
            Hidupnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di kota Barabai dimulai dari berdirinya kampus UNISKA (Universitas Islam kalimantan) sekitar tahun 1961. Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) lahir atas gagasan para tokoh-tokoh agama dan tuntutan masyarakat Kalimantan akan adanya perguruan tinggi yang bernafaskan Islam dan melahirkan intelektual muslim.
Berdirinya UNISKA, diawali dengan Pendirian UNISAN (Universitas Islam Antasari) pada tahun 1961 atas ide almarhum K.H. Zafri Zamzam. UNISKA sejak berdirinya telah mempunyai 3 Fakultas yang letaknya berbeda-beda daerah. Fakultas Syari’ah di kota Banjarmasin (sekarang menjadi IAIN Antasari Banjarmasin), Fakultas Tarbiyah di Kota Barabai (sekarang menjadi STAI Al-Washliyah Barabai), dan Fakultas Ushuluddin Da’wah di Amuntai (sekarang STAI Rakha’ Amuntai). Melalui fakultas Tarbiyah di Barabai inilah HMI mulai dibentuk atas rekomendasi dari pengurus BADKO (Badan Koordinasi) HMI Kalimantan pada Kongres HMI ke-11 yang pada waktu itu terpilih menjadi Pengurus PB (Pengurus Besar) HMI se-Indonesia adalah DR.Sulastomo dan Mar’ie Muhammad masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum periode tahun 1963-1966.
Sejak tahun 1963 inilah HMI di Barabai resmi menjadi cabang penuh yang bersekretariat di Aula Panti Asuhan (samping kampus STAI Al-washliyah Barabai sekarang) dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:
A. Periode Pertama (1963-1965)
1.  Ketua Umum       : Rasiman Su’ud
2.  Wakil                     : Idham Husri
3.  Sekretaris             : Mawardi Tarmum
4.  Bendahara           : Norsehan Daud
5.  Anggota                : Kaspul Anwar, Ja’far Sirri, Ideris, H. Aisyah, Ajizah, dan Norjannah
B. Peride ke-2 (1965-1967)
1.     Ketua Umum    : Mawardi Tarmum
2.     Sekretaris          : Jaini Sukri
3.     Bendahara        : Norsehan Daud
Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan tugu pemisah antara Orde Lama dengan Orde Baru. Dimulai dengan pemberontakan yang diakhiri dengan pembubaran PKI, HMI bangkit sebagai pelopor Orde Baru dan Angkatan 66 yang menginginkan terciptanya suatu tatanan baru yang melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen. Kepeloporan HMI itu antara lain dengan surat keputusan PB HMI yang disampaikan oleh Eky Syahruddin dan Darmin. P Siregar dimarkas Kodam Jaya. Adapun 4 pernyataan sikap HMI yakni pertama, arsitek dan dalang Gestapu adalah PKI. Kedua, karena G 30 S/PKI bersifat politis, maka hendaknya dikerahkan kekuatan untuk menumpasnya yang dipimpin oleh partai NU, Ketiga, HMI mendesak agar PKI dibubarkan, keempat, HMI akan memberikan bantuan kepada pemerintah dan ABRI didalam menumpas PKI dan antek-anteknya. Surat pernyataan ini resmi bernomor : 2125/B/Sek/1965 tanggal 4 Oktober 1965 ditanda tangani oleh DR. Sulastomo dan Mar’ie Muhammad masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Pengurus Besar HMI pada masa itu. Dan atas inisiatif aktivis HMI kala itu Mar’ei Muhammad, memprakarsai mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1965 yang kemudian disahkan oleh menteri PTIP Prof. Dr. Syarif Thayeb dengan tugas pertama, mengamankan Pancasila. Kedua, memperkuat bantuan kepada ABRI dalam menumpas Gestapu/PKI sampai keakar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa rapat umum, dilaksanakan tanggal 3 Novembrer 1965, dihalaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta dimana barisan HMI menunjukkan Superioritasnya dengan massa yang terbesar. Langkah ini sangat strategis untuk membekukan kekuatan PKI.
Melihat kondisi perpolitikan di kota Barabai yang juga hampir dikuasai oleh PKI ketika pemerintahan Bupati HST yaitu H. Abdul Gani (1963-1968) dan Gubernur Kalimantan Selatan yaitu Bapak Aberani Sulaiman (1963-1968), maka para aktivis HMI Cabang Barabai yang sebelumnya menjadi incaran penembakan oleh PKI juga tak ambil diam, dengan diprakarsai oleh Bapak Mawardi Tarmum bersama-sama dengan para pelajar dan pemuda se-kabupaten HST pada tanggal 4 oktober 1965 membentuk organisasi kelaskaran yaitu KAPPAK (Kesatuan Aksi Pelajar dan Pemuda Anti Komunis) yang akan senantiasa membantu TNI menumpas PKI di Hulu Sungai Tengah. Berkat kerjasama dengan aktivis HMI inilah akhirnya TNI bisa memberantas, mengepung, dan menembak mati para tokoh PKI di Barabai pada saat itu.
C. Periode ke-3 (1967-1969)
1.  Ketua Umum       : Sahibul Basri
2.  Sekretaris             : Abdullah Siam Kari
3.  Bendahara           : Soraya B.A
4.  Anggota                : H. Ahmad Kusasi, Ustman, H. Rizani
Dari masa ke masa HMI Cabang Barabai selalu berkiprah eksis melakukan pengkaderan di kampus dan aktif mengkritisi Isu-isu pemerintahan khususnya di Kabupaen HST serta melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak positif baik di masyarakat, pelajar, maupun dikalangan mahasiswa itu sendiri.
 Sampai sekarang tahun 2012 ini HMI Cabang Barabai sudah mempunyai 5 Komisariat yaitu Komisariat Tarbiyah di STAI Al-washliyah Barabai dengan ketua umum SARBAINI, Komisariat Da’wah juga di STAI Al-Washliyah Barabai dengan ketua umumnya HARIADI, komisariat STKIP Barabai di STKIP PGRI Banjarmasin kelas Barabai dengan ketua umum SUHARTINI, Komisariat UVAYA di Batu Benawa dengan Ketua Umum ADI RAHMAN, dan Komisariat AKPER Murakat di Akademi Perawat Murakata dengan Ketua umum MUHAMMAD ILHAM. Sedangkan yang menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Barabai adalah M. TAUPIK RAHMAN, S.Pd.I (2011-2012) dan Ketua KOHATI Cabang Barabai adalah AULIYANA (2011-2012).
Billahitaufiq wal hidayah.
Sekretariat HMI, pukul 23.02 wita, 28 Juni 2012
Writter : M. Taupik Rahman (Ketua Umum HMI Cabang Barabai periode 2011-2012)




Rabu, 27 Juni 2012

HMI dan Tantangan Abad 21

Pada tanggal 5 Februari 1947 atau bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul awal 1366 H, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh pemuda Lafran Pane dan 17 orang rekannya di Yogyakarta. Berdirinnya HMI pada masa itu tidak terlepas dari kondisi umat dan bangsa yang sedang pada masa transisi yaitu awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar, Agussalim Sitompul mengungkapkan terdapat dua factor utama yang melatarbelakangi berdirinya HMI yaitu, penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan serta adanya kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Dari kedua factor yang melatarbelakangi berdirinya HMI tersebut, dapat dilihat bahwa hakikatnya keberadaan HMI membawa misi keumatan dan misi kebangsaan yaitu untuk menjawab tantangan yang sedang dihadapi umat Islam pada masa itu serta turut meneguhkan kedaulatan bangsa pasca proklamasi kemerdekaan. Hingga kini, keberadaan HMI di Indonesia masih tetap sama yaitu mengemban misi keumatan dan kebangsaan dengan tantangan yang berbeda yaitu globalisasi, tantangan abad 21.
Latar Belakang Singkat Berdirinya HMI
Keberadaan HMI yang telah hampir enam puluh lima tahun di Indonesia, bukanlah sebuah perjalanan singkat. Usia keberadaan tersebut jika diibaratkan dengan umur biologis manusia merupakan umur yang telah sangat matang, telah menempuh berbagai pengalaman hidup, dan dianggap telah berada pada suatu tingkat kebijaksanaan tertentu. Demikian pula keberadaan HMI yang telah lebih dari setengah abad, idealnya menandakan besarnya umur kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin) khususnya di Indonesia.
Keberadaan HMI pada awal berdirinya, tidak diragukan lagi, sangat penting artinya bagi sebuah bangsa yang baru saja merintis kemerdekaannya dan berusaha mempertahankan kedaulatannya yang masih labil. Pada masa itu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang baru saja berdaulat, sehingga kedaulatan tersebut masih sangat labil, stabilitas dalam negeri yang masih goyah dan kondisi eksternal bangsa dimana penjajah masih berupaya untuk mengambil tampuk kepemimpinan Indonesia yang baru berdaulat seumur jagung. HMI mengambil peran partisipatif dalam upaya menegakkan marwah bangsa, bahkan turut serta melakukan perjuangan secara fisik melawan pihat-pihak yang ingin menggoyangkan kedaulatan bangsa. Terbukti, pada saat agresi Belanda, HMI turut serta membantu pemerintah untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk diantaranya, turun langsung mengangkat senjata, menjadi staff, penerangan dan perhubungan. Selain itu, HMI juga membentuk badan khusus untuk membantu pemerintah dalam upaya menumpas gerakan PKI, melawan agresor-agresor lainnya, hingga mengabaikan pembinaan terhadap internal HMI sendiri. Semua itu dilakukan sebagai upaya nyata HMI untuk merealisasikan misi kebangsaannya.
Sementara itu, pada awal berdirinya HMI juga dihadapkan pada permasalahan umat yang sebenarnya merupakan gejala global dari permasalahan umat Islam dunia. Pada masa itu, umat Islam dapat dikatakan  dalam kejumudan, dimana pemahaman terhadap nilai-nilai keislaman yang minim serta ritual-ritual keagamaan yang dijalankan dengan pemahaman keagamaan yang terbatas. Permasalahan-permasalahan keagamaan pada saat itu semakin kentara terlihat pasca kedaulatan bangsa Indonesia. Penjajahan yang sekian lama terjadi pada bangsa Indonesia menyisakan diantaranya  “sekularisme” sebagai salah satu produk dari pendidikan barat. “sekularisme” inilah yang kemudian menjadikan pemahaman keagamaan dan praktek keagamaan umat semakin dangkal. Dalam hal ini, HMI mengambil peran sebagai bagian dari umat Islam yang telah tercerahkan, yang berupaya untuk menjadi kritis dengan membawa pembaharuan-pembaharuan cara berfikir dan menghayati praktek keagamaan dengan lebih baik. Keberadaan HMI diharapkan mampu membebaskan umat dari kejumudan beragama.
Tantangan Abad 21
Saat ini Indonesia telah menjadi bangsa yang cukup mapan pada usia kemerdekaan yang mencapai enam puluh lima tahun. enam puluh lima tahun telah berlalu semenjak kemerdekaan diproklamasikan. Enam puluh lima tahun sudah penjajah meninggalkan bangsa ini. Berbagai upaya telah dilakukan bangsa ini untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Namun penjajahan tak lantas pupus dari bumi Indonesia. Penjajahan itu masih ada meski tidak lagi dalam bentuk fisik. Bentuk penjajahan kali ini lebih kompleks dan tak kasat mata. Penjajahan masa kini adalah bentuk propaganda halus kekuasaan global yang biasa diistilahkan dengan globalisasi, jika bangsa Indonesia tak pandai-pandai menjaga jati dirinya.
Di satu sisi, globalisasi menawarkan kemudahan, kebebasan, alternative baru dan perubahan dalam banyak hal. Jejak keberadaanya dapat terlihat melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya terutama dalam lingkungan, ekonomi, social, budaya dan politik. Salah satu produk globalisasi yang paling jelas adalah perdagangan bebas. Setiap bangsa, mau tidak mau, siap tidak siap harus menghadapi kompetisi terbuka dengan bangsa lainnya, hal ini merupakan konsekuensi dari tidak adanya sekat-sekat yang membatasi kegiatan ekonomi. Globalisasi ini juga ditandai dengan kemajuan yang massive di bidang teknologi informasi dan transportasi.
Namun, di sisi lain, globalisasi juga secara tak disadari membawa perubahan pada aspek social budaya. Pengaruhnya terutama dapat dilihat pada generasi muda bangsa ini. Begitu banyak generasi muda bangsa ini yang lebih bangga menggunakan kebudayaan bangsa lain, bahkan sampai melupakan kebudayaan bangsa sendiri. Proses masuknya kebudayaan bangsa asing tersebut juga merupakan akibat dari semakin mudah dan terbukanya akses interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya antara bangsa satu dengan bangsa lainnya. Dampak lebih lanjut, masuknya budaya asing yang tanpa filter jati diri bangsa sendiri ini akhirnya dapat membentuk sikap materialis, konsumtif, hedonis, pragmatis, dn individualistis.
Sebenarnya, globalisasi tidak selamanya membawa perubahan dalam artian negative. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa banyak pula perubahan dalam artian positif yang ditawarkan oleh globalisasi. Globalisasi secara tidak langsung sebenarnya dapat mendorong tumbuhnya sikap mental yang kompetitif, mandiri, disiplin, etos kerja yang tinggi, profesionalisme dan sebagainya. Namun, untuk mampu mengambil manfaat dari globalisasi tersebut diperlukan bangsa yang mampu menjunjung tinggi jati dirinya sendiri serta bersikap bijak dalam menyikapi segala jenis perubahan yang ditawarkan oleh globalisasi. Bangsa Indonesia harus mampu berperan aktif dalam kompetisi global tanpa terhanyut dalam dampak globalisasinya.
Oleh karena itu diperlukan anak bangsa yang berkarakter dan mencintai bangsanya sendiri. Anak bangsa ini merupakan bagian dari generasi muda yang telah tercerahkan serta senantiasa berorientasi pada kemajuan umat dan bangsa. Anak bangsa yang mempunyai integritas agar tidak mudah terpengaruh pada nilai-nilai kebudayaan lain yang dapat melunturkan kebudayaan sendiri. Anak bangsa yang memiliki intelektualitas agar tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda asing yang bersifat negative. Anak bangsa yang mampu bersaing secara professional dalam ranah global, yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidangnya masing-masing. Anak bangsa tersebut adalah generasi muda baik pelajar, mahasiswa maupun pemuda.
Dengan demikian, pada abad ke 21 ini, HMI memiliki peran dan fungsi yang agak berbeda dengan peran dan fungsi yang diembannya pada awal kemerdekaan, namun tetap memiliki misi yang sama yaitu misi keumatan dan kebangsaan. Jika pada awal kemerdekaan , HMI berpartisipasi aktif dalam bentuk perjuangan langsung menghadapi penjajah umat dan bangsa yang nyata secara fisik, maka pada abad ke 21 ini, HMI harus berjuang melawan penjajahan dalam bentuk baru yang tak kasat mata dan lebih kompleks. Kini, HMI harus mampu menegaskan karakteristik perjuangan dan kualitas individu kadernya agar mampu menjadi anak bangsa yang berkarakter, kompetitif dan berpandangan ke depan yang ada mampu menjawab tantangan abad ke 21.
HMI Menjawab Tantangan Abad 21
Dalam perjalanan pasca proklamasi, untuk menyesuaikan dengan konteks keummatan dan kebangsaan saat itu, HMI kembali menegaskan tujuannya sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 4 AD/ART HMI, yaitu: Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Meski berbeda dengan tujuan awal berdirinya HMI dua tahun pasca proklamasi silam, namun tujuan tersebut secara tersirat memiliki benang merah yang sama dan tidak akan berubah karena HMI lahir dari semangat keislaman dan keindonesiaan, yaitu misi keummatan dan kebangsaan. Hal tersebut adalah nafas perjuangan HMI.
Derivasi dari tujuan HMI sebagaimana tersebut di atas, maka terdapat lima kualitas individu yang diharapkan terdapat dalam diri setiap manusia yang beriman, berilmu serta menjalankan amal kemanusiaan. Konsep manusia seperti ini yang di dalam HMI kemudian dikenal dengan lima kualitas insane cita. Lima kualitas insane cita tersebut diantaranya adalah kualitas insane akademis, kualitas insane pencipta, kualitas insane pengabdi, kualitas insane yang bernafaskan Islam, dan kualitas insane yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Kualitas insane akademis adalah individu yang berpendidikan tinggi secara formal, berpengetahuan luas, rasional, objektif, kritis dan ilmiah. Individu tersebut harus mampu secara teoritis dan teknik dalam bidang keilmuan tertentu sesuai dengan prinsip perkembangan. Pribadi individu seperti ini dalam konteks abad ke 21 merupakan pribadi yang professional sehingga mampu bersaing pada bidang yang dikuasainya.
Kualitas insane pencipta adalah individu yang kreatif, independen dan terbuka serta mampu menciptakan dan melihat peluang-peluang baru, didukung dengan kemampuan akademisnya untuk sesuatu yang lebih baik. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi seperti ini merupakan pribadi yang sangat kompetitif, tidak hanya mengandalkan sesuatu yang biasa tetapi mampu melakukan inovasi terhadap apa yang dikerjakannya.
Kualitas insane pengabdi adalah individu yang mapan secara akademis, mampu berbuat secara maksimal dan mengamalkan ilmu serta kemampuannya untuk membuat lingkungan dan orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Pribadi seperti ini selain memiliki keterampilan, profesionalisme dan sangat kompetitif, ia juga mampu menunjukkan amal baktinya terhadap sesame. Sementara budaya asing yang dibawa oleh globalisasi menawarkan sikap individualistis dan tidak perduli terhadap sesame, seorang individu dengan kualitas insane pengabdi memiliki integritas untuk tetap memegang teguh nilai-nilai kebersamaan dan mementingkan orang lain.
Kualitas insane yang bernafaskan Islam adalah individu dengan kecerdasan intelektual, emosional serta spiritual yang seimbang. Pribadi ini tidak hanya cerdas, berketerampilan, rela beramal dengan kemampuan yang dimilikinya, tetapi juga menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi seperti ini jelas akan menjadi pribadi yang unggul, dapat menangkap peluang ditengah arus globalisasi tanpa ikut terhanyut dengan budaya-budaya negative yang dibawa oleh globalisasi itu sendiri.
Kualitas insane yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT adalah individu yang akademis, mampu mencipta, rela mengabdi, menjunjung tinggi serta menerapkan nilai-nilai keislaman serta memiliki jati diri dan integritas pribadi yang mapan. Pribadi ini adalah pribadi yang bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang lain, agama serta bangsanya. Dalam menghadapi tantangan abad ke 21, pribadi ini adalah pribadi yang unggul, yang mampu mewarnai, menegaskan jati dirinya di tengah arus globalisasi. Inilah wujud insane paripurna yang senantiasa diharapkan agama dan bangsa, yang tidak hanya baik secara individu, tetapi juga mampu membuat orang lain dan lingkungan sekitarnya menjadi baik.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suardi Herik (2010: 73) bahwa pada pokoknya insane cita HMI merupakan “man of future”, yaitu pribadi pelopor yang berpandangan jauh ke depan, bersikap terbuka, professional dalam bidangnya dan melakukan upaya-upaya kooperatif untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Jika HMI mampu mengejawantahkan tujuannya yang sempurna secara konsep tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa HMI akan mampu bertahan bahkan menjadi pemenang pada kancah tantangan abad ke 21.

HMI DAN TANTANGAN GLOBAL


HMI dan tantangan Global
salim ( ketum Komisariat Tarbiyah 2011 )
HMI merupakan Organisasi Kader yang berdiri sejak 05 Februari 1947. pendirinya adalah Lafran Pane seorang pemuda yang sederhana di UI Yogyakarta. Latar belakang berdirinya adalah melihat kondisi Bangsa dan Ummat. Kondisi bangsa saat itu masih dalam trauma dan mendapat goncangan pasca kemerdekaan, sehingga dibutuhkan perjuangan kembali untuk mempertahankan kemerdekaan. Kondisi keummatan pada masa itu, Ummat Islam masih sangat lemah dalam pemahaman agama secara kontekstual, sehingga dalam aplikasi kehidupan mereka lemah dalam segala bidang. Dengan kondisi yang demikian, tergerak hati seorang Lafran Pane untuk mendirikan sebuah Organisasi ( wadah ) untuk menjawab tantnagan yang terjadi pada masa itu.
Saat ini, HMI berusia 63 tahun. Sejak berdirinya hingga sat ini memiliki tantangan dan hambatan yang berbeda untuk melakukan perubahan. Mungkinkah HMI masih relevan sebagai wadah untuk melakukan perubahan menjadi insan paripurna?? Pertanyaan tersebut perlulah mendapat perhatian khusus dari segenap aktivis HMI untuk mempola perkaderan agar tercapainya tujuan insan paripurna sebagaimana terdapat dalam AD pasal 4 tujuan HMI “ Terbinanya Insan Akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT”.
Kondisi saat ini adalah sangat berbeda dengan kondisi masa lalu. Perjuangan HMI akan memiliki tantangan yang lebih berat untuk melakukan perjuangan. Frem berfikir masyarakat dan Mahasiswa pada umumnya sudah terkontaminasi oleh berbagai pemikiran dan faham-faham dari luar yang liar. Selain itu sikap hedonis, apatis dan opportunis yang menjadi tantangan HMI kedepan. Selain itu, diperparah dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan aqidah yang kuat. Sehingga kemajuan tersebut menjadi bumerang bagi Ummat dan bangsa. Dengan demikian, perjuangan HMI dihadapkan dengan tantangan yang kompleks, yakni dari segi pemikiran dan dunia IT untuk mengembalikan kepada jalur dan fungsinya yang sesuai untuk kesejahteraan bersama. Dengan hal itu, tidak ada lagi yang menyalahgunakan pesatnya kemajuan teknologi dan menumbuhkan kembali moral bangsa yang telah tercemar oleh perbuatan yang tidak di inginkan.
Pertanyaan yang timbul adalah tindakan seperti apa yang kongkrit yang harus dilakukan oleh kader HMI untuk menjawab tantangan global tersebut?? Jawabanya adalah dengan mempersiapkan kader yang memiliki kemampuan di segala bidang serta memperkuat tauhid untuk membentengi perjuangan kedepan. Tidak sedikit apabila hanya mempuni dalam IPTEK namun tidak dibarengi dengan tauhid yang benar akan mengakibatkan kepincangan dan penyelewengan yang terjadi. Namun, apabila IPTEK dan IMTAQ sejalan dan seimbang akan menghasilkan sebuah kemaslahatan bersama. Hal ini yang menjadi harapan dan tujuan bersama terutama HMI. Namun apabila itu tidak bias dilakukan, apakah HMI masih layak untuk dipertahankan?? Apabila kader dan anggota HMI sudah tidak lagi memiliki ghirah atau ruh ke-HMI-an?? Saat ini kader HMI banyak yang tidak faham dengan mengapa HMI lahir dan untuk apa HMI lahir?? Apa konsekwensi ketika kita memilih HMI sebagai wadah kita berjuang?? Dengan memahami hal tersebut maka arah pergerakan kader HMI akan jelas.
Apaun persoalan kader HMI sekarang tidak terlepas dari pergolakan zaman yang begitu pesat. Penjajahan saat ini bukan angkat senjata maupun kontak fisik secara langsung, namun penjajahansaat ini adalah penjajahan dari dalam atau sering disebut pola fikir maupun pemikiran. Pemikiran yang banyak masuk dalam dunia Islam membuat banyak kebimbangan dan keraguan terhadap Islam itu sendiri, sehingga terjadi pendangkalan aqidah dimana-mana. Selain itu, penjajahan dari mode, IT dan lain sebagainya juga semakin merebak. Inilah realita keidupan saat ini. Bagai mana kader HMI menghadapinya dan untuk menjawab semua tantangan tersebut?? Tentu bukanlah perkara yang mudah. Dengan segenap pengetahuan yang minim dan pemahaman yang dangkal sungguh sangat mustahil untuk mengatasi semua tersebut. Namun, saat ini bagaimana seorang kader HMI untuk mempersiapkan dari segi mental dan keilmuan sebanyak mungkin agar siap untuk melakukan perubahan dan meminimalisir penjajahan yang disebutkan diatas. Dengan hal ini, setidaknya mengantisipasi terhadap diri kita sendiri, barulah kita akan membantu saudara kita yang notabenunya sedang terjajah namun tidak menyadarinya.
Sedikit menyampaiakn bahwa perjuangan untuk melawan kebatilan tidak akan pernah usai. Semakin tua zaman ini, maka semakin banyak perkembangan yang akan mendesak kita untuk menjalaninya meski dalam keadaan tidak siap. Maka dari itu, persiapkan diri sedini mungkin agar dapat mempersiapakan generasi yang berkualitas. Berkualitas untuk diri sendiri dan orang lain. Besar harapannya adalah HMI semakin jaya dan dapat menjawab kebutuhan dan tantangan zaman saat ini.
Yakin usaha sampai
Tiada yang tidak mungkin di dunia ini. Semua mungkin saja namun bagaimana ikhtiar kita. Tetap semangat dan terus berjuang, capai insane paripurna.

Kader HMI diminta ikut sejahterakan rakyat

Jakarta (ANTARA News) - Seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diminta untuk menjadi motor perubahan bangsa, karena keadilan sosial tidak akan datang sendiri, melainkan harus dilakukan secara bersama-sama guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA-HMI) Bursah Zarnubi mengemukakan hal itu saat peluncuran Persaudaraan Alumni HMI di Gedung SMESCO, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Jumat malam.

Bursah menyatakan, kader-kader HMI harus mampu menjadi motor penggerak perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. "Jadi HMI harus menjadi motor penggerak perubahan, kita harus serius memikirkan bangsa saat ini," ungkap Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) ini.

Dia menjelaskan, PA-HMI didirikan karena adanya kegelisahan kader-kader terhadap KAHMI. "Jadi kita mengisi kekosongan yang ada di KAHMI. Dan jangan ditafsirkan sebagai saingan, tapi untuk menutup kekosongan dari gerakan yang ada di KAHMI," ungkapnya.

Hadir dalam acara  tersebut Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Manoarfa, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, aktivis HMI dan  kelompok Cipayung. "Kita harus serius memikirkan bangsa yang sudah terkoyak ini," kata Bursah.

Sementara Suharso Manoarfa mengatakan, HMI merupakan organisasi kader di Indonesia. "Jadi sudah kewajiban kita sebagai kader untuk memperkokoh persaudaraan kebangsaan untuk merebut keadilan," ujarnya.

Menurut dia, dalam kebebasan berfikir adalah hal yang sah dalam HMI. Karena HMI tidak ada patron. "Sebagai kader kita harus mampu menentukan kemajuan bangsa dan negara ini," katanya.

Ke depan, tambah Suharso, HMI jangan hanya dijadikan sebagai KTP, tapi bagaimana mampu menjadi organisasi yang mampu mengambil peran sebagai pemersatu bangsa. "Kita harus ikut menentukan jalannya Republik ini,

Penyelesaian Dualisme NDP HMI


BAB I. PENDAHULUAN

Pada tingkat paling sederhana Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI merupakan landasan normatif dalam perjuangan organisasi. NDP juga sebagai etos spirit perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam ijtihad (inovasi berfikir) dan jihad perilaku pengorbanan/berkorban. Secara teknis NDP dipahami sebagai eferensi dalam perjuangan sehingga menjadi kekuatan theologis dan dialektis dalam diri anggota sekaligus organisasi. Begitupun NDP dipahami sebagai landasan normative kontraktual dan kepatuhan berorganisasi dalam kehidupan seorang insane HMI kini dan mendatang.

Dalam landasan nilai, NDP diposisikan sebagai sumber nilai dalam organisasi. NDP HMI menjadi spirit keislaman HMI. Sederhananya, NDP ialah tafsir Islam versi HMI. Bagaimana HMI memahami Islam, akan tergambar dalam konsep NDP-nya. Karena tidak berlebihan bila kita mengatakan NDP sebagai corak Islam Mazhab HMI.

Elaborasi singkat dan gambling di muka menunjukkan bahwa NDP sesungguhnya merupakan saripati yang berisikan ajaran-ajaran pokok Islam. Dengan merujuk lebih dari 100 ayat dan beberapa hadits, pokok-pokok ajaran Islam tersebut dirangkum oleh alm. Kakanda Nurcholish madjid (Cak Nur) ke dalam tujuh Bab NDP, yakni; Dasar-dasar Kepercayaan, Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan, Kemerdekaan manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Taqdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadlian Ekonomi, serta kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan.

Dengan demikian, tidak heran bila sejak kelahiran NDP HMI, karakter gerakan setiap kader HMI kerap kali identik dengan nilai-nilai dasar tersebut. Ekspresi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa dilihat pada sifat independen gerakan kader HMI dalam merespon isu0isu keummatan, dan kebangsaan. Tentu sekali sikap ini, hanya bisa di ekspresikan oleh mereka (kader HMI) yang mampu menyelami nilai-nilai luhur NDP dalam kata dan lakunya sehari-hari.

Sayangnya belakangan, NDP HMI sebagai rujukan dasar bertindak baik secara personal maupun kolektif mangalami dualism. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa dualism NDP yang menerpa HMI sejak kongres HMI XXV di Makassar hingga saat ini berpengaruh signifikan terhadap gerak organisasi.

Bisa dibayangkan sebuah organisasi memiliki dua pedoman gerakan yang secara substansial berbeda satu sama lain. Praktis organisasi tersebut dalam geraknya akan mengalami kegamangan, ketidakjelasan arah, bahkan berjalan bagaikan orang gila yang tidak memiliki peta (guidance) mau kemana melangkah. Seperti inilah pemandangan buruk menerpa kader HMI saat ini, berjalan tanpa arah, bergerak tanpa pedoman.

Atas dasar dan fenomena tersebut diatas maka PB HMI Periode 2008-2010 sudah melakukan ikhtiar guna penyelesaian dualisme NDP dengan membentuk Tim kerja yang disebut dengan Tim 9. Tim 9sebenarnya merupakan penjabaran dari rekomendasi Kongres HMI XXVI di Palembang yang bekerja secara teknis untuk menyiapkan perangkat bagi terwujudnya forum ilmiah untuk menyandingkan dua NDP sebagaimana hasil rekomendasi Kongres HMI XXVI di Palembang. Tim 9 yang dibentuk PB HMI bukan dalam kapasitas merumuskan atau mengkaji NDP tetapi memfasilitasi dan menyusun hasil-hasil dan fakta-fakta yang didapat pada saat forum ilmiah yang dilaksanakan oleh PB HMI melalui bidang Pembinaan Anggota dalam bentuk Seminar dan Lokakarya (Semiloka) NDP yang dilaksanakan pada tanggal 4 - 6 Maret 2009 di Graha wisma kuningan Jakarta.

Fakta-fakta yang terungkap saat semiloka tersebut kemudian ditelusuri oleh tim yang dibentuk oleh PB HMI. Sesuai dengan keputusan rapat Harian PB HMI tanggal 16 maret 2009, maka dibentuklah Tim 9 PB HMI jilid II sebagai lanjutan Tim 9 jilid I yang telah menyelesaikan tugasnya pasca Seminar dan Lokakarya (Semiloka) NDP HMI di Graha Wisata Kuningan pada 4 – 6 Maret 2009. Tim 9 tersebut bekerja untuk menindaklanjuti beberapa fakta yang terungkap saat semiloka di Kuningan terkait dengan proses Lokakarya NDP HMI di Mataram serta eksistensi Tim – 8 yang menjadi perumus NDP hasil Kongres HMI XXV di Makassar. Proses penelusuran Tim 9 dalam menyusun kerangka laporan ini terformat dalam sistematika sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
Bab II. Analisa Proses
2.1 Analisa Alur dan Kronologis
2.2 Analisa Hukum dan Konstitusi
2.3 Analisa Aktor
Bab III. Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab IV. Penutup
Lampiran-Lampiran

Jakarta 10 Rajab 1430 H
01 Juli 2010 M

Tim 9 Penyelesaian Dualisme NDP
Sumber : Laporan Tim 9 Penyelesaian Dualisme NDP HMI

HMI, ORANISASI DAN PERKEMBANGANNYA

Di awal kemerdekaan, Yogyakarta memliki peran penting sebagai basis perlawanan menghadapi tentara kolonial Belanda. Ketika Jakarta diduduki Belanda, maka Ibu Kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Akibatnya, kota gudeg ini kemudian menjadi pusat pemerintahan. Presiden, Wakil Presiden dan hamper semua pimpinan Negara berada di Yogyakarta. Demikian juga dengan Jendral Sudirman, panglima besar angkatan perang Republik Indonesia yang memimpin perang melawan Belanda juga dari kota ini. Keratin atau kesultanan Yogyakarta selaku penguasa daerah, yang memiliki sejarah panjang dalam khazanah kekuasaan dan peradaban jawa, mendukung, membantu dan mengintegrasikan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fasilitas yang dimiliki kraton boleh digunakan unruk kepentingan pemerintah, pertahanan, pendidikan dan lain-lain. Dalam periode mempertahankan kemerdekaan secara fisik melawan penjajah di Yogyakarta tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX benar-benar menunjukkan dirinya sebagai sosok negarawan yang patriotik.

Bersamaan dengan perang kemerdekaan itu pendidikan tinggi mulai dibangun. Pada tahun 1946 didirikan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada yang pada tahun 1949 menjadi Universitas Gajah Mada. Kantor dan tempat kuliah menggunakan Sitinggil, pagelaran dan bagian-bagian keraton lainnya. Di samping balai perguruan lainnya yaitu Sekilah Teknik Tinggi (STT) dan Sekolah Tinggi Isalm (STI), dan Akedemi Ilmu Kepolisian. Kehidupan kampus dan dinamikanya mahasiswa mulai menggeliat yang mengantar Yogyakarta menjadi kota pelajar hingga sekarang. Mahasiswa di tengah perang kemerdekaan tidak tinggal diam, di samping kuliah mereka juga ikut berjuang. Untuk kepentingan perjuangan mahasiswa mendirikan berbagai organisasi, terutama di awali dengan berdirinya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), yang kemudian disusul organisasi-organisasi mahasiswa lainnya.

Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah Belanda, kehidupan politikpun berkembang untuk membangun Republik Indonesia yang demokratis, dengan ditandai berdirinya partai-partai politik yang berdasarkan ideology seperti Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan sebagainya. Namun demikian, kehidupan politik yang demokratis tersebut telah mendorong berkembangnya dinamika politik yang tak jarang ditandai dengan berbagai konflik politik antar-kekuatan politik-ideologis yang ada. Kompetisi politik guna memperebutkan pengaruh kekuasaan, terjadi sedemikian dramatis, bahkan massif. Semua partai politik menggalang kekuatan dengan mempengaruhi semua elemen masyarakat termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa, petani, buruh dan sebagainya.

Dalam situasi politik yang di tandai dengan propaganda ideologis seperti itu, tidak luput pula, sebagai organisasi mahasiswa PMY terpengaruh oleh para aktivis PS (Partai Sosialis), dan karenanya pergerakannya cenderung condong pada ideology komunis. Tentu saja tidak semua mahasiswa, khususnya mahasiswa Islam sepakat dengan realitas tersebut, bahkan yang mengemuka di dalam kehidupan mahasiswa Yogyakarta adalah pergolakan sebagai ketidakpuasaan terhadap PMY. Di sisi lain, hadirnya gaya hidup pergaulan hedonis yang jauh dari nilai-nilai Islami, mengakibatkan para mahasiswa yang beragama Islam (Muslim) semakin menetapkan niatnya untuk mendirikian organisasi mahasiswa sendiri. Semangat juang mahasiswa islam kian menggelora dan sudah tidak terbndung lagi. Akhirnya, pada tanggal 5 Februari 1947 berdirilah organisasi mahasiswa yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam, yang terkenal dengan sebutan HMI. HMI lahir dari kancah revolusi kemerdekaan Indonesia, karena itulah dapat dipahami apabila organisasi ini memiliki naluri dan watak pejuang serta pemikir yang bernafaskan Islam.

Lahirnya HMI dimulai dari kisah heroik seorang mahasiswa yang bernama Lafran Pane. Gelisah dengan perkembangan keadaan, khususnya di kalangan pergerakan mahasiswa serta melihat serta melihat potensi mahasiswa Islam yang perlu untuk diorganisasikan dengan baik, mahasiswa STI. Mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Pada waktu kuliah tafsir oleh dosen Husein Yahya, Lapfran Pane meminta ijin untuk menggunakan tempat dan waktu kuliah tersebut dipakai rapat penting pembentukan organisasi mahasiswa. Husein Yahya Mengijinkan, bahkan turut serta mengikuti jalannya rapat. Karenanya, setelah mahasiswa STI duduk dan siap menerima kuliah, lafran Pane tampil di depan ruang kuliah dan dengan lantang menjelaskan bahwa kesempatan tersebut akan dipakai untuk mendirikan oganisasi mahasiswa islam. Dengan penuh percaya diri Lafran Pane mengatakan bahwa semua persiapan pembentukan organisasi mahasiswa sudah beres. Maka, seketika itu pula ruang kuliah STI itu menjadi gempar. Terjadi debat dan diskusi yang dinamis, membahas gagasan tersebut. Lafran Pane mempertahankan gagasannya dengan gigih dan arif, menjawab berbagai respon kawan-kawan mahasiswanya.

Alhamdulillah, akhirnya semua mahasiswa setuju dengan suara bulat mendirikan organisasi mahasiswa Islam dengan nama Hmimpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Waktu itu hari rabu Pon 1878 Tahun Saka atau 14 rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 M. itulah hari bersejarah bagi HMI, dan juga bagi dunia mahasiswa serta bangsa Indonesia pada umumnya. Dari keberanian dan cita-cita luhur putra bangsa itu lahir sarana dan wahana perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, dari kalangan mahasiswa muslim yang memiliki komitmen atas keislaman dan keindonesiaan. Jerih payah lafran pane dan 14 orang Kawan-kawannya mahasiswa STI, kelak membuahkan hasil gemilang, HMI yang menjadi organisasi besar dan terkemuka.

Pembentukan organisasi HMI bukan hanya karena tidak cocok dengan PMY, melainkan jauh dari itu karena adanya dorongan kepentingan lebih luas sebagai respon atas tuntutan perjuangan melawan penjajah Belanda, kesadaran yang mendalam atas kedudukan dan peranan mahasiswa sebagai kader bangsa yang dituntut tanggungjawabnya secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain juga secara politis, perkembangan komunisme mulai mengkhawatirkan, dan semakin disadari hadirkan berbagai tantangan untuk mewujudkan masa depan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, adil dan makmur. Dalam pandangan para pendiri HMI, bahwa bagaimanapun di dalam suasana perang, mahasiswa tidak boleh lengah apalagi berhura-hura seperti gaya pergaulan di lingkungan PMY, melainkan harus bangkit berjuang dengan tujuan mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertingi derajat rakyat Indonesia, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dari rumusan itu tergambar secara utuh terintegrasinya wawasan keislaman dan keindonesiaan. Suasana kebatinan inilah yang kemudian menjadi karakter HMI, sebagai organisasi kade umat dan kader bangsa. Sedangkan wawasan kemahasiswaan menunjukkan HMI adalah organisasi mahasiswa yang berorientasi pada ilmu pengetahuan.

Kalau sekarang anggota HMI mencapai ratusan ribu dan tersebar di seluruh Indonesia, tentu saja hal tersebut merupakan perkembangan yang luar biasa, dan sepertinya mustahil apabila dahulu organisasi ini bermula hanya dari 15 (lima belas) mahasiswa yang sedang kuliah di STI Yogyakarta. Pesatnya perkembangan HMI, bagaimanapun tidak dapat dilepaskan dari keberhasilannya dalam menjawab aspirasi mahasiswa dan tantangan zaman. Dari kampus STI, dalam waktu singkat banyak mahasiswa dari BPT Gajah Mada dan STT bergabung, dan selanjutnya HMImemperoleh sambutan luas dari kalangan mahasiswa mulim di Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam perkembangannya, pengaruh dan daya tarik HMI meluas ke luar Yogyakarta menjangkau Surakarta, Klaten, Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan kota-kota lain yang ada peguruan tingginya. Keberadaan HMI ternyata sejalan dengan tuntutan bangsa Indonesia yang sedang perang melawan Belanda. Dengan senantiasa belajar dan berjuang secara gigih membentuk aggota HMI yang tangguh.

Untuk mengenang jasa dan melanjutkan tekad serta semangat pendiri dan para perintis HMI, setidaknya berikut ini terdapat empat versi catatan, yang perlu disimak.

Pertama, sesuai keputusan Kongres ke-11 HMI di Bogor tahun 1974, diputuskan bahwa Lafran Pane adalah satu-satunya pemrakarsa berdirinya HMI. Kedua, seminar sejarah HMI di Malang tanggal 27 sampai dengan 30 November 1975, memutuskan pendiri HMI adalah mahasiswa STI yang hadir dalam rapat pada saat didirikannya HMI tanggal 5 Februari 1947, yaitu Lafran Pane, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zaenab, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi. Ketiga, Pengurus Besar HMI I yang dibentuk pada saat didirikannya HMI tanggal 5 Februari 1947, dengan komposisi dan personalia Ketua lafran Pane, Wakil Ketua Asmin nasution, Penulis I AntonTimur Jailani, Penulis II Karnoto Zarkasyi, Bendahara I Dahlan Husein, Bendahara II Maisaroh Hilal, anggota Suwali, Yusdi Ghozali, dan Mansyur. Termasuk dalam kelompok ini adalah PB HMI setelah di-reshuffle tanggal 22 Agustus 1947. Dengan ketua MS. Mintareja, Wakil Ketua lafran Pane, sekertaris I Asmin Nasution, Sekretaris II karnoto Zarkasyi, dan Bendahara Maesaroh Hilal.

Keempat, Pengurus Besar HMI pilihan Kongres I HMI di Yogyakarta tanggal 30 November 1947, yakni Ketua MS. Mintareja, Wakil Ketua Ahmad Tirtosudiro, Penulis I lafran Pane, Bendahara I Muhammad Sanusi, Bendahara II Suastuti Nutoyodo. Anggota Ushuluddin Hutagalung, Amin Syahri, dan Anton Timur Jailani. Beberapa waktu setelah Kongres berlangsung terjadi lagi perubahan susunan PB HMI, dan Anggota PB HMI ditambah lagi, menjadi : Ketua MS. Mintareja, wakil Ketua Ahmad Tirtosudiro, Penulis I Ushuluddin Hutagalung, Penulis II Lafran Pane, Bendahara I Muhammad Sanusi, Bendahara II Suastuti Nutoyodo. Angota-anggota Amin Syahri, Tejaningsih, Siti Baroroh, dan Usep Ranuwiardja. Selama agresi militer II tahun 1949, anggota PB HMI bertebaran. H. Sanusi, dan Ahmad Tirtosudiro berada di front perjuangan. MS. Mintareja berada di Pasundan. Ushuluddin Hutagalung berada di Jakarta. Karena di dalam pengurus HMI terjadi kevakuman, Lafran Pane mengambil alih PB HMI bulan Juli 1949, HMI dipimpin Ketua Umum Lafran Pane dan Sekretaris A. Dahlan Ranuwiardja.

Setelah HMI berdiri, menyusul berdiri Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) yang selanjutnya berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tahun 1950. Berdirinya HMI telah mendorong mahasiswa – mahasiswa lain tergerak pula untuk mendirikan organisasi-organisasi mahasiswa, sehingga kehidupan dunia kemahasiswaan di Indonesia menjadi semakin marak dan dinamis.

Dalam proses perjalanan sejarah HMI selama 63 tahun terbentuklah karakterisrik HMI. Yang dimaksud dengan karakteristik HMI adalah sesuatu yang sejak awal kelahirannya sudah melekat pada dirinya, selalu menyertai dan menjiwai perjalanan hidup HMI, sehingga mampu mewarnai sikap perilakunya. Karakteristik atau jati diri HMI inilah yang membedakannya dengan organisasi lain.

Dari berbagai dokumen organisasi seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Tafsir Azas, Tafsir Tujuan, Tafsir Independensi, karakteristik HMI mengandung prinsip-prinsip: Berazaskan Islam dan bersumber pada Al Quran serta As Sunnah. Berwawasan keislaman keindonesiaan atau kebangsaan dan kemahasiswaan. Bertujuan membina lima kualitas Insan Cita di dalam pribadi seorang mahasiswa yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kemanusiaan. Bersifat independen. Berstatus sebagai organisasi Mahasiswa. Berfungsi sebagai organisasi kader. Berperan sebagai organisasi perjuangan. Bertugas sebagai sumber insane pemimpin bangsa. Berkedudukan sebagai organisasi modernis.

(Deskripsi Historis Himpunan Mahasiswa Islam)
Sumber : HMI Candradimuka Mahasiswa

MEMORI PENJELASAN TENTANG ISLAM SEBAGAI AZAS HMI

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-
Maidah : 3).
“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku
tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada
orang-orang yang selalu berbuat (progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan
untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fi trah kemanusiaannya yakni
sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata
ke hadirat-Nya.

Iradat Allah Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality
manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial,
serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan
hidup di dunia baik secara individual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual
akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan
kesadaran kolektif yang memuat pemahaman/kesadaran, kepentingan, struktur
dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada
pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan
menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat
(Pengasih), barr (Pemula), ghafur (Pemaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat
baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang
kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan
(politik, ekonomi dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami
marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifi kan dalam
mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan
distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara
Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang
antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari
politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5
Februari 1974 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-
Islaman dalam berbagai aspek ke-Indonesian.
Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai
interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok
penekan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan
adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level
kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai
pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afi n.
Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi
yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara
nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity)
memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul
adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang
mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifi tas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung
tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang
membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung
jawab kebangsaan, maka pada Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10
Oktober 1971 terjadilah proses justifi kasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran
Dasar.
Orientasi aktifi tas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi
menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila
sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses
stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi
aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar
organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap
institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai
identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di
Padang, Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para
penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun
obyektifi kasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari
kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh
eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin
meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi
secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan
pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI
bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban
secara integralistik, trasedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian
kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta
prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong
terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan
menyerahkan semua demi ridha-Nya.