Salah
satu keputusan penting yang dihasilkan Konggres HMI terakhir di Jambi
beberapa waktu lalu adalah kembalinya Islam sebagai asas organisasi.
Dengan demikian, raison d’etre perpecahan internal di tubuh HMI
pasca-Konggres HMI ke-16 di Padang tahun 1986, yakni dengan berdirinya
HMI “tandingan”, Majelis Penyelamat Organisasi (MPO), menjadi tidak
relevan lagi. Bukankah HMI MPO lahir sebagai reaksi atas maklumat Ketua
Umum PB HMI waktu itu, Harry Azhar Aziz, yang bersedia menerima asas
tunggal Pancasila ?
Di satu sisi, era reformasi yang sarat liberalisasi dan relaksasi politik —salah satu dampaknya— melindas warisan policy asas tunggal, implicitly menampakkan
kemenangan sikap HMI MPO yang tetap konsisten memegang asas Islam.
Namun di sisi lain, HMI MPO ini, secara formal-organisatoris, tidak
punya alasan lagi untuk “berpisah.” Toh, kedua-duanya sama-sama memakai
Islam sebagai asas organisasi. Atas dasar ini, apakah tidak sebaiknya
HMI MPO dan HMI Dipo (berdasar atas nama Jalan Diponegoro tempat PB HMI
berkantor) melakukan “rujuk” ?
Memang
idealnya dua kelompok HMI tersebut menempuh upaya rekonsiliasi setelah
sekian lama “bercerai”. Toh, selama ini berbagai usaha untuk
menyelesaikan konflik internal telah dilakukan, seperti kehadiran HMI
MPO dalam Konggres HMI ke-18 di Jakarta tanggal 17-24 September 1990.
Tapi, persoalannya tidaklah sesepele itu. Rentang waktu yang lama sejak
HMI MPO muncul tahun 1986, telah melahirkan kader-kader HMI yang secara
kultural berbeda dengan “induk semangnya.” Basis massa dan simpatisan HMI MPO relatif lebih “radikal” dan militan ketimbang performance kader HMI Dipo yang tampak moderat.
Munculnya
polarisasi wawasan keagamaan yang disebabkan perubahan sosial, politik,
ekonomi dan budaya berakibat terbelahnya pola pemikiran HMI menjadi
dua, yaitu yang bersifat pragmatis dan ideologis. Bagi
aktivis HMI Dipo yang terlihat lebih pragmatis, pola pemikiran mereka
menekankan wawasan keagamaan yang berkait kelindan dengan konteks
lokal-kultural. Langkah mereka tampak lebih ringan dan elastis dalam
menyikapi realitas politis. Pokok substansiasi yang mereka kejar
semata-mata adalah bagaimana HMI mampu berkiprah dalam mempercepat
integrasi nilai-nilai keislaman dengan keindonesiaan. Sementara pola
pemikiran ideologis justru sebaliknya, yakni lebih mendahulukan doktrin
keagamaan dan kurang memperhatikan realitas. Inilah yang menyebabkan
“rujuk internal” dalam tubuh HMI menjadi sulit terwujud. Belum lagi
konsekuensi-logis yang harus ditempuh bila HMI Dipo dan HMI MPO menyatu,
yaitu keharusan melakukan perampingan pengurus dari tingkat pusat
hingga komisariat.
Orientasi Kekuasaan
Agenda
rekonsiliasi ini penting dan —kalau memungkinkan— harus segera
dituntaskan aktivis HMI di tengah maraknya suara nyinyir dan minor yang
mencibir peran HMI dewasa ini. Satu hal yang patut dijadikan bottom line di
sini adalah konflik internal yang membelah HMI menjadi dua tidak bisa
dilepaskan dari penetrasi kekuasaan. Kebijakan asas tunggal yang
dipaksakan masuk oleh rezim Orba pada semua ormas dan orpol seakan
menjadi pemantik terpecahnya HMI.
Dus,
terpecahnya HMI yang kemudian diikuti dengan makin kentaranya gejala
degradasi peran HMI dalam kancah pergulatan kepemudaan dan
intelektualitas tidak bisa mrucut dari tanggung jawab negara.
Teori hegemoni Antonio Gramsci benar-benar diterapkan secara sempurna
oleh negara (baca: rezim Orba). Ideologi pembangunanisme yang
mengutamakan stabilisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak saja
ditegakkan melalui aparat militer dan polisi, tapi juga melalui
“kantong-kantong” organisasi kemasyarakatan/ kepemudaan. Pada akhirnya,
hal tersebut tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi tumbuhnya aktivitas dan kreativitas organisasi kepemudaan seperti HMI. Dengan backing fasilitas dan dana yang berlimpah, HMI seolah “mati rasa” bila berhadapan dengan pemerintah.
Meredupnya
pamor HMI, dengan demikian, bisa dibaca dalam konteks yang lebih makro.
Dilihat dari sisi eksternal, sistem politik pembinaan generasi muda
yang diterapkan rezim Orba bukan saja mempersempit “lahan garapan” HMI,
tapi bahkan mencerabut akar basis massa
HMI di kampus-kampus. Karena merupakan problem makro, HMI tidaklah
sendirian sebagai elemen organisasi kepemudaan yang terdesak oleh
dominasi negara. Apatah lagi sejak berdirinya KNPI tanggal 23 Juli 1973,
organisasi kepemudaan pada umumnya berubah menjadi macan ompong yang
kehilangan taringnya.
Bukan
maksud saya menguliti kesalahan HMI, tapi satu hal yang harus menjadi
otokritik HMI adalah pada saat organisasi-organisasi kepemudaan lainnya
“tiarap” dari hegemoni negara, HMI malah mendekat pada kekuasaan.
Terlepas apakah “kolaborasi” tersebut berangkat dari kesengajaan atau
ketidakberdayaan, yang jelas HMI tampak kentara akomodatif dengan power holding dibanding
HMI sebelum tahun 1980-an yang relatif lebih otonom dari jari-jemari
kekuasaan. Secara vulgar, Ridwan Saidi, mantan Ketua Umum PB HMI,
menilai HMI sudah menjadi satpam kekuasaan. Seolah tak kuat memendam
kecemasan, Nurcholish Madjid melontarkan kritikan, meski terkesan sugar coated
dalam bentuk kekhawatiran. “Saya khawatir, “keluh Cak Nur yang juga
mantan Ketua Umum PB HMI dua periode, “HMI terjebak formalisme dan
simbolisme, yang membuat HMI menjadi sok kuasa.”
Akibatnya, dalam pergaulan organisasi kepemudaan pada masa Orde Baru, HMI makin
teralienasi dan selalu dicurigai menjadi “jubir” pemerintah yang
membawa pesan-pesan sponsor. Ketidakharmonisan HMI yang lebih akomodatif
terhadap pemerintah dengan eksponen Kelompok Cipayung lainnya yang
lebih kritis, makin tampak transparan ketika HMI tidak ikut serta
bersama Kelompok Cipayung “melapor” kepada Komnas HAM atas
diterjunkannya Tim Pencari Fakta Korban Kerusuhan 27 Juli 1996. Langkah
(mantan) Ketua Umum PB HMI, Taufik Hidayat, untuk melenggang maju
menjadi calon Ketua KNPI juga dicap mencemari independensi Kelompok
Cipayung di mana HMI sebelumnya masuk di sana.
Kedekatan
HMI dengan elite kekuasaan ini ikut mewarnai corak dan perilaku
sebagian (besar) kader HMI angkatan 1980-an hingga sekarang. Entah
disengaja atau tidak, orientasi struktural menjadi mainstream kader-kader
HMI, sehingga yang berkembang di permukaan adalah maraknya gejala
pragmatisme dan elitisme. Mereka lebih banyak berkecimpung dalam arena
kekuasaan dan berupaya secara gigih meraih kesempatan-kesempatan politik
agar tidak kedahuluan diserobot kader lain. Mereka gagal meng-create dirinya menjadi critical-mass
yang bersuara nyaring terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Inilah
yang saya sebut dengan nalar etatis. Apalagi sejak berdirinya Korps
Alumni HMI (KAHMI) di mana para alumni HMI banyak berkecimpung dalam
posisi-posisi strategis, para kader HMI berebut mencari cantolan ke atas
yang notabene para senioren HMI sendiri. Sulit, untuk tidak
menyebut mustahil, menghindar dari dependensi ini, karena diakui atau
tidak, justru suasana seperti itulah yang “dinikmati” para aktivisnya.
Memang benar, pada taraf tertentu, patronase politik semacam ini menjadi
penyakit lama organisasi kepemudaan, namun seyogyanya tidak
mempengaruhi setitik pun idealisme yang mereka emban.
Bila tidak demikian, term independensi yang menjadi pawang resmi posisi HMI vis-à-vis
partai politik dan ormas menjadi tanda tanya besar. Rumusan
independensi HMI ini sebenarnya seperti pisau bermata dua. Satu menunjuk
pada independensi etis yang berarti para kader HMI hanya berpihak pada
hakikat kemanusiaan yang selalu condong kepada kebenaran, sementara yang
lain adalah independensi organisatoris yang terumuskan secara eksplisit
dalam pasal 7 Anggaran Dasar (AD) HMI yang berbunyi, “HMI adalah
organisasi mahasiswa yang bersifat independen.” Sayangnya, dua rumusan
normatif ini, secara ipso facto, tidak terbukti di lapangan.
Kembali ke Gerakan Kultural
Benar apa yang dikatakan Fachry Ali dalam buku HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (1996)
bahwa HMI memiliki bobot kualitatif yang tinggi yang menyebabkan
sulitnya organisasi kader ini untuk mengelak dari kecenderungan dan
pergeseran kekuasaan serta politik pada tingkat nasional. Betapa tidak ?
Berapa banyak anggota HMI dan betapa luas lingkage HMI yang
merambah hampir pada seluruh wilayah di tanah air, terutama kota-kota
besar yang menjadi enclave gerakan mahasiswa. Berbicara soal kekuatan
HMI, tentu saja, tidak bisa dilepaskan juga dari ikatan keluarga
besarnya secara keseluruhan. Para
alumni yang berperan pada semua sektor, seperti birokrasi pemerintah,
intelektual, aktivis LSM, aktivis politik dan lain-lain merupakan sumber
daya politik yang besar.
Dus,
itu semua meniscayakan implikasi politik, yang tidak seyogyanya seluruh
energi HMI diforsir ke sana, tapi “disisakan”, bahkan kalau perlu
diprioritaskan pada basis penguatan bidang intelektual, sosial dan
kemasyarakatan. Selama ini malah tarikan kekuasaan yang lebih dominan
ketimbang tarikan kecendikiaan, sehingga mengabaikan sacred mission HMI yang dahulu begitu keras melawan mainstream “politik sebagai panglima.” Slogan “Islam yes, partai Islam no” yang didengung-dengungkan oleh Cak Nur berarti mengandaikan stressing perjuangan HMI pada tataran kultural ternyata hanya nampak pada masa awal kelahirannya hingga dekade 1970-an saja.
Usaha
kembali ke gerakan kultural tidak bisa berhasil seratus persen bila
kita mengabaikan tiga komponen yang saling terkait dalam HMI, yaitu 1)
idealisme sebagai cerminan dari gairah pemuda; 2) intelektualitas
sebagai representasi dari trade mark mahasiswa dan 3)
religiusitas sebagai bagian dari nilai keagamaan (Islam) (lihat A. Bakir
Ihsan dan M. Bahruddin Dahlan, 1997). Penyakit pragmatisme dan elitisme
yang telah mencapai stadium kronis harus disadari sebagai penghambat
paling krusial bagi munculnya gaung peran HMI pada tataran konsepsional
(intelektual) dan operasional (aksi). Meminjam konsep Juergen Habermas
tentang Legitimation Crisis yang bersumbu pada istilah medis,
krisis (baca: penyakit) baru bisa disebut obyektif bila si pasien
merasakan sendiri penyakit yang dideritanya. Maka, para kader HMI harus
menyadari keterpurukan peran HMI, sehingga menerbitkan spirit perjuangan
untuk mengubah krisis HMI menjadi titik balik melakukan resurgensi HMI
di kemudian hari. Wallahu a’lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar