Rabu, 27 Juni 2012

Dua Wajah HMI


Salah satu keputusan penting yang dihasilkan Konggres HMI terakhir di Jambi beberapa waktu lalu adalah kembalinya Islam sebagai asas organisasi. Dengan demikian, raison d’etre perpecahan internal di tubuh HMI pasca-Konggres HMI ke-16 di Padang tahun 1986, yakni dengan berdirinya HMI “tandingan”, Majelis Penyelamat Organisasi (MPO), menjadi tidak relevan lagi. Bukankah HMI MPO lahir sebagai reaksi atas maklumat Ketua Umum PB HMI waktu itu, Harry Azhar Aziz, yang bersedia menerima asas tunggal Pancasila ?
Di satu sisi, era reformasi yang sarat liberalisasi dan relaksasi politik —salah satu dampaknya— melindas warisan policy asas tunggal, implicitly menampakkan kemenangan sikap HMI MPO yang tetap konsisten memegang asas Islam. Namun di sisi lain, HMI MPO ini, secara formal-organisatoris, tidak punya alasan lagi untuk “berpisah.” Toh, kedua-duanya sama-sama memakai Islam sebagai asas organisasi. Atas dasar ini, apakah tidak sebaiknya HMI MPO dan HMI Dipo (berdasar atas nama Jalan Diponegoro tempat PB HMI berkantor) melakukan “rujuk” ?
Memang idealnya dua kelompok HMI tersebut menempuh upaya rekonsiliasi setelah sekian lama “bercerai”. Toh, selama ini berbagai usaha untuk menyelesaikan konflik internal telah dilakukan, seperti kehadiran HMI MPO dalam Konggres HMI ke-18 di Jakarta tanggal 17-24 September 1990. Tapi, persoalannya tidaklah sesepele itu. Rentang waktu yang lama sejak HMI MPO muncul tahun 1986, telah melahirkan kader-kader HMI yang secara kultural berbeda dengan “induk semangnya.” Basis massa dan simpatisan HMI MPO relatif lebih “radikal” dan militan ketimbang performance kader HMI Dipo yang tampak moderat.
Munculnya polarisasi wawasan keagamaan yang disebabkan perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya berakibat terbelahnya pola pemikiran HMI menjadi dua, yaitu yang bersifat pragmatis dan ideologis. Bagi aktivis HMI Dipo yang terlihat lebih pragmatis, pola pemikiran mereka menekankan wawasan keagamaan yang berkait kelindan dengan konteks lokal-kultural. Langkah mereka tampak lebih ringan dan elastis dalam menyikapi realitas politis. Pokok substansiasi yang mereka kejar semata-mata adalah bagaimana HMI mampu berkiprah dalam mempercepat integrasi nilai-nilai keislaman dengan keindonesiaan. Sementara pola pemikiran ideologis justru sebaliknya, yakni lebih mendahulukan doktrin keagamaan dan kurang memperhatikan realitas. Inilah yang menyebabkan “rujuk internal” dalam tubuh HMI menjadi sulit terwujud. Belum lagi konsekuensi-logis yang harus ditempuh bila HMI Dipo dan HMI MPO menyatu, yaitu keharusan melakukan perampingan pengurus dari tingkat pusat hingga komisariat.

Orientasi Kekuasaan

       Agenda rekonsiliasi ini penting dan —kalau memungkinkan— harus segera dituntaskan aktivis HMI di tengah maraknya suara nyinyir dan minor yang mencibir peran HMI dewasa ini. Satu hal yang patut dijadikan bottom line di sini adalah konflik internal yang membelah HMI menjadi dua tidak bisa dilepaskan dari penetrasi kekuasaan. Kebijakan asas tunggal yang dipaksakan masuk oleh rezim Orba pada semua ormas dan orpol seakan menjadi pemantik terpecahnya HMI.
            Dus, terpecahnya HMI yang kemudian diikuti dengan makin kentaranya gejala degradasi peran HMI dalam kancah pergulatan kepemudaan dan intelektualitas tidak bisa mrucut dari tanggung jawab negara. Teori hegemoni Antonio Gramsci benar-benar diterapkan secara sempurna oleh negara (baca: rezim Orba). Ideologi pembangunanisme yang mengutamakan stabilisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak saja ditegakkan melalui aparat militer dan polisi, tapi juga melalui “kantong-kantong” organisasi kemasyarakatan/ kepemudaan. Pada akhirnya, hal tersebut  tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi tumbuhnya aktivitas dan kreativitas organisasi kepemudaan seperti HMI. Dengan backing fasilitas dan dana yang berlimpah, HMI seolah “mati rasa” bila berhadapan dengan pemerintah.
            Meredupnya pamor HMI, dengan demikian, bisa dibaca dalam konteks yang lebih makro. Dilihat dari sisi eksternal, sistem politik pembinaan generasi muda yang diterapkan rezim Orba bukan saja mempersempit “lahan garapan” HMI, tapi bahkan mencerabut akar basis massa HMI di kampus-kampus. Karena merupakan problem makro, HMI tidaklah sendirian sebagai elemen organisasi kepemudaan yang terdesak oleh dominasi negara. Apatah lagi sejak berdirinya KNPI tanggal 23 Juli 1973, organisasi kepemudaan pada umumnya berubah menjadi macan ompong yang kehilangan taringnya.
            Bukan maksud saya menguliti kesalahan HMI, tapi satu hal yang harus menjadi otokritik HMI adalah pada saat organisasi-organisasi kepemudaan lainnya “tiarap” dari hegemoni negara, HMI malah mendekat pada  kekuasaan. Terlepas apakah “kolaborasi” tersebut berangkat dari kesengajaan atau ketidakberdayaan, yang jelas HMI tampak kentara akomodatif dengan power holding dibanding HMI sebelum tahun 1980-an yang relatif lebih otonom dari jari-jemari kekuasaan. Secara vulgar, Ridwan Saidi, mantan Ketua Umum PB HMI, menilai HMI sudah menjadi satpam kekuasaan. Seolah tak kuat memendam kecemasan, Nurcholish Madjid melontarkan kritikan, meski terkesan sugar coated dalam bentuk kekhawatiran. “Saya khawatir, “keluh Cak Nur yang juga mantan Ketua Umum PB HMI dua periode, “HMI terjebak formalisme dan simbolisme, yang membuat HMI menjadi sok kuasa.”    
            Akibatnya, dalam pergaulan organisasi kepemudaan pada masa Orde Baru, HMI  makin teralienasi dan selalu dicurigai menjadi “jubir” pemerintah yang membawa pesan-pesan sponsor. Ketidakharmonisan HMI yang lebih akomodatif terhadap pemerintah dengan eksponen Kelompok Cipayung lainnya yang lebih kritis, makin tampak transparan ketika HMI tidak ikut serta bersama Kelompok Cipayung “melapor” kepada Komnas HAM atas diterjunkannya Tim Pencari Fakta Korban Kerusuhan 27 Juli 1996. Langkah (mantan) Ketua Umum PB HMI, Taufik Hidayat, untuk melenggang maju menjadi calon Ketua KNPI juga dicap mencemari independensi Kelompok Cipayung di mana HMI sebelumnya masuk di sana.
            Kedekatan HMI dengan elite kekuasaan ini ikut mewarnai corak dan perilaku sebagian (besar) kader HMI angkatan 1980-an hingga sekarang. Entah disengaja atau tidak, orientasi struktural menjadi mainstream kader-kader HMI, sehingga yang berkembang di permukaan adalah maraknya gejala pragmatisme dan elitisme. Mereka lebih banyak berkecimpung dalam arena kekuasaan dan berupaya secara gigih meraih kesempatan-kesempatan politik agar tidak kedahuluan diserobot kader lain. Mereka gagal meng-create dirinya menjadi critical-mass yang bersuara nyaring terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Inilah yang saya sebut dengan nalar etatis. Apalagi sejak berdirinya Korps Alumni HMI (KAHMI) di mana para alumni HMI banyak berkecimpung dalam posisi-posisi strategis, para kader HMI berebut mencari cantolan ke atas yang notabene para senioren HMI sendiri. Sulit, untuk tidak menyebut mustahil, menghindar dari dependensi ini, karena diakui atau tidak, justru suasana seperti itulah yang “dinikmati” para aktivisnya. Memang benar, pada taraf tertentu, patronase politik semacam ini menjadi penyakit lama organisasi kepemudaan, namun seyogyanya tidak mempengaruhi setitik pun idealisme yang mereka emban.          
Bila tidak demikian, term independensi yang menjadi pawang resmi posisi HMI vis-à-vis partai politik dan ormas menjadi tanda tanya besar. Rumusan independensi HMI ini sebenarnya seperti pisau bermata dua. Satu menunjuk pada independensi etis yang berarti para kader HMI hanya berpihak pada hakikat kemanusiaan yang selalu condong kepada kebenaran, sementara yang lain adalah independensi organisatoris yang terumuskan secara eksplisit dalam pasal 7 Anggaran Dasar (AD) HMI yang berbunyi, “HMI adalah organisasi mahasiswa yang bersifat independen.” Sayangnya, dua rumusan normatif ini, secara ipso facto, tidak terbukti di lapangan.

 

Kembali ke Gerakan Kultural

            Benar apa yang dikatakan Fachry Ali dalam buku HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (1996) bahwa HMI memiliki bobot kualitatif yang tinggi yang menyebabkan sulitnya organisasi kader ini untuk mengelak dari kecenderungan dan pergeseran kekuasaan serta politik pada tingkat nasional. Betapa tidak ? Berapa banyak anggota HMI dan betapa luas lingkage HMI yang merambah hampir pada seluruh wilayah di tanah air, terutama kota-kota besar yang menjadi enclave gerakan mahasiswa. Berbicara soal kekuatan HMI, tentu saja, tidak bisa dilepaskan juga dari ikatan keluarga besarnya secara keseluruhan. Para alumni yang berperan pada semua sektor, seperti birokrasi pemerintah, intelektual, aktivis LSM, aktivis politik dan lain-lain merupakan sumber daya politik yang besar.
            Dus, itu semua meniscayakan implikasi politik, yang tidak seyogyanya seluruh energi HMI diforsir ke sana, tapi “disisakan”, bahkan kalau perlu diprioritaskan pada basis penguatan bidang intelektual, sosial dan kemasyarakatan. Selama ini malah tarikan kekuasaan yang lebih dominan ketimbang tarikan kecendikiaan, sehingga mengabaikan sacred mission HMI yang dahulu begitu keras melawan mainstream “politik sebagai panglima.” Slogan “Islam yes, partai Islam no” yang didengung-dengungkan oleh Cak Nur berarti mengandaikan stressing perjuangan HMI pada tataran kultural ternyata hanya nampak pada masa awal kelahirannya hingga dekade 1970-an saja.
            Usaha kembali ke gerakan kultural tidak bisa berhasil seratus persen bila kita mengabaikan tiga komponen yang saling terkait dalam HMI, yaitu 1) idealisme sebagai cerminan dari gairah pemuda; 2) intelektualitas sebagai representasi dari trade mark mahasiswa dan 3) religiusitas sebagai bagian dari nilai keagamaan (Islam) (lihat A. Bakir Ihsan dan M. Bahruddin Dahlan, 1997). Penyakit pragmatisme dan elitisme yang telah mencapai stadium kronis harus disadari sebagai penghambat paling krusial bagi munculnya gaung peran HMI pada tataran konsepsional (intelektual) dan operasional (aksi). Meminjam konsep Juergen Habermas tentang Legitimation Crisis yang bersumbu pada istilah medis, krisis (baca: penyakit) baru bisa disebut obyektif bila si pasien merasakan sendiri penyakit yang dideritanya. Maka, para kader HMI harus menyadari keterpurukan peran HMI, sehingga menerbitkan spirit perjuangan untuk mengubah krisis HMI menjadi titik balik melakukan resurgensi HMI di kemudian hari. Wallahu a’lam !   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar